Skip to main content

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang


Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun.

Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.”

Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah?


Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa terlihat bijak. Penjajah bisa tampil sebagai penyelamat. Dan mereka yang menjatuhkan bom dari langit bisa disulap menjadi pahlawan kemanusiaan.

Begitulah Barat membungkus kekejaman dengan narasi. Mereka menamai invasi sebagai “intervensi.” Menamai penjarahan sebagai “konsesi.” Menamai perang sebagai “perlindungan hak asasi manusia.” Orwell mungkin tersenyum getir di kuburnya. Karena "perang adalah damai" sudah menjadi bukan sekadar satir, tapi kebijakan luar negeri.


Mereka mencibir kaum Muslim yang berjuang, katanya "kembali ke abad pertengahan." Padahal, siapa yang memulai perang salib duluan? Siapa yang membakar perpustakaan, menjarah kota, dan menyulut api perang atas nama salib dan mahkota? Siapa yang menanam bom atom di kepala warga sipil Hiroshima dan Nagasaki, hanya agar dunia percaya bahwa Amerika adalah raksasa yang harus ditakuti?

Lalu mereka berkata: "Lihat, Islam adalah agama kekerasan." Tapi bukankah itu seperti seorang penyamun yang membunuh satu desa, lalu berkata bahwa tetangganya yang bersenjata pisau dapur adalah ancaman?

Ironi ini bukan hanya tragis. Ia juga jenius. Karena Barat tidak sekadar menjajah. Ia juga mengajarkan para penjajahannya untuk membenci diri sendiri. Membuat anak-anak dari negara-negara Muslim menganggap bahasa ibu mereka kampungan, dan logo McDonald's sebagai simbol peradaban.


Ketika Islam bangkit, bukan dengan pedang, tapi dengan pikiran—dengan buku, logika, dan peradaban—mereka tidak tahu harus bagaimana. Maka mulailah demonisasi. Hadirnya Islam dipersempit menjadi urusan janggut, niqab, dan bom bunuh diri. Seolah satu miliar lebih Muslim adalah satu entitas yang sama, siap meledakkan dunia kapan saja.

Mereka tidak akan pernah mengatakan bahwa yang menginvasi Libya bukan ulama. Bahwa yang mengguncang Suriah dengan senjata dan proxy bukan para penghafal Al-Qur’an. Bahwa yang merampok minyak Irak bukan santri, tapi eksekutif dengan jas Armani. Bahwa pembantaian modern tidak dilakukan di pasar, tapi di ruang rapat dan parlemen.


Barat percaya mereka membawa cahaya. Tapi cahayanya menyilaukan, bukan menerangi. Mereka datang dengan Injil di satu tangan dan senapan di tangan lain. Dan ketika tanah sudah mereka rampas, ketika emas sudah mereka bawa, ketika sistem sudah mereka rusak, mereka pulang sambil menyanyikan lagu pujian: “Kami telah menyelamatkan kalian dari keterbelakangan.”

Itu seperti membakar rumah orang lalu mengiriminya tenda robek sambil berkata: "Kami penyelamat kalian."

Dan siapa pun yang menolak logika ini, disebut radikal. Siapa pun yang tidak tunduk, disebut ekstremis. Siapa pun yang mengungkit sejarah, dituduh membangkitkan luka lama yang tidak relevan. Seolah hanya para korbanlah yang harus melupakan. Para pelaku? Bebas menulis ulang sejarahnya sendiri dalam kurikulum dan Oscar-winning film.


Barat tidak takut pada kekerasan. Mereka hidup dari kekerasan. Yang mereka takutkan adalah dunia yang menolak tunduk. Dunia yang tidak bisa dijinakkan dengan konsumerisme, sinetron, dan kartu kredit. Dunia yang masih berani berkata: "Kami punya cara hidup sendiri, dan kami tak perlu izin kalian untuk menjalaninya."

Mereka tidak pernah takut pada Islam yang diam, yang lemah, yang ikut arus. Mereka takut pada Islam yang berpikir. Islam yang mengingat sejarah. Islam yang membedakan antara pencerahan dan pencucian otak. Islam yang tahu bahwa tidak semua yang datang dalam bentuk bantuan adalah pertolongan—karena kadang, itu hanya penjajahan yang disamarkan dalam kardus putih.


Dan di ujung semua ini, kita kembali pada pedang. Mereka menyebut kita menyebarkan agama dengan pedang. Padahal, merekalah yang menciptakan dunia di mana Anda harus menyembah dewa-dewa baru bernama demokrasi, kapitalisme, dan stabilitas geopolitik—dengan syarat Anda melupakan semua darah yang mereka tumpahkan demi menciptakannya.

Jadi biarlah mereka tertawa dalam gala dinner. Biarlah mereka berfoto dengan senyum cerah di bawah matahari tropis. Tapi sejarah akan mencatat: pedang mungkin tidak selalu di tangan mereka, tapi darahnya tetap di jejak kaki mereka.

Dan mungkin, hanya mungkin, dunia suatu hari akan sadar: bahwa tidak semua yang tidak memakai bom adalah damai, dan tidak semua yang berjubah adalah teroris.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...