Seorang lelaki tua menyembelih seekor sapi gemuk, dagingnya merah segar, dan ia menyalakan bara panggangan dengan semangat. Sembari menatap api yang menari, ia berkata kepada putrinya,
“Anakku, pergilah, panggil para kerabat, sahabat, dan tetangga. Katakan pada mereka bahwa ada pesta besar di rumah kita—mari kita rayakan keberkahan ini!”
Sang putri melangkah keluar dengan langkah ringan, tetapi suara yang keluar dari bibirnya berbeda dari perintah ayahnya. Ia berteriak lantang, suaranya melayang ke penjuru jalan,
“Tolong! Api melahap rumah ayahku! Bantulah kami memadamkan kebakaran ini!”
Beberapa orang muncul dari rumah-rumah mereka, wajah mereka mencerminkan kekhawatiran dan niat baik. Namun, banyak pula yang tetap tinggal di dalam, memalingkan telinga dari panggilan itu, seperti angin yang lewat tanpa bekas.
Orang-orang yang datang membantu akhirnya duduk di meja panjang, menikmati makanan yang disajikan dengan tangan tulus. Gelak tawa memenuhi malam itu, seakan bintang-bintang turut bergembira.
Namun sang ayah memandang lingkaran tamunya dengan dahi berkerut. Ia berbisik kepada putrinya,
“Anakku, dari semua yang datang, kebanyakan adalah wajah-wajah yang tak kukenal, bahkan asing bagiku. Di mana kerabat kita? Sahabat kita? Dan para tetangga?”
Sang putri menatap ayahnya, dengan senyum yang mengandung makna dalam, lalu berkata,
“Mereka yang datang bukanlah untuk pesta, Ayah. Mereka datang untuk memadamkan api. Mereka datang saat kita membutuhkan tangan, bukan sekadar berbagi kemewahan. Merekalah yang layak menerima keramahan dan kehangatan meja ini."
Pesan moral:
Orang-orang yang memilih pergi di saat malam hidupmu penuh badai, tidak pantas
hadir dalam perayaanmu di bawah sinar terang mentari.
-C-
Comments
Post a Comment