Skip to main content

Di


*"Kata 'di' sebagai imbuhan digunakan dalam kalimat pasif. Misalnya, pada kata 'dimakan', 'dilakukan', 'dimasak', 'ditulis', dan sebagainya.

Sebagai kata depan, kata 'di' menunjukkan arah, tempat, dan waktu. Misalnya, pada kata 'di sekolah', 'di atas meja', 'di pagi hari', 'di sebelah barat', dan sebagainya.

Sekarang sudah tahu kan? Tolong perbaiki lagi tulisannya ya."*

Catatan itu masih aku simpan sampai hari ini, tulisan tangan dosen pembimbingku dengan tinta biru yang mulai pudar. Catatan sederhana, tapi menjadi pedoman yang melekat dalam setiap tulisanku.

Namun, ingatan akan catatan itu tiba-tiba muncul lagi saat aku membaca pesan dari grup WhatsApp sekolah anakku. Sebuah pesan yang membuatku ingin segera menyalin dan mengirimkan ulang catatan itu.

"Untuk pengambilan raport akan di lakukan dijam 10 pagi."

Aku mendesah pelan. Bukannya marah, tapi rasanya seperti melihat pasir halus di atas lantai yang baru saja disapu. Mengganggu.

Sebenarnya, aku tahu betul bahwa banyak orang Indonesia masih sering keliru dengan penggunaan kata "di." Bahkan orang-orang terpelajar sekalipun. Namun, ketika itu muncul dari seorang guru, rasanya sedikit... ironis.

Tanganku gatal ingin mengetikkan koreksi langsung. Tapi aku tahu, menegur dengan cara itu hanya akan membuat suasana jadi canggung.

Akhirnya, aku memilih untuk membalas pesan dengan santun, sambil diam-diam menyisipkan koreksi:

"Terima kasih atas informasinya. Saya akan datang untuk pengambilan rapor yang dilakukan di jam 10 pagi."

Aku menghela napas lega setelah menekan tombol kirim. Semoga beliau menyadari koreksinya. Kalau pun tidak, setidaknya aku sudah mencoba.

Dan sementara itu, catatan dosenku tetap berada di dalam laci meja, menjadi pengingat kecil yang tak pernah pudar.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...