Skip to main content

The Moment

"Tidak semuanya harus direkam di ponsel. Kalau memang momen itu benar-benar indah, maka rekamlah sebaik mungkin di hati. The moment is perfectly enough."

Tulisan dari sebuah media sosial itu tiba-tiba menyeruak di pikiranku, tepat ketika tanganku berusaha menggapai ponsel dari kantung celana. Aku berdiri di barisan belakang aula sekolah yang penuh sesak, mataku tertuju pada kerumunan orangtua di depan panggung. Mereka berdesak-desakan, memegang ponsel tinggi-tinggi, berlomba merekam aksi anak-anak mereka.

Seorang perempuan, guru yang bertugas mengatur acara, terus mengingatkan para orangtua agar kembali ke tempat duduk. Namun imbauannya tenggelam dalam suara riuh aula.

"Kenapa nggak duduk aja sih mereka? Lagian juga dari pihak sekolah sudah ada yang dokumentasiin," gumam seorang bapak paruh baya di sampingku. Nada suaranya jengkel.

Aku mengangguk setuju, meski dalam hati juga merasa tak berdaya. Aku ingin menegur, tapi tahu itu bukan tugasku.

Memang, semenjak ponsel menjadi kamera pribadi, penggunanya seperti kehilangan batas. Semua momen harus direkam, terutama yang berkaitan dengan anak-anak. Beberapa bahkan rela menghapus aplikasi demi memberi ruang lebih untuk foto dan video.

Acara terus berlangsung, musik mengalun, dan giliran anakku tiba. Ia melangkah ke panggung, mengenakan kostum biru cerah, senyum kecil menghiasi wajahnya. Aku bisa merasakan jantungku berdebar.

Tanganku kembali meraih ponsel. Tapi tulisan itu kembali terngiang di benakku.

"Tidak semuanya harus direkam di ponsel."

Aku menarik napas panjang dan memasukkan ponselku kembali ke saku. Aku akan menikmati momen ini sepenuhnya. Mataku mengamati setiap langkah kecilnya, telingaku menangkap suara lembutnya yang menyanyikan lagu dengan malu-malu.

Ini adalah momen kami. Bukan untuk layar, tapi untuk hati. Aku tahu, kenangan ini akan tetap ada—tidak dalam bentuk file digital, tapi dalam ingatan dan rasa.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...