Skip to main content

Kisah Sepotong Kain Gombal


Anda tahu apa itu kain gombal? Bagaimana dia bisa menjadi kain gombal? Saya tidak membahas kain gombal yang sudah mendedikasikan hidupnya untuk menjadi kain gombal sejak pertama kali dia diciptakan. Yang saya maksud adalah kain gombal yang dulunya mungkin sebuah daster, kaus oblong, celana atau bahkan handuk. 

Di awal penciptaannya, katakanlah sebuah kaus oblong, dia mungkin tidak pernah membayangkan hari-hari terakhirnya akan menjadi lap kaki. Yang dia tahu di toko tempat dia pajang, dia akan menjadi pakaian seseorang. Ketika dia akhirnya dibeli oleh seseorang, lalu dipakai dengan kebanggaan, menjadi pusat perhatian, dipuji dan dikagumi, dipakai untuk berjalan-jalan, bepergian wisata, hingga diabadikan dalam foto dan video. 

Tapi semua benda memiliki kadaluarsa. Dan ketika masa itu tiba peran si kaus oblong itu pun berubah. Dahulu di atas, kini di bawah. Dulu dipandang dengan kekaguman, kini dilihat pun tidak. Ah.... setidaknya masih ada gunanya kan?! 

Kain gombal bisa berupa seorang anak yang dulunya menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Membantu kebutuhan keluarganya dan membiayai kuliah adiknya, karena bapaknya yang tidak lagi bekerja dan ibunya yang hanya berjualan nasi uduk tiap paginya. Tidak ada pemasukan tetap lainnya selain dari gaji bulanannya. 

Singkat cerita, si anak yang sudah menikah kini hidup susah. Suaminya di-PHK sedangkan dia sendiri juga sudah lama berhenti bekerja. Pemasukan keuangan hanya berasal dari berjualan di market place. Jangankan untuk membantu menghidupi orangtuanya, dia sendiri kerepotan untuk melunasi utang-utangnya. Untunglah adik-adiknya yang dulu dia bantu sekarang sudah menjadi orang sukses. Mereka sekarang yang mengirimi uang bulanan ke orangtuanya. Dia sendiri.....? 

Dia telah bermetamorfosis menjadi kain gombal. Jangankan kenangan tentang kebaikannya dulu di kepada orangtua dan adiknya, yang ada hanyalah cap beban kepada dia dan keluarganya. Dia selalu salah dan adiknya selalu benar. Bahkan jika ada barang yang hilang di rumah orantuanya dialah yang akan menjadi tersangkanya. 

Itulah kisah si kain gombal. Menikmati hari-hari terakhir hidupnya di bawah pijakan kaki. 

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...