Skip to main content

Jadi, Teman-teman...


Pernah nggak kalian nemu lowongan kerja yang bikin kalian mikir, "Ini aku yang manusia atau mereka cari dewa?" Nah, baru-baru ini aku lihat lowongan kerja untuk programmer yang bikin aku merasa lebih mirip ke Elon Musk versi 2.0, tanpa rekening banknya.

Pertama-tama, syaratnya adalah nggak boleh menikah atau punya anak selama setahun setelah tanda tangan kontrak. Aku cuma bisa ketawa, "Serius nih? Jadi mereka mau kita jadi programming machine 24/7, tapi juga harus celibate kayak biksu?" Mungkin mereka mikir kalau programmer yang menikah bakal tiba-tiba ngekode pake bahasa cinta dan bukan bahasa pemrograman lagi.

Trus, ada syarat umur. Maksimal 25 tahun untuk S1, atau 28 tahun untuk S2. Aku heran, apa mereka pikir umur 26 itu udah terlalu tua untuk ngetik kode? Mungkin di kepala mereka, umur 25 itu masa-masa keemasan buat multitasking antara nge-debug aplikasi dan nge-swipe di Tinder, ya?

Dan jangan lupa, mereka mau kita punya segudang skill. Mulai dari Java, Python, sampai bahasa pemrograman yang bahkan belum ditemukan! "Eh, ada yang bisa coding pake bahasa Jawa? Soalnya kalau Java doang, nggak cukup!" Ngomong-ngomong, ini bukan cuma soal ngerti teknologi terkini, bro, tapi juga teknologi masa depan! Kalian harus ngerti microservices, blockchain, AI... Aku nggak heran kalau next-nya mereka minta kita ngerti cara bikin mesin waktu buat debug kode di masa lalu.

Oh iya, penampilan juga penting. Jadi meskipun lo jenius, kalo muka lo nggak semenarik superhero Marvel, mendingan lo kerja di balik layar aja, jangan nongol-nongol depan tim. Karena, ya jelas, siapa yang peduli sama skill kalau lo nggak cakep, kan?

Dan yang terakhir, mereka mau kita selalu siap lembur! Iya, lembur, seakan-akan hidup kita ini nggak cukup penuh dengan kesibukan. Mungkin mereka mikir kita kayak Power Rangers yang bisa panggil Megazord buat bantuin ngoding di malam hari. Tapi inget, di dunia nyata, nggak ada Megazord, yang ada cuma lo, kopi, dan kantong mata yang makin gede.

Jadi, buat kalian yang ngerasa hidup terlalu santai dan butuh tantangan ekstrem, lowongan ini mungkin cocok. Siapa tau, dengan kerja di sini, kalian bisa berubah jadi superhuman! Atau setidaknya, jadi manusia yang nggak lagi tau rasanya punya hidup di luar pekerjaan.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...