Di sebuah negeri yang luas dan kaya, ada kebiasaan unik yang sulit dipahami oleh bangsa lain. Di negeri ini, jika seseorang menemukan seekor kuda mati, mereka tidak turun dan mencari kuda baru. Sebaliknya, mereka melakukan segala cara agar kuda itu terlihat masih bisa berlari. Mereka mengecat bangkainya, memasang sepatu kuda yang mengilap, bahkan membuat festival tahunan untuk merayakan betapa kuatnya kuda itu di masa lalu.
Seiring waktu, kebiasaan ini menjadi budaya. Setiap kali ada sesuatu yang tak berjalan semestinya, alih-alih mencari solusi baru, mereka akan sibuk mempertahankan ilusi bahwa semuanya baik-baik saja. Dan begitulah negeri ini terus melaju—atau setidaknya berpura-pura melaju—di atas punggung bangkai kuda yang kaku.
Dari Mana Datangnya Filosofi Kuda Mati?
Konsep ini berasal dari legenda kuno para pengelana yang percaya bahwa sebuah kuda mati tidak akan bisa membawa seseorang ke mana pun. Namun, di negeri ini, pemikiran itu dianggap terlalu pesimis. Sebab, bagi mereka, kuda yang sudah mati bukanlah sesuatu yang perlu dikubur, melainkan proyek yang harus diselamatkan dengan berbagai cara.
Strategi yang biasa mereka gunakan meliputi:
Mengganti pelana dengan yang lebih mahal, berharap kuda bisa bangkit kembali.
Membentuk dewan penasihat untuk mendiskusikan "kenapa kuda ini mati."
Membandingkan dengan kuda mati di negeri lain dan berkata, "Setidaknya kuda kita masih harum."
Menggelontorkan lebih banyak uang untuk memberi makan kuda yang sudah membusuk.
Dalam berbagai aspek kehidupan, filosofi ini tetap dipegang teguh. Dan semakin banyak orang yang mulai mempertanyakan kuda-kuda mati ini, semakin kuat usaha untuk menutupi bau busuknya.
1. Mimpi Besar yang Mengorbankan Banyak Penunggang
Di negeri ini, ada impian mulia yang katanya akan membawa semua orang ke masa depan lebih cerah. Sebuah proyek besar yang dijanjikan akan mengubah nasib banyak orang. Masalahnya? Untuk membiayai impian itu, para penunggang kuda harus dikorbankan.
Beberapa dari mereka dipaksa turun dari pelana dengan alasan kuda harus dibuat lebih ringan. Padahal, yang turun justru mereka yang paling setia menunggangi kuda selama ini. Sementara itu, beberapa orang penting yang duduk di punggung kuda tetap nyaman, bahkan membawa barang-barang mewah di pundak mereka.
Para penunggang yang tersingkir hanya bisa melihat dari kejauhan, bertanya-tanya, apakah kuda ini benar-benar masih bisa berlari, atau hanya ditopang oleh ilusi?
2. Kota Impian yang Sepi dari Pedagang Kuda
Di suatu sudut negeri, ada ambisi besar untuk membangun kota baru. Kota ini dijanjikan akan menjadi pusat perdagangan dan inovasi. Namun, ada satu masalah besar: para pedagang kuda enggan datang.
Mereka, yang biasa berinvestasi dalam pacuan kuda, melihat kota ini dengan skeptis. Mereka bertanya-tanya:
Jalur kuda masih berupa tanah berlumpur, tapi kenapa sudah dibuat arena pacuan?
Peraturan untuk berjualan di kota ini terus berubah, seperti arah angin di musim pancaroba.
Bagaimana kalau nanti pemimpin baru malah memindahkan pacuan ke tempat lain?
Karena terlalu banyak pertanyaan tanpa jawaban, para pedagang kuda memilih untuk menunggu dan melihat dari jauh. Sementara itu, pengelola kota terus berpidato bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Dan jika pedagang tetap tak datang, ya, tinggal dicari cara baru untuk menggiring mereka masuk, entah dengan iming-iming atau paksaan.
3. Kereta yang Terlalu Penuh Hingga Nyaris Terguling
Di negeri ini, ada satu kebiasaan lain yang menarik: kereta yang membawa penumpang ke masa depan semakin lama semakin penuh.
Setiap ada kesempatan, selalu ada orang baru yang diundang masuk. Tak peduli apakah mereka benar-benar dibutuhkan atau tidak, yang penting semua orang dapat tempat duduk. Hasilnya? Kereta ini makin berat, makin lambat, dan makin sulit bergerak.
Yang lucu, alih-alih mengurangi penumpang, mereka justru menambah lebih banyak kursi. "Semakin banyak yang ikut serta, semakin cepat kita sampai!" katanya. Logika yang aneh, tapi begitulah cara mereka berpikir.
Padahal, yang terjadi justru sebaliknya:
Beban makin besar, sementara bahan bakar makin menipis.
Koordinasi antar-penumpang semakin sulit karena terlalu sesak.
Semakin banyak yang hanya duduk-duduk tanpa benar-benar membantu menggerakkan kereta.
Dan yang lebih aneh lagi? Setiap kali ada kritik bahwa kereta ini terlalu penuh, solusinya bukan mengurangi penumpang, tapi menambah gerbong baru yang juga makin berat.
Akhir Kisah: Negeri yang Tak Mau Mengakui Kuda Itu Sudah Mati
Dari semua cerita di atas, satu hal yang pasti: di negeri ini, kuda mati tak pernah benar-benar dikubur. Mereka dibiarkan tetap berdiri, dipoles, dihias, dan dijadikan simbol kejayaan yang padahal sudah tidak lagi bernyawa.
Seharusnya, jika sesuatu tak lagi bekerja, langkah terbaik adalah mencari alternatif baru. Bukan terus-menerus mempertahankan hal yang jelas-jelas gagal. Namun, di negeri ini, mengakui kegagalan dianggap sebagai aib. Lebih baik menutupi bau bangkai dengan parfum mahal daripada jujur bahwa sesuatu telah usang.
Jadi, sampai kapan negeri ini akan terus menunggangi kuda mati? Sampai kapan ilusi ini bisa bertahan? Hanya waktu yang bisa menjawab. Tapi satu hal yang pasti: ketika kuda akhirnya membusuk dan tak bisa lagi ditopang, jatuhnya akan sangat keras.
Saat itu terjadi, jangan bilang tidak ada yang memperingatkan.
Comments
Post a Comment