Suatu malam di daerah Tebet, Jakarta Selatan, sekelompok muda-mudi sedang berkumpul di sebuah warung bubur ayam.
----------------------------------------
Rani melihat lekat-lekat semangkuk bubur ayam yang ada di hadapannya.
("Apa bedanya sih? Kayaknya sama aja dengan bubur ayam yang lain.") Pikirnya sambil mencoba mengaduknya.
"I won't do that, if I were you", ucap Samy membuyarkan lamunan Rani.
"Ha?", Rani terkejut sambil melepaskan sendoknya.
"Kamu nggak lihat apa yang abangnya masukin ke dalam buburmu?"
"Nggak."
"Dia tadi masukin telor mentah di dasar mangkok. Which is, kalau kamu aduk buburnya the egg will scramble all over the porridge. And you won't like it. Unless kamu memang suka telor mentah." Samy menjelaskan sambil matanya tak lepas menatap layar iPhonenya.
Seketika timbul rasa jijik di pikiran Rani. Dia yang sehari-hari hanya makan telor yang matang paripurna, kini dihadapkan ke situasi dimana dia harus melahap telor yang masih mentah. Dia mulai menyesali keputusannya untuk ikut Metta berkumpul dengan kawan-kawannya. Dan dia lebih menyesal lagi karena tidak melakukan riset dulu sebelum makan bubur Sukabumi ini.
"Don't worry, tunggu sampai agak adem then you good to go." Ucap Samy sambil tersenyum ke arah Rani.
Ah, senyum itu. Rani seperti diingatkan kenapa dia mau keluar dari zona nyamannya yaitu, kasur dan bantal di malam ba'da hujan ini. Tanpa sadar Rani terus memandangi wajah Samy.
"Woy! Dingin dah tuh bubur." Metta datang sambil menoyor kepala Rani.
"Ih, kamu nih, bikin kaget aja." Sambil berhati-hati mengaduk bagian atas buburnya.
Rani berharap Metta tidak melihat kelakuannya tadi.
"Gimana, seru kan?!"
"Apanya yang seru, Met? Kita cuma duduk-duduk aja di sini."
"Santai..... Nanti abis ini ke Blok M." Ucap Metta sambil membuka ponselnya.
"Met, kok kamu ndak bilang kalau bubur Sukabumi ini pakai telor mentah."
"Hehehehe..... Sorry Ran. Gue baru inget kalo di Padang nggak ada bubur macam beginian. Ya, itung-itung jadi pengalaman kulinerlo lah."
Rani antara mendengar dan tidak, karena fokusnya adalah berusaha mengaduk bubur tanpa harus menyenggol telor di dasar mangkok.
"Eh, si Samy ngomong apaan?" Tanya Metta sambil menyenggol tangan Rani. Dan......
"METTAAAAAAAA....... TELORKU PECAH TUH JADINYAAAAA!!!!!!
Sontak semua orang yang berada di warung itu melihat ke arah Rani.
"No Metta no party" teriak Indra dari luar sambil menyalakan lighternya.
"Eh, sorry beb.... Nggak sengaja. Suwer!" Sambil mengangkat dua jarinya.
"What's wrong?" Tanya Samy sambil mendekati meja mereka berdua.
"Ndak apa-apa kok." Jawab Rani dengan suara yang nyaris mengecil.
Jika saja lampu di ruangan itu terang benderang, mungkin semua orang akan melihat warna merah merona pipi Rani saat itu. Tak dapat disangkal kalau satu-satunya alasan dia mau ikut nongkrong malam-malam dengan Metta dan kawan-kawannya adalah karena Samy. Cowok blasteran Rusia-Jepang yang beribukan orang Koto Ilalang. Kota yang kebetulan sama dengan tempat kelahiran Rani.
Awalnya Rani sempat menyesali keputusannya berkuliah di Jakarta. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Sammy. Cowok ganteng yang dingin ke semua orang. Sosok yang membuat cewek-cewek menjadi penasaran. Dan salah satunya adalah Rani.
"Ndak apa-apa kok"
"Jiah.... re-run. Sammy udah denger kok." Komentar Metta di sampingnya.
Dengan muka sebel, Rani berpaling ke arah muka sahabatnya ini. Apa dia nggak paham kalau dia sedang berada di situasi sulit, di mana dia kini harus memakan bubur yang sudah sukses bercampur dengan telor mentah..... dan jangan sampai muntah di hadapan cowok yang dia taksir ini.
"Yuk buruan. We got to go. It's getting late." Ucap Samy sambil memperlihatkan deretan angka di jam tangannya.
("Yaa Tuhan, seakan penderitaanku belum cukup makan bubur campur telur mentah, dan sekarang harus buru-buru pula??! Mati sudah") Rani sambil menatap buburnya.
"Ya udah, lo selesein dah buburlo, gue nggak ganggu lagi. Yang lain udah pada selesai, tinggal lo doang. Buruan yak!"
("Bagus banget tuh orang, setelah membuat kekacauan lalu pergi") pikir Rani sambil menyuap buburnya.
"Don't worry, aku temenin kamu di sini", ucap Samy sambil tersenyum.
Suapan pertama tidak ada yang aneh. Hanya sedikit hambar. Mungkin karena Rani tidak mengaduk buburnya.
Rani berusaha mengunyah makanannya dengan anggun. Itu karena Samy duduk di hadapannya. Walau sebenarnya Samy lebih sibuk memperhatikan iPhonenya, ketimbang melihat gadis manis yang sedang makan di depannya.
Suapan ke dua, Rani mulai merasakan hal aneh di mulutnya. Pecahan telor sudah banyak yang bercampur di buburnya. Di fase ini Rani masih mampu mempertahankan kewarasannya. Sesekali Rani melirik cowok ganteng di depannya.
Karena terpecahnya konsentrasinya antara memilah makanan dengan melirik Samy, timbulah musibah itu. Rani Tak sengaja memasukkan lebih banyak telur mentah ke dalam bubur di sendoknya. Dan...... rasa mual dengan cepat bergerak ke arah otak lalu ke lambung. Memerintahkan mulut untuk memuntahkan bubur yang sedang dia kunyah.
Bagaikan semprotan air pemadam kebakaran, muntahan itu melesat ke arah Samy, mengenai kaus, jaket dan iPhonenya.
"What the....!", Samy terlonjak dari bangkunya.
Rani bergegas bangkit dari bangkunya dari lari ke luar warung. Dia kembali melanjutkan proses muntahnya. Kini tak hanya tiga sendok bubur ayam yang keluar, tapi juga es jeruk, bakso tadi sore dan sedikit gado-gado tadi siang. Keriuhan tersebut menjadikan Rani objek perhatian orang-orang yang sedang berkumpul di sekitar warung.
Rani tak ingat sudah berapa banyak dia muntah. Kini dia menjadi pusing.
"Are you alright, Ran?", ucap Samy sambil membersihkan kausnya dengan tisu gulungan dari atas meja.
"Aku mau pulang aja." ucap Rani sambil menerima tisu dari Samy.
"Jiah.... jackpot dese. Ya udah lah, gue anterin ke kost sekarang. Guys, lo lanjut aja....."
"No need, Met. You lanjut aja ke Blok M. Let me drive her home."
("Apa? Pangeranku mau nganterin aku pulang??! Apa ini yang dinamakan fii hi khoir?") Rani masih mencoba tetap tenang, walau hatinya seperti habis menang undian.
Di dalam mobil suasana begitu canggung. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Terdengar lagu Something Just like This dari Cold play dan The Chainsmokers mengalun lembut dari radio. Seakan berbicara mewakili perasaan hati Rani saat itu.
Dia tidak mencari seorang pahlawan super atau keajaiban dongeng. Ini pun rasanya sudah cukup akan menjadi sesuatu yang akan dia kenang selama hidupnya.
Perjalanan mereka sudah memasuki daerah Pasar Minggu, sebentar lagi menuju Lenteng Agung.
“Are you alright? Still dizzy? Samy memulai percakapan.
“Ha? Oh.... udah nggak.” Jawab Rani
“Kost kamu yang di Kober atau Kukusan?”
“Kober. Tapi mobil nggak bisa masuk, jalan masuknya kecil.”
“I know. Nanti aku parkir di depan gang. I’ll walk you there.” Ucap Samy sambil matanya tak lepas dari jalan.
Dan suasana kembali hening.
Tak terasa mereka sudah memasuki Depok. Sebentar lagi sampai di tujuan, dan mereka masih diam.
Samy memarkirkan mobilnya tepat di depan warung seblak.
Kalau perutnya tidak habis muntah, mungkin semangkuk seblak bakso aci akan memperbaiki mood Rani saat itu. Biasanya kalau habis sepulang kuliah, Rani menyempatkan diri untuk makan seblak di tempat itu. Apalagi kalau tadi siangnya berada di kelas bu Nurni the Smiling Killer. Dosen yang tampak di luar sepertinya baik, tapi sering menjegal banyak mahasiswa.
“Do you wanna eat first?” Tanya Samy seakan membaca pikiran Rani saat itu.
“Ha... eh, nggak usah, Sam. Aku mau langsung pulang aja.” Dan Rani langsung menyesali keputusannya saat itu. Dia langsung mengutuk ketidakkompakkan perut dan hatinya. Sungguh menyebalkan.
Jarak antara mulut gang dengan kostan Rani hanya berjarak dua ratus meter. Tak ada percakapan selama perjalanan. Samy tidak berusaha membuka percakapan, dan Rani sepertinya masih canggung.
“Okay, Ran..... selamat beristirahat. Good night.”
“Ehmm... Sam, kamu mau lanjut ke Blok M?”
“It looks like it. Kenapa Ran?”
“Ehmm... nggak napa-napa. Hati-hati ya.”
“Kamu ngomong gitu kayak aku mau pergi jauh aja.” Jawab Samy sambil tersenyum.
“Don’t worry, I will. Now go get some rest. You need it. Assalammu’alaykum.” Samy tersenyum sebentar, lalu balik badan.
Itu terakhir kalinya Rani melihat Samy. Melihat punggungnya yang semakin lama semakin menjauh.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kamu ngomong sama siapa, Ran?” Suara Nanda memecah lamunan Rani
Rani menatap wajah sahabatnya dengan pandangan bingung.
“Yaa Allah, Rani.... kapan kamu mau merelakan dia.” Suara Nanda menahan tangis, sambil memeluk Rani.
“Maksudmu gimana, Nan? Aku gak ngerti...”
“Relakan Samy, Ran. Dia sudah tenang di sana.” Kali ini Nanda tak mampu lagi menahan tangisnya.
-Flashback-
Setahun sebelumnya, saat itu Samy dan Rani dalam satu mobil. Samy mengantarkan Rani yang sedang kurang enak badan.
“Are you alright? Still dizzy? Samy memulai percakapan.
“Ha? Oh.... udah nggak.” Jawab Rani
“Masih nggak enak ya, Ran?”
“Iya.” Suara Rani di balik sapu tangan Samy.
“I reckon that’s the first time you ever taste Bubur Sukabumi. I felt weird too, when my first time try. Luckily, I love raw egg. I never mixed it in some porridge, though.... hahahahaha. What a weird experience”, sambil geleng-geleng kepala mengingat kejadian itu.
(Ternyata si manusia es ini bisa ketawa juga. Seneng deh lihat dia hangat seperti ini) Tanpa sadar Rani tersenyum sambil menutupi bibirnya dengan sapu tangan.
Mereka akhirnya cerita banyak. Tak ada lagi Rani si canggung atau Samy si Mr. Iceberg. Semuanya cair.
“Kamu tau kenapa aku memilih Sastra Rusia, Ran? Not because I have Russian blood, tapi memang sengaja karena mau bikin papa kesal.” Seringai Samy sambil matanya terus menatap jalan.
“He insist that I should be an architect, hehehe no way..... so I chose Russian literature instead.”
“Papa bilang, kalau kamu mau belajar bahasa Russia, bisa langsung ke papa! Kenapa harus kuliah?”
“Untung mama bisa selalu mendinginkan papa.”
“You know what, Rani, I never get along with papa. Sepertinya kami ditakdirkan untuk selalu bertengkar”. Dan senyum itu lalu menghilang.
Rani seperti melihat kesedihan di wajah Samy. Mungkin ini pertama kalinya Samy curhat ke seseorang.
“Papamu pasti sayang sama kamu, Sam. Nggak mungkinlah beliau nggak sayang sama anaknya yang ganteng ini.....” Rani langsung menyesali telah mengucapkan kata ganteng di depan Samy. Sangat berharap Samy tidak mendengarnya.
“Yeah..... maybe you’re right”
Hati Rani sampai mencelos karena kesembronoannya itu. Alhamdulillah Samy tidak mendengarnya. Atau dia memang sudah terbiasa dipuji ganteng oleh lawan jenis.
Mobil sudah memasuki Lenteng Agung dan lagu di radio berganti dengan dengan “Miss Me” oleh Andy Grammer.
“And I promise you this,
You're gonna miss me, miss me
As long as you live
You are going to miss me, miss me oh”
“Oh I love this song”, ucap Samy sambil mengetuk-ngetuk jarinya di setir mobil.
“You know what, Ran.... kadang aku berangan-angan untuk memalsukan kematianku, hanya sekedar ingin melihat, siapa saja yang kehilangan aku. Sekedar ingin melihat siapa saja yang menangis di pemakamanku. I don’t know why I want that. Mungkin karena kebanyakan nonton film-film Hollywood, hahahahaha......”
Rani memperhatikan dari ekor mata Samy muncul sebulir air mata. Apakah Samy sedang bersedih? Rani ragu untuk bertanya. Untuk ukuran manusia es, Samy ternyata banyak bicara. Suka ngobrol.
“Kost kamu yang di Kober atau Kukusan?”
“Kober. Tapi mobil nggak bisa masuk, jalan masuknya kecil.”
“I know. Nanti aku parkir di depan gang. I’ll walk you there.” Ucap Samy sambil matanya tak lepas dari jalan. “Aku kan anak UI juga, you know”, sambil tersenyum melirik ke arah Rani.
Memasuki daerah Pancasila mereka ditemani “The Sadest Song” oleh band The Ataris. Samy langsung membesarkan volume radio. Sebagian besar lagu yang diputar oleh radio itu tidak Rani ketahui. Bahkan ada yang Rani baru dengar. Tapi melihat Samy yang sangat menikmati alunan lagu-lagu tersebut, sudah cukup menghibur Rani.
“Kamu sepertinya tau banyak lagu-lagu luar ya, Sam.”
“Mungkin karena aku suka nge-band. Jadinya update dengan perkembangan lagu luar.”
“Kalau lagu Indonesia?” tanya Rani.
“Bukannya aku nggak cinta Indonesia, tapi lagu-lagu Indonesia terlalu dangkal isinya. Tapi aku masih bawain beberapa lagu Indonesia kok....."
“SAM, AWAS!!!
Mobil mereka tiba-tiba melenceng ke arah kiri, lalu menabrak pohon besar. Pecahan kaca bertebaran di dashboard dan dalam mobil. Beberapa pecahan berhasil merobek kulit wajah mereka. Kantung udara menahan kepala mereka dari benturan yang lebih parah lagi. Pandangan Rani menjadi gelap. Hanya sayup-sayup terdengar suara keramaian di luar.
Nanda dan Rani masih berpelukan di gerbang kos-kosan. Isak tangis Nanda belum berhenti. Pelan-pelan Rani mencoba menyusun puzel yang berantakan di kepalanya. Perlahan Rani mencoba kembali ke realitas.
“Astagfirullahaladziim.... aku begitu lagi ya Nan?”
“Masuk yuk, kamu istirahat sekarang.” Sambil tersenyum, Nanda membawa Rani masuk.
Tepat setahun yang lalu, Samy gagal mengantarkan Rani ke kos-kosannya. Mobil mereka mengalami kecelakaan. Samy tiba-tiba pingsan akibat kanker otak yang dideritanya. Sebuah ranting besar menembus kaca dan merobek dada kirinya. Samy langsung meninggal di tempat. Sedangkan Rani sempat tidak sadarkan diri selama beberapa hari akibat benturan ke jendela pintu.
Dan seperti sebuah peringatan, setiap tahunnya, di tanggal itu, Rani selalu mendatangi Warung Bubur Ayam Sukabumi di Tebet Raya. Tanpa bermaksud menyesali apa yang telah terjadi, hanya tak ingin kenangan itu hilang begitu saja.
Comments
Post a Comment