Skip to main content

Kenapa Butuh Zidane Kalau Ada Tim Sherwood?

 

Sebuah Kisah Penyesalan yang Tak Pernah Ada di Buku Sejarah

Blackburn Rovers pada 1995 adalah klub yang tengah melambung tinggi. Baru saja mereka menjuarai Premier League tahun 1994/1995 di bawah tangan dingin manajer Kenny Dalglish. Namun, di balik kejayaan itu, ada satu keputusan legendaris yang mungkin membuat para fans facepalm massal hingga hari ini. Jack Walker, sang Chairman klub, menolak kesempatan emas untuk merekrut Zinedine Zidane!

Yap, Anda tidak salah baca. Zinedine Zidane, pemain yang kemudian meraih Ballon d'Or, membawa Prancis juara Piala Dunia, hingga menjadi simbol sepak bola elegan, ditolak mentah-mentah oleh Blackburn Rovers. Alasannya? Kata Jack Walker yang sekarang jadi bahan meme, “Why do we need Zidane when we have Tim Sherwood?”.


Sherwood Si Penjaga Tahta “Prestasi Nol”

Sebelum kita melompat ke imajinasi “what if” ala penulis cerita fiksi, mari kita kenalan dulu dengan Tim Sherwood. Sherwood, pada tahun 1995, adalah kapten Blackburn Rovers. Memang, dia bukan pemain sembarangan—tapi juga bukan legenda yang akan dikenang seperti Steven Gerrard atau Roy Keane. Bisa dibilang, Sherwood itu pemain tengah yang cukup rajin… ya, hanya rajin. Kalau soal prestasi individu? Nol besar.

Bayangkan situasinya. Pada tahun itu, ada seorang pemain Prancis muda berusia 23 tahun bernama Zinedine Zidane. Rambutnya belum mulai rontok, wajahnya masih seperti pangeran dari Marseille. Dia tampil memukau di klub Bordeaux, menggiring bola bak penyair yang sedang menulis sajak. Bahkan legenda Manchester United, Sir Alex Ferguson, berkata, “Kapan pun Zidane menguasai bola, dia seperti menari.”

Tapi entah kenapa, bagi Jack Walker, kehebatan Zidane tidak cukup untuk menggeser pesona Sherwood. Sungguh, ini seperti menolak makan steak wagyu demi sepiring nasi goreng pinggir jalan—tanpa telur pula. “Who needs luxury when you can have simplicity?” pikir Walker, mungkin.


Perandaian: Jika Zidane Bergabung ke Blackburn Rovers

Mari kita putar balik waktu dan membayangkan: “Bagaimana jika Jack Walker tidak keras kepala dan mendatangkan Zidane ke Blackburn Rovers?”

  1. Blackburn: Klub Superpower di Inggris?
    Dengan Zinedine Zidane di lini tengah, Blackburn Rovers bisa berubah jadi Galácticos sebelum Real Madrid mencetuskannya. Zidane akan memanjakan para striker seperti Alan Shearer dengan umpan-umpan akurat nan magis. Shearer, yang waktu itu sudah tajam seperti silet, mungkin bisa mencetak 50 gol semusim dengan bantuan Zidane.

    Bayangkan gawang lawan seperti antrian tiang listrik—bolak-balik dibobol Shearer. Sementara Sherwood mungkin hanya bisa jadi penonton dari bangku cadangan, mengunyah permen karet sambil bertanya dalam hati: “Kenapa sih saya kalah sama pemain Prancis ini?”

  2. Juara Liga Champions?
    Di tahun 1995, tim Inggris belum mendominasi Eropa seperti sekarang. Namun, dengan Zidane di skuad, Blackburn mungkin bisa menembus Liga Champions dan bikin gentar klub-klub seperti AC Milan dan Barcelona. Bahkan, ada peluang Jack Walker jadi chairman yang dielu-elukan sebagai “visionary” bukan “foolish businessman”.

    Zidane, dengan dribel indahnya, bakal melewati bek-bek Eropa seperti anak kecil berlarian di taman. Umpan lambungnya? Sempurna. Tendangan volinya? Wajar jika gawang lawan tiba-tiba koyak. Blackburn bisa membawa pulang trofi Liga Champions lebih cepat daripada Manchester United yang baru meraihnya empat tahun kemudian.

  3. Premier League Era Zidane
    Premier League yang kita kenal sekarang mungkin akan berbeda. Zidane bisa menjadi pemain terbaik liga itu, dan Blackburn menjadi magnet bagi pemain bintang lainnya. Cristiano Ronaldo, Thierry Henry, atau Ronaldinho mungkin kepincut untuk merumput di Ewood Park, bukan Old Trafford atau Highbury.

    Blackburn bukan hanya klub medioker yang kita kenal sekarang, melainkan raksasa Inggris sejajar dengan Manchester United, Liverpool, dan Arsenal. Sayangnya, semua ini cuma khayalan—dan Tim Sherwood tetap menjadi the chosen one di hati Jack Walker.


Fakta Setelah Keputusan Tragis Itu

Lalu, bagaimana nasib kedua pemain ini di dunia nyata?

  • Zinedine Zidane:
    Setelah ditolak Blackburn, Zidane bergabung dengan Juventus. Di sana, ia memenangkan segalanya: dua gelar Serie A, Liga Champions, dan Ballon d'Or pada 1998. Kemudian ia pindah ke Real Madrid, menjadi pilar Los Galácticos, dan mencetak gol voli paling ikonik dalam sejarah Liga Champions. Oh, jangan lupakan Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 yang ia persembahkan untuk Prancis.

    Zidane, singkatnya, adalah dewa sepak bola.

  • Tim Sherwood:
    Sementara itu, Tim Sherwood tetap di Blackburn, tampil biasa-biasa saja, dan akhirnya pindah ke Tottenham Hotspur. Kariernya tak seindah Zidane, tapi Sherwood bisa bangga karena pernah menjadi kapten di masa kejayaan Blackburn—walau itu hanya satu musim.


Penyesalan Selalu Datang Terlambat

Kisah ini menjadi contoh sempurna bahwa hidup penuh dengan “what ifs”. Jack Walker, yang mungkin merasa benar-benar keren saat mengatakan, “Why do we need Zidane?”, kini dikenang sebagai pria yang melewatkan salah satu kesempatan terbesar dalam sejarah sepak bola.

Bayangkan jika seorang teman Anda menolak hadiah mobil mewah karena katanya motor bebek yang ia punya masih cukup bagus. Ya, begitulah kira-kira keputusan Walker.

Bagi para fans Blackburn Rovers, momen ini pasti membekas sampai hari ini. Setiap kali melihat cuplikan gol Zidane atau mendengar namanya disebut di berita olahraga, mereka mungkin mendesah panjang sambil berkata, “Andai saja...”


Pesan Moral

Kisah ini memberi kita banyak pelajaran: jangan pernah meremehkan potensi seseorang hanya karena Anda sudah puas dengan keadaan sekarang. Jika Anda ditawari sesuatu yang berkilau, pertimbangkan dua kali sebelum menolaknya—siapa tahu, Anda sedang melihat calon legenda dunia di depan mata.

Untuk Blackburn Rovers, Zidane adalah legenda yang nyaris mereka miliki. Namun bagi kita semua, kisah ini adalah lelucon abadi yang selalu bisa kita nikmati sambil menyeruput kopi dan berkata:

"Kenapa butuh Zidane kalau ada Tim Sherwood?"

Jawabannya? Ya, kita butuh Zidane!


Penulis: Fans Sepak Bola yang Masih Facepalm

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...