Skip to main content

Velocity: Dari Konsep Ilmiah Menjadi Joget Viral, Kemunduran atau Evolusi?

 

Di era digital, istilah “velocity” mengalami perubahan yang cukup mencolok. Dulu, kata ini erat kaitannya dengan ilmu Fisika, di mana velocity merujuk pada besaran vektor yang menggambarkan kecepatan sekaligus arah gerak suatu objek. Namun kini, jika Anda menyebut kata “velocity” di depan anak-anak muda, besar kemungkinan mereka akan mengaitkannya dengan sebuah joget viral di media sosial, bukan dengan hukum Newton atau persamaan gerak.

Lalu, bagaimana bisa konsep ilmiah yang serius berubah menjadi tarian yang penuh efek slow motion dan beat catchy? Apakah ini kemunduran intelektual, atau justru bentuk evolusi bahasa dan budaya pop?

Dari Kelas Fisika ke TikTok: Perjalanan Istilah Velocity

Velocity dalam ilmu Fisika adalah konsep fundamental yang menjelaskan gerak suatu benda. Ia memiliki arah, bukan hanya sekadar besarannya seperti speed. Tanpa memahami velocity, kita tidak bisa menjelaskan fenomena seperti bagaimana pesawat terbang, bagaimana mobil bisa melaju dengan stabil, atau bahkan bagaimana kita berjalan. Namun, sayangnya, konsep ini lebih banyak menjadi momok di ruang kelas dibandingkan sesuatu yang dipahami dengan antusias.

Lalu datanglah media sosial, dengan kemampuannya mengubah apa pun menjadi tren instan. Dalam dunia editing video, istilah velocity mulai sering digunakan untuk menggambarkan efek perubahan kecepatan dalam video—sebuah teknik yang memperlambat atau mempercepat gerakan secara dinamis untuk menciptakan transisi yang dramatis. Dari sinilah muncul tren “joget velocity”, di mana orang-orang melakukan tarian sederhana yang dipadukan dengan efek slow-motion dan percepatan yang mengikuti irama musik.

Anak-anak muda yang mungkin dulu pusing menghafal rumus v = Δs / Δt kini lebih mengenal velocity sebagai sesuatu yang bisa mereka lakukan dengan beberapa klik di aplikasi CapCut atau TikTok. Ironis? Mungkin. Menyedihkan? Bisa jadi. Tapi yang pasti, ini adalah bukti nyata bagaimana ilmu pengetahuan bisa tergeser oleh tren budaya populer.

Ketika Ilmu Tertinggal, Tren Berlari

Fenomena ini bukan sekadar perubahan makna kata, tetapi juga cerminan bagaimana generasi muda mengonsumsi informasi. Pendidikan sains sering kali dianggap membosankan, sulit dipahami, dan tidak aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, media sosial menawarkan konten instan yang mudah dicerna dan diikuti.

Bahkan, tidak sedikit yang lebih tahu cara membuat efek velocity di video mereka ketimbang menjelaskan mengapa benda yang jatuh dari ketinggian memiliki percepatan gravitasi sebesar 9,8 m/s². Jujur saja, ketika seorang siswa diminta menjelaskan konsep velocity di kelas Fisika, banyak yang gelagapan. Tapi ketika diminta membuat video joget velocity, mereka bisa melakukannya dalam hitungan menit.

Ini adalah pergeseran yang cukup memprihatinkan. Bukan berarti tren harus dimatikan atau dianggap merugikan, tetapi ketika istilah ilmiah yang seharusnya membentuk dasar pemahaman kita tentang dunia justru lebih dikenal sebagai tantangan TikTok, ada sesuatu yang perlu direnungkan.

Dampak Jangka Panjang: Apakah Sains Kalah oleh Hiburan?

Perubahan makna kata seiring waktu adalah hal yang wajar. Namun, pergeseran ini juga memperlihatkan pola pikir generasi muda yang semakin jauh dari sains. Jika ini dibiarkan, kita bisa membayangkan masa depan di mana lebih banyak istilah ilmiah kehilangan maknanya yang sebenarnya dan justru lebih dikenal dalam konteks yang lebih dangkal.

Mungkin suatu hari nanti, istilah gravitasi lebih dikenal sebagai nama efek transisi video, momentum lebih familiar sebagai hashtag motivasi, atau frekuensi lebih sering dikaitkan dengan jadwal upload konten daripada dengan getaran gelombang.

Bukan berarti tren harus dilawan, tetapi yang perlu dilakukan adalah mengembalikan keseimbangan. Jika anak-anak muda bisa dengan cepat memahami cara membuat efek velocity di video, mengapa mereka tidak bisa diajarkan bahwa velocity juga adalah konsep Fisika yang penting? Mungkin solusinya bukan dengan menolak tren, tetapi justru dengan memanfaatkannya untuk mengedukasi. Jika media sosial bisa membuat joget velocity viral, mengapa tidak membuat pembelajaran tentang velocity dalam Fisika menjadi sama populernya?

Pada akhirnya, pertanyaan besarnya adalah: apakah kita akan membiarkan sains semakin tertinggal oleh hiburan, atau kita bisa menemukan cara untuk menyatukan keduanya? Jawabannya ada pada bagaimana kita memanfaatkan tren untuk tetap membawa nilai pendidikan di dalamnya.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...