Skip to main content

Oh... Jadi Seperti Ini Rasanya



"Mana sih dosennya? Udah bel masuk dari tadi, belum datang juga!"

Ica, teman sekelasku, mondar-mandir di depan pintu kelas. Suaranya yang nyaring menggaung di ruangan. Sementara itu, teman-teman lain terlihat santai, seolah tidak peduli jika dosen terlambat.

Aku sendiri memilih untuk mengamati wajah-wajah baru di kelas Komunikasi Periklanan ini. Beberapa terlihat asing, mungkin dari jurusan atau angkatan lain.

Tiba-tiba, seorang laki-laki bangkit dari kursinya. Aku memperhatikan sosoknya dengan rasa ingin tahu. "Kok kelihatan tua, ya? Apa dia mahasiswa veteran?" pikirku.

Laki-laki itu berjalan ke depan, menuju meja dosen. Dan...

"Selamat siang, semua."

Sontak kelas terdiam.

"Lah... ternyata itu dosennya!" gumamku sambil menahan tawa.

Ica, yang tadi paling vokal, langsung menundukkan kepala dan menyembunyikan wajahnya di balik buku dan tasnya. Malu berat, pastinya.

Dosen itu, Mas Widi, tersenyum lebar sambil menjelaskan aksinya tadi. Katanya, dia memang suka mengamati mahasiswa baru sebelum memulai kelas. Itu cara favoritnya mengenal wajah-wajah segar yang akan belajar dengannya.

"Dan satu lagi," katanya sambil mengangkat jari telunjuk, "jangan panggil saya 'bapak.' Dulu, dosen saya juga tidak mau dipanggil 'bapak.' Kalau kalian manggil saya begitu, berarti saya lebih tua dari dosen saya sendiri. Nggak adil, kan?"

Kelas meledak dengan tawa.

24 tahun kemudian

Di sebuah kelas, sekelompok mahasiswa terlihat gelisah. Padahal bel baru berbunyi lima menit yang lalu. Sebagian besar sibuk dengan ponsel mereka, sementara yang lain saling berbisik.

Di sudut ruangan, seorang laki-laki duduk diam, mengamati suasana. Dia sesekali melirik laptopnya, memastikan file presentasinya sudah siap.

Kelas makin gaduh.

Laki-laki itu akhirnya berdiri, berjalan ke depan, dan berhenti di meja dosen. Mata-mata mahasiswa mulai menatapnya penuh tanya. Bisik-bisik mulai terdengar.

Setelah meletakkan laptop dan tas sandangnya, dia duduk di kursi dosen. Perlahan, dia memandang ke seluruh ruangan, mengingat-ingat masa lalu.

"Oh... jadi seperti ini rasanya," gumamnya pelan.

Aku tersenyum. Ya, itu aku. Dan hari ini aku mengerti kenapa Mas Widi dulu begitu menikmatinya.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...