Skip to main content

Mainan di Ujung Jalan Bahagia


 

POV Ibu

Pagi itu, matahari baru saja muncul, dan aku sudah menyiapkan barang-barang untuk pergi ke pasar. Seperti biasa, aku mengajak anakku yang selalu ceria. "Ayo, cepat mandi! Hari ini nemenin emak belanja. Tapi ingat, nggak ada acara minta-minta mainan, ya!" kataku tegas.

Dia mengangguk patuh sambil mengikat sandal jepitnya. Aku tahu anakku, Beni, suka sekali melihat-lihat mainan di pasar. Kadang rasanya hati ini meleleh melihatnya berjongkok di depan toko, memandangi mainan dengan mata berbinar-binar. Tapi kali ini aku benar-benar ingin berhemat, jadi tak ada mainan hari ini, titik.

Kami berjalan kaki ke pasar, jaraknya tidak terlalu jauh, tapi cukup membuat kaki pegal. Sementara aku sibuk menawar bawang merah di lapak ibu-ibu langgananku, Beni setia menunggu sambil memainkan tutup botol di tangannya. "Emak, nanti aku bantu bawain kardus, ya!" serunya tiba-tiba.

Aku tersenyum. Beni memang anak baik, nggak rewel meski ikut ke pasar. Tapi semua berubah begitu kami melewati toko mainan kecil di pojok pasar. Pandangan mata Beni langsung tertuju pada sebuah mainan robot-robotan yang dipajang di etalase depan toko. Ia berhenti mendadak, matanya berbinar lebih terang dari lampu neon.

“Emak... itu robotnya keren banget. Tapi aku cuma lihat aja, kok. Nggak apa-apa, beneran.”

Duh, rasanya hatiku dijambak. Aku tahu dia sudah lama mengincar mainan itu. Tapi di kantong emak, uangnya cuma cukup buat kebutuhan dapur.

Aku melangkah cepat, pura-pura cuek. Tapi langkahku terhenti ketika aku melihat wajahnya yang tetap berusaha tersenyum meski kecewa. Ya ampun, masa sih, emak nggak tega? Aku menoleh kembali ke toko mainan dan akhirnya mendekati si penjual. "Bang, itu robot harganya berapa?" tanyaku lirih.

Beni langsung menoleh dengan wajah kaget penuh harapan. Matanya makin berbinar, seolah tahu bahwa kali ini emaknya nggak bisa tega.

POV Anak

Hari itu, aku bangun lebih pagi dari ayam tetangga. Langsung mandi—padahal biasanya emak mesti ngomel dulu baru mau gerak—lalu makan nasi dengan lauk telur dadar. Hari ini misi utamaku: nemenin emak ke pasar biar dia nggak rewel. Eh, siapa tahu aku dapat kejutan juga.

"Jangan minta dibelikan mainan, ya!" kata emak sebelum berangkat. Aku cuma nyengir. Kalau emak bilang gitu, tandanya ada ujian buatku hari ini.

Jalan kaki ke pasar itu lumayan bikin kaki pegal. Tapi gapapa, demi emak... dan sedikit harapan di hatiku. Aku nemenin emak yang sibuk nawar cabe dan bawang sambil bantu-bantu bawain barang. Tapi pas kami lewat toko mainan, glek! Di depan kaca etalase, ada robot-robotan yang udah lama aku pengenin. Robot itu nggak cuma keren, tapi gokil abis. Warnanya mengkilat, dan kalau lihat dari gambar di kotaknya, robot itu bisa berubah jadi mobil! Persis kayak film yang pernah aku lihat di teve tetangga.

Aku berhenti. Bukan mau merengek, cuma lihat doang. Emak jalan duluan, tapi aku tetap diam di situ. "Emak, cuma lihat, kok. Beneran deh."

Tapi emak berhenti. Dia balik badan, dan aku lihat matanya yang tiba-tiba lembut. Duh, jangan-jangan ini hari keberuntungan aku? Emak nyamperin si abang jualan mainan dan ngomong sambil bawa uang dari lipatan kain sarungnya. "Bang, robot ini berapa?"

Aku nahan napas. Rasanya jantungku mau loncat. "Mau dibeliin beneran, Mak?" tanyaku pelan.

Emak cuma senyum kecil sambil ngomong, "Cuma sekali ini, ya. Tapi nanti bantuin emak beberes di rumah." Nggak pakai nunggu lagi, aku langsung mengangguk cepat. "Siap, Mak! Emak emang paling hebring!"

Aku peluk mainan robot itu erat-erat. Hari itu rasanya langit lebih biru, jalanan pasar nggak sepanas biasanya, dan emak terlihat kayak bidadari paling baik sedunia. Robot ini bukan cuma mainan; ini kemenangan buatku karena aku sudah gokil abis nemenin emak tanpa banyak ulah.

Di perjalanan pulang, aku jalan sambil senyum-senyum sendiri, mainanku kupegang erat di dada. Emak pun senyum kecil sambil bawa kardus belanjaan. Meski kami cuma jalan kaki, rasanya seperti naik mobil balap di acara teve.

"Mak, makasih ya. Robotnya keren banget," kataku sambil tersenyum lebar.

Emak cuma ketawa kecil, "Iya, asal kamu tetap jadi anak baik. Jangan tengsin kalau bantuin emak, ya!"

Hari itu indah sekali. Nggak sia-sia bangun pagi, mandi kilat, dan nemenin emak belanja. Kadang, kebahagiaan datang dari hal-hal kecil, dari satu mainan robot, dan senyum emak yang nggak bisa dibeli. 

-C-

 

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...