Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah "We Listen, We Don't Judge." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa tackle berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton striker ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol.
Kick-Off: Makna Asli Tren
Tren "We Listen, We Don’t Judge" dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang striker yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di-tackle habis-habisan.
Misalnya:
- "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena red card!"
- “Kemarin lupa matiin keran, tagihan air kayak bayar kos-kosan orang satu RT.”
- “Aku selalu masak mie instan tapi lupa buang air rebusannya. Jadi kuahnya kayak sup minyak motor.”
- "Aku lupa matiin setrika semalam, sekarang baju favoritku sudah jadi monumen sejarah."
- "Aku nyoba bikin kopi Dalgona, tapi malah dapet cappuccino versi gagal."
Ceritanya sederhana, ringan, dan bikin semua orang tertawa bersama, bukan tertawa atas penderitaan orang lain. Intinya, ini tentang introspeksi, seperti evaluasi VAR di lapangan. Semua punya kelemahan, tapi kita belajar sambil ketawa bareng.
First Half: Salah Kaprah di Indonesia
Tapi seperti pertandingan sepak bola yang sering bikin emosi, tren ini berubah drastis saat masuk Indonesia. Bukannya berbagi cerita tentang diri sendiri, malah banyak yang pakai tren ini menjadi nggak nyambung dengan tujuan awalnya.
Contohnya:
- " We listen, we don't judge Perdalam lagi rukun iman ke 6 kak, disitu akan di dapat konsep ikhlas & tawakal, pasti akan menghindari kalimat kufur seperti childfree. Allahu yahdik."
- We listen n we don't judge, Menurutku, tas Goyard yg mehong itu kyk tas plastik murah
- We listen, we don't judge (versi keluh
kesah ke customer) "Maap ini mah di smoking area udah disediain
asbak, puntung & abu roko ya matiin dan buang di asbak jgn di gelas
keramik atau di saucer buat kopi
"Versi lu apa?
Bukan cuma tackle, itu langsung sliding tackle dari belakang. Kalau ada wasit, kartu merah sudah pasti melayang. Alih-alih bikin suasana cair, ini justru bikin orang lain bingung. Katanya "Don't Judge" kok jadi malah nge-judge? Konsep yang seharusnya me-raosting diri sendiri kok jadi malah ngomongin orang lain?
Second Half: Tren Lain yang Salah Kaprah
Nggak cuma "We Listen, We Don’t Judge," banyak tren global lain yang mirip bola cantik di liga Eropa, tapi jadi blunder pas main di liga lokal.
- Thrifting (Belanja Barang Bekas)
Aslinya: Mendukung gaya hidup berkelanjutan, sambil cari barang unik dengan harga murah.
Di Indonesia: Jadi ajang pamer barang impor, padahal kadang bajunya sudah di ujung garis penalti alias hampir rusak. "Liat dong, aku dapet jaket vintage ini cuma 500 ribu!" Tapi ujung-ujungnya, harga thrifting naik karena jadi tren yang eksklusif. - Filter Wajah di Media Sosial
Aslinya: Lucu-lucuan, bikin video estetik atau sekadar hiburan.
Di Indonesia: Dipakai buat ganti wajah total sampai teman dekat nggak ngenalin lagi. Kalau ini sepak bola, wajah kita kayak gawang yang kena corner kick terus-menerus sampai nggak tahu bentuk aslinya lagi. - Tantangan Viral
Aslinya: Ice Bucket Challenge untuk kesadaran ALS, atau tantangan olahraga yang bikin sehat.
Di Indonesia: Tantangan naik motor tanpa pegangan, atau main petasan sambil salto. Kalau ini main bola, tantangan ini udah kayak nendang bola ke gawang sendiri: bahaya, nggak perlu, dan ujung-ujungnya rugi sendiri.
Overtime: Humor Lokal yang Khas
Yang bikin unik, budaya kita sering bikin tren ini jadi lebih "menarik" meskipun salah kaprah. Di sinilah rasa humor Indonesia muncul sebagai super sub. Misalnya:
- Dalam tren "We Listen, We Don’t Judge," ada yang nekat bikin konten roasting keluarga. "Bapak tuh ya, tiap malam nonton TV tapi volume nggak pernah diatur. Suara kayak stadion sepak bola waktu pinalti." Padahal, bapak bisa balas dengan tackle verbal: "Kamu tuh ya, dulu belajar bola aja nggak lulus seleksi sekolah!"
- Di tren tantangan, ada yang kreatif mengubah tantangan jadi ajang lucu-lucuan. Misalnya tantangan jongkok 30 detik sambil makan kerupuk. Meski nggak nyambung, setidaknya nggak bahaya.
Final Whistle: Pelajaran dari Lapangan Media Sosial
Supaya tren-tren ini bisa dimainkan dengan elegan seperti tiki-taka Barcelona, kita perlu memahami aturan mainnya. Jangan asal tackle, jangan asal penalti, dan jangan jadi pemain yang cuma nyusahin tim.
- Pahami Tujuan Asli
Sebelum ikut tren, pastikan kita tahu maksudnya. Kalau niatnya bikin orang lain ketawa, jangan sampai malah bikin mereka nangis di bangku cadangan. - Mainkan Bola di Lapangan yang Tepat
Nggak semua tren cocok buat semua orang. Kalau audiens kita gampang baper, lebih baik tahan diri seperti pemain yang nggak asal tendang bola dari luar kotak penalti. - Jaga Sportivitas
Kalau ada yang sharing cerita lucu, tanggapi dengan dukungan, bukan kritik. Ingat, ini ajang fun match, bukan final Piala Dunia.
Bonus: Tren yang Mungkin Cocok di Indonesia
Daripada ikut tren yang malah jadi bumerang, kenapa nggak bikin tren baru yang lebih relevan? Misalnya:
- "Cerita Lucu Waktu SD": Semua orang punya kisah memalukan pas kecil yang kalau diceritakan sekarang pasti bikin ngakak.
- "Goal Kehidupan": Bukan soal bola, tapi tentang target kecil yang berhasil dicapai. Misalnya, "Hari ini berhasil nggak tidur siang di kantor. Bangga!"
Dengan begini, kita bisa tetap seru tanpa bikin orang lain kena red card.
Epilog: Menertawakan Kehidupan
Pada akhirnya, tren media sosial seperti sepak bola: kadang serius, kadang lucu, tapi selalu menarik untuk diikuti. Selama kita tahu kapan harus oper, kapan harus tendang, dan kapan harus berhenti, permainan akan tetap asyik. Jadi, yuk, main cantik di lapangan media sosial kita, tanpa tackle berlebihan. Sebab, hidup ini bukan tentang siapa yang menang, tapi siapa yang bisa bikin semuanya tetap seru.
Comments
Post a Comment