Skip to main content

Merah atau Putih: Apa Warna Cangkir Kopi yang Lebih Menggugah Selera?


Waktu saya kuliah di kelas periklanan, dosen saya pernah bilang sesuatu yang terus terngiang sampai sekarang. Katanya, "Kalau mau bikin iklan kopi yang efektif, pakailah cangkir merah. Merah itu bikin kopi terasa lebih kuat, lebih kaya, dan lebih menggoda." Saat itu, saya nggak terlalu mikir panjang, tapi sekarang saya mulai bertanya-tanya, kenapa kok merah? Dan kenapa sekarang, banyak iklan kopi justru pakai cangkir putih? Kenapa ada pergeseran dari cangkir merah ke putih dalam dunia iklan kopi dan apa sebenarnya efek psikologis dari dua pilihan warna tersebut.

Merah yang Menyala: Energi dan Kekuatan dalam Secangkir Kopi

Kembali ke pendapat dosen saya, cangkir merah memang punya daya tarik tersendiri. Warna merah sering dikaitkan dengan energi, kekuatan, dan hasrat. Dalam dunia pemasaran, warna ini nggak sekadar menyala, tapi benar-benar ‘berbicara’ kepada konsumen. Merah dapat meningkatkan persepsi rasa dan memberikan kesan bahwa produk yang dikemas atau ditampilkan dengan warna ini lebih intens dan memikat.

Menurut Color Theory, merah adalah warna yang sering kali digunakan untuk menciptakan kesan "urgensi" atau "intensitas". Misalnya, di supermarket, tanda diskon sering kali menggunakan warna merah karena dianggap bisa menarik perhatian. Sama halnya dengan kopi, merah memberi sinyal kepada otak kita bahwa kita sedang menikmati sesuatu yang kuat, seperti espresso yang pekat atau kopi hitam yang kaya rasa. Mungkin inilah yang dimaksud dosen saya, bahwa warna merah dalam iklan kopi mampu mengeluarkan karakter rasa kopi yang lebih kuat.

Namun, di luar teori itu, ada fakta menarik yang ditemukan oleh penelitian terbaru. Studi yang diterbitkan oleh Food Quality and Preference menemukan bahwa warna cangkir bisa memengaruhi bagaimana kita merasakan makanan atau minuman di dalamnya. Kopi yang disajikan dalam cangkir merah dianggap memiliki rasa yang lebih pahit dan lebih intens dibandingkan ketika disajikan dalam cangkir putih. Ini karena warna merah memengaruhi persepsi kita secara tidak langsung​.

Putih yang Bersih: Kesan Sederhana dan Elegan

Lalu kenapa sekarang banyak brand besar, seperti Starbucks, malah menggunakan cangkir putih dalam kampanye iklannya? Jawabannya terletak pada tren pemasaran modern yang lebih mengedepankan kesederhanaan dan elegansi.

Cangkir putih memberikan kesan minimalis, bersih, dan elegan. Warna ini lebih netral dan bisa menonjolkan warna asli dari kopi itu sendiri. Kopi hitam pekat dalam cangkir putih, misalnya, terlihat lebih kontras dan menawan. Jadi, konsumen lebih terfokus pada produk kopinya, bukan pada wadahnya. Menurut para ahli periklanan, tren ini mencerminkan perubahan dalam preferensi konsumen yang sekarang lebih menyukai kesederhanaan dan orisinalitas​.

Selain itu, dalam budaya visual saat ini yang sangat dipengaruhi oleh platform seperti Instagram, cangkir putih juga memberikan tampilan yang lebih "instagrammable". Desain minimalis dengan warna netral lebih cocok dengan estetika modern yang banyak digandrungi. Hal ini menguatkan argumen bahwa warna cangkir sekarang nggak cuma soal rasa, tapi juga soal visual appeal yang penting untuk memperluas jangkauan pasar di era digital.

Perspektif Ahli Periklanan: Memahami Tren Modern

Saya penasaran, apakah hanya soal gaya dan tren yang membuat cangkir putih lebih populer sekarang? Maka, saya mencoba menelusuri lebih dalam pendapat para ahli periklanan.

Utpal Dholakia, seorang pakar pemasaran dari Rice University, mengatakan bahwa setiap elemen dalam produk bisa membentuk persepsi konsumen, mulai dari warna kemasan hingga desain logo. Dalam konteks kopi, cangkir yang digunakan dalam iklan atau kemasan bisa memengaruhi bagaimana konsumen ‘merasakan’ produk tersebut. Misalnya, cangkir merah bisa membuat kopi terasa lebih kuat dan bold, sedangkan cangkir putih memberikan kesan halus dan premium​.

Pendapat ini sejalan dengan teori psikologi warna, di mana setiap warna membawa makna dan pesan tertentu. Cangkir merah dapat menarik perhatian dan menstimulasi rasa, sementara cangkir putih lebih mengarah pada kesan bersih, modern, dan sophisticated. Dengan kata lain, masing-masing warna punya efek psikologis yang berbeda yang disesuaikan dengan target pasar dan brand image yang ingin dibangun.

Contoh Brand Kopi yang Menggunakan Cangkir Merah dan Putih

Sebagai contoh nyata, kita bisa lihat beberapa brand kopi besar yang mengadopsi kedua pendekatan ini. Nescafé, misalnya, sering menggunakan cangkir merah dalam kampanye iklannya. Warna merah di sini tidak hanya menonjolkan kekuatan rasa kopi, tapi juga memberikan sentuhan energik yang membuat iklannya terasa lebih dinamis dan bersemangat.

Sebaliknya, brand seperti Starbucks dan Illy lebih sering menggunakan cangkir putih. Starbucks, dengan cangkir putihnya, menyampaikan pesan bahwa kopi mereka adalah produk premium yang bisa dinikmati dengan tenang, tanpa perlu "teriak" untuk mendapatkan perhatian. Illy juga menggunakan cangkir putih yang elegan untuk menonjolkan kualitas espresso mereka yang halus dan sophisticated. Mereka bermain dengan kesederhanaan untuk menunjukkan bahwa kopi mereka adalah soal rasa, bukan penampilan.

Kesimpulan: Mana yang Lebih Baik?

Jadi, mana yang lebih efektif—cangkir merah atau putih? Jawabannya kembali lagi pada apa yang ingin disampaikan oleh brand kepada konsumen. Kalau brand ingin menonjolkan kekuatan rasa, intensitas, dan energi, cangkir merah bisa jadi pilihan terbaik. Namun, jika fokusnya adalah pada kesederhanaan, elegansi, dan kualitas produk, cangkir putih lebih sesuai.

Untuk saya pribadi, setelah mempertimbangkan berbagai pendapat ahli dan tren pemasaran, kedua warna punya keunikan masing-masing. Warna merah mungkin akan selalu memiliki tempat di hati saya karena kenangan kuliah bersama dosen yang mengajarkan bagaimana menciptakan iklan yang impactful. Namun, saya juga mulai mengerti kenapa cangkir putih lebih banyak muncul sekarang—lebih bersih, lebih modern, dan lebih cocok dengan selera konsumen masa kini.

Di akhir hari, warna cangkir memang bisa memengaruhi bagaimana kita menikmati kopi. Tapi pada akhirnya, yang paling penting tetaplah rasa dari kopi itu sendiri, bukan warna cangkirnya.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...