Skip to main content

Merindukan Masa Kecil di Antara Bait "Forever Young"


Ada satu fase dalam hidup di mana kita terlalu sibuk berlari ke depan tanpa menyadari bahwa suatu hari nanti, kita akan menoleh ke belakang dengan mata berkaca-kaca. Kita ingin tumbuh, ingin dewasa, ingin menentukan arah hidup sendiri. Dan kini, setelah dewasa, kita justru ingin kembali.

Lagu Forever Young dari Alphaville bukan sekadar lagu. Dulu, mungkin hanya terdengar seperti lantunan indah yang mengalun di radio, di mobil orang tua, atau di tivi saat jeda antar program. Kita tidak benar-benar memahami liriknya. Kita hanya menyanyikannya begitu saja, tanpa mengerti bahwa di balik setiap baitnya tersembunyi kerinduan akan masa-masa yang kini tak bisa dijangkau lagi.

Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, setelah kita melewati berbagai fase kehidupan dengan segala hiruk-pikuknya, kita mulai mengerti. Liriknya bukan sekadar kata-kata, tetapi sebuah refleksi tentang waktu yang terus berjalan tanpa belas kasihan.

Dulu, Kita Ingin Dewasa

Masih ingat saat kecil, ketika kita ingin segera menjadi orang dewasa? Rasanya seperti hidup akan lebih seru ketika kita sudah besar. Kita bisa pulang malam tanpa harus ditegur, bisa membeli apa saja tanpa perlu izin, bisa melakukan hal-hal yang kita anggap keren. Kita membayangkan kebebasan yang tak terbatas, kehidupan yang penuh petualangan tanpa hambatan.

Kita begitu terburu-buru ingin melewati masa kecil, tanpa sadar bahwa suatu hari nanti, kita akan mengemis waktu untuk kembali ke masa itu. Masa di mana satu-satunya kekhawatiran kita hanyalah PR yang belum dikerjakan atau jadwal tayang film kartun favorit yang hampir terlewat.

Kita tidak perlu memikirkan tagihan, cicilan, atau deadline pekerjaan yang mendesak. Kita tidak tahu bagaimana rasanya berjuang untuk bertahan hidup dalam dunia yang begitu kompleks. Dulu, menangis hanya karena es krim jatuh ke tanah. Sekarang, ada terlalu banyak alasan untuk menangis, tapi kita sering kali memilih untuk menahannya karena dunia orang dewasa tidak memberi ruang untuk kelemahan. 

"Let us die young or let us live forever, we don't have the power but we never say never."

Dulu, kita tidak pernah memikirkan tentang kefanaan. Seolah-olah waktu akan selalu berpihak pada kita, memberi kita kesempatan tanpa batas. Tapi ternyata, kita tidak pernah benar-benar punya kuasa atas waktu. Ia berjalan tanpa bisa dihentikan, membawa kita menjauh dari masa-masa yang kita anggap abadi.

Sekarang, Kita Rindu Masa Itu

Semua kenangan itu datang tiba-tiba, menyelinap di sela-sela kesibukan. Mungkin ketika sedang dalam perjalanan pulang di malam hari, lagu Forever Young tiba-tiba mengalun di Spotify atau di media sosial. Tiba-tiba, semua memori masa kecil kembali seperti film yang diputar ulang—bermain di halaman rumah hingga senja, berlarian tanpa alas kaki di atas tanah, tertawa lepas tanpa beban.

Atau mungkin, nostalgia datang saat kita sedang duduk sendirian di kamar, merenung tentang bagaimana waktu telah membawa kita ke tempat yang jauh dari titik awal kita. Kita teringat bagaimana dulu kita bangun pagi di hari Minggu, menonton kartun dengan segelas teh manis hangat dan cemilan masakan mama, lalu menghabiskan sore dengan teman-teman, bermain bola hingga matahari tenggelam.

Sekarang? Minggu pagi berarti tumpukan cucian, daftar pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya, atau hanya sekadar waktu untuk beristirahat dari lelahnya hari kerja yang tak mengenal belas kasihan. 

"Hoping for the best but expecting the worst, are you gonna drop the bomb or not?"

Ketika kecil, kita selalu berharap yang terbaik. Dunia terasa luas, penuh dengan kemungkinan. Kita percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja, bahwa kita akan menjadi orang-orang yang hebat. Tapi kini, kita mulai mengerti bahwa hidup tak selalu seperti yang kita bayangkan. Ada impian yang kandas, ada harapan yang pupus, ada kenyataan yang tak sesuai dengan yang kita inginkan.

Masa yang Tak Bisa Diulang

Lirik Forever Young bertanya, "Do you really want to live forever?" Dulu, kita mungkin menganggapnya hanya sebagai pertanyaan retoris yang tidak terlalu penting. Sekarang, kita menyadari maknanya yang lebih dalam. Kita ingin masa-masa indah itu bertahan selamanya, tapi kita juga tahu bahwa tidak ada yang bisa melawan waktu.

Kita tumbuh, berubah, dan bergerak maju. Tapi ada satu bagian dari diri kita yang selalu tertinggal di sana—di masa kecil yang penuh warna. Masa ketika hidup masih begitu ringan, ketika dunia terasa begitu luas dan penuh kemungkinan.

"It's so hard to get old without a cause, I don't want to perish like a fading horse."

Kita tidak pernah benar-benar siap untuk menua, untuk kehilangan kepolosan dan kebahagiaan yang dulu kita anggap biasa. Sekarang, kita hanya bisa mengenangnya, mendekapnya erat dalam hati, dan sesekali, membiarkan lagu-lagu seperti Forever Young membawa kita kembali ke sana, walau hanya untuk beberapa menit.

Dan mungkin, itulah cara terbaik untuk menjaga masa kecil tetap hidup. Bukan dengan menyesali waktu yang telah berlalu, tetapi dengan mengingat bahwa kita pernah memiliki hari-hari indah itu—hari-hari di mana dunia begitu sederhana, di mana kita benar-benar merasa forever young dalam hati.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...