"Tidak semuanya harus direkam di ponsel. Kalau memang momen itu benar-benar indah, maka rekamlah sebaik mungkin di hati. The moment is perfectly enough."
Tulisan dari sebuah media sosial itu tiba-tiba menyeruak di pikiranku, tepat ketika tanganku berusaha menggapai ponsel dari kantung celana. Aku berdiri di barisan belakang aula sekolah yang penuh sesak, mataku tertuju pada kerumunan orangtua di depan panggung. Mereka berdesak-desakan, memegang ponsel tinggi-tinggi, berlomba merekam aksi anak-anak mereka.
Seorang perempuan, guru yang bertugas mengatur acara, terus mengingatkan para orangtua agar kembali ke tempat duduk. Namun imbauannya tenggelam dalam suara riuh aula.
"Kenapa nggak duduk aja sih mereka? Lagian juga dari pihak sekolah sudah ada yang dokumentasiin," gumam seorang bapak paruh baya di sampingku. Nada suaranya jengkel.
Aku mengangguk setuju, meski dalam hati juga merasa tak berdaya. Aku ingin menegur, tapi tahu itu bukan tugasku.
Memang, semenjak ponsel menjadi kamera pribadi, penggunanya seperti kehilangan batas. Semua momen harus direkam, terutama yang berkaitan dengan anak-anak. Beberapa bahkan rela menghapus aplikasi demi memberi ruang lebih untuk foto dan video.
Acara terus berlangsung, musik mengalun, dan giliran anakku tiba. Ia melangkah ke panggung, mengenakan kostum biru cerah, senyum kecil menghiasi wajahnya. Aku bisa merasakan jantungku berdebar.
Tanganku kembali meraih ponsel. Tapi tulisan itu kembali terngiang di benakku.
"Tidak semuanya harus direkam di ponsel."
Aku menarik napas panjang dan memasukkan ponselku kembali ke saku. Aku akan menikmati momen ini sepenuhnya. Mataku mengamati setiap langkah kecilnya, telingaku menangkap suara lembutnya yang menyanyikan lagu dengan malu-malu.
Ini adalah momen kami. Bukan untuk layar, tapi untuk hati. Aku tahu, kenangan ini akan tetap ada—tidak dalam bentuk file digital, tapi dalam ingatan dan rasa.
Comments
Post a Comment