Judul di atas bukanlah sebuah kalimat dari penulis yang putus asa karena merasa Tuhan telah meninggalkan dirinya. Bukan juga sebuah kalimat provokatif dari seorang penulis atheis yang mengajak pembaca untuk berdebat tentang apakah Tuhan pernah menolong mereka. Kalimat di atas adalah sebuah contoh penggunaan tanda baca yang kurang tepat… atau sebenarnya sudah tepat, tergantung dari sudut pandang dan latar belakang kehidupan yang membacanya.
Ada tiga tanda baca yang bisa dipakai dalam kalimat judul tersebut, berdasarkan sudut pandang penulis yang berbeda. Tergantung tingkat keimanan, ketenangan jiwa, serta kemampuan finansialnya.
Pertolongan Tuhan itu ada.
Penulis adalah seorang yang beriman, tenang, serta tawakal setelah semua usaha yang telah dia lakukan. Saya akan ikut menjadi tenang ketika bertemu dengan orang semacam ini. Walaupun awalnya saya gelisah karena mengingat beban hidup saya sekarang.
Pertolongan Tuhan itu ada!
Penulis memaksa dirinya atau mungkin pembacanya untuk percaya kalau Tuhan benar-benar akan memberi pertolongan kepada hamba-Nya. Satu tanda seru adalah pemaksaan normal. Lain lagi jadinya jika itu berjumlah dua atau tiga. Penulis seperti histeris. Entah memang dia benar-benar menerima pertolongan-Nya dan lalu kaget karena tidak menyangkanya. Atau dia mencoba membuat sebuah afirmasi yang sangat kuat dalam dirinya yang sudah jenuh dengan penantian. Saya mungkin akan takut untuk bertemu dengan penulis ini dan menyangkanya sedang stres.
Pertolongan Tuhan itu ada?
Penulis sedang mengalami, kalau kata anak Rohis, “fluktuasi iman.” Imannya sedang goyah. Tidak bisa disalahkan memang karena kita tidak pernah tahu apa yang sedang dia hadapi. Jika saya bertemu dengan orang semacam ini, saya tidak akan mencoba apapun kecuali ikut bersimpati dengannya. Setelah itu, saya akan ikut menangis bersamanya. Karena bisa jadi masalahnya dan masalah yang saya hadapi sama besarnya, dan kita sedang berada di titik nadir untuk tetap percaya kepada Tuhan. Oh ya, ini masih perandaian ya. Bukan berarti saya seperti itu.
Terus kenapa tidak pakai kata “apakah” untuk kalimat pertanyaan itu?
Karena kita sudah terbiasa menyingkat apapun untuk apapun. Seperti “sebentar” menjadi “ntar,” “sudah” menjadi “udah,” dan “sayang” menjadi “yang.” Sangat jarang ada orang yang bertanya menggunakan kata tanya. Biasanya langsung saja menggunakan kalimat positif dengan nada yang sedikit naik di ujung kalimat. Mirip dengan bahasa Spanyol dan Rusia yang tidak mempunyai "to be." Jadi mereka bermain dengan nada untuk membedakan sebuah kalimat adalah positif atau tanya. Khusus untuk bahasa Spanyol ada tanda baca khusus untuk kalimat tanya dan seru di dalam tulisan.
Dalam bahasa Spanyol, kalimat tanya membutuhkan baik tanda baca pembuka dan penutup. Tanda pembuka tersebut berupa tanda tanya terbalik (¿), sedangkan penutup adalah tanda tanya standar (?). Hal ini dikarenakan sintaks dalam bahasa Spanyol tidak selalu jelas dalam menerangkan apakah sebuah kalimat, dari awal, adalah sebuah pertanyaan. Hal sama dengan kalimat seru.
Kita sedang membicarakan apa sih?
Kita sedang membicarakan penggunaan tanda baca ya, sobat Jalan Sastra. Jika pada akhirnya malah menjadi sebuah tulisan kontemplasi, mungkin saya yang butuh penghiburan dan jalan-jalan.
Tanda baca bukan hanya aturan tata bahasa, tetapi juga cermin dari hati kita. Apapun tanda baca yang kita pilih, itu mencerminkan pergulatan batin yang mungkin sedang kita alami. Karena pada akhirnya, dalam keputusasaan dan keraguan yang mendalam, kita tetap mencari dan berharap bahwa pertolongan Tuhan itu ada. Mari kita terus berbagi cerita dan pengalaman, karena setiap tanda baca memiliki kisahnya sendiri, dan mungkin dalam kata-kata kita, kita bisa menemukan sedikit penghiburan di tengah kekalutan.
Comments
Post a Comment