Skip to main content

Dari Joget Pinguin ke Penghakiman Kilat: Sebuah Potret Netizen +62

 

Setiap kali sesuatu viral di media sosial, netizen Indonesia selalu punya satu reaksi yang konsisten: heboh. Entah itu karena lucu, aneh, menggemaskan, atau dianggap 'bahaya untuk akidah'. Dan baru-baru ini, giliran tarian pinguin yang diseret ke meja pengadilan warganet. Sebuah video lucu-lucu gemes tentang anak-anak atau ibu-ibu berbagi THR sambil menari dengan formasi berbaris—disebut sebagai tarian pinguin—tiba-tiba dituduh sebagai ritual Yahudi. Lalu mulai muncul suara-suara keras: "Haram! Jangan menyerupai mereka!"

Kok bisa?

Padahal kalau ditelusuri, tarian pinguin alias Letkajenkka atau disingkat Letkis/Letgis itu bukanlah milik eksklusif bangsa Yahudi. Tarian ini berasal dari kawasan Eropa Timur dan Utara seperti Finlandia, Albania, Bosnia, Serbia, Turki, hingga Rusia. Dulu dipakai buat perayaan panen, pesta pernikahan, kelulusan, hingga parade rakyat. Artinya, ini adalah tarian rakyat biasa, bukan simbol ritual keagamaan apalagi bagian dari dogma agama tertentu.

Tapi ya begitulah. Di negeri +62 ini, terlalu sering yang viral bukan hanya kontennya, tapi juga kekhawatirannya. Dan kekhawatiran itu seringkali tidak disertai dengan riset atau ricek. Pokoknya asal ada yang bilang "itu Yahudi" atau "itu agenda asing", langsung ramai-ramai boikot. Nggak sempat mikir panjang.

Padahal, kalau pun misalnya (ini misalnya loh ya) tarian tersebut pernah dipakai oleh orang-orang Yahudi dalam salah satu perayaan mereka, apa itu otomatis membuat semua orang yang menarikan ikut-ikutan keyakinannya? Mari pakai logika sederhana: batik sudah jadi pakaian nasional Indonesia, tapi juga dipakai oleh orang Belanda dan Jepang. Apa berarti kita sedang mengikuti budaya mereka? Tentu tidak.

Hal serupa terjadi kalau ada non-muslim yang mengucapkan "Assalamu’alaikum" di acara formal. Apakah itu artinya mereka sedang menyerupai umat Islam dalam aspek ibadah? Jelas tidak. Karena niat dan konteks sangat menentukan.

Nah, soal menyerupai kaum lain, banyak yang suka mengutip hadis: “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Dawud). Tapi seringkali, hadis ini dipakai tanpa pendalaman. Padahal para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah menyerupai mereka dalam hal yang menjadi ciri khas agama mereka, terutama dalam hal akidah dan ibadah. Kalau sekadar joget lucu bareng keluarga sambil ngasih THR, apa iya itu ibadah mereka?

Lebih penting lagi, kalau kita mau konsisten dengan logika ini, maka banyak aktivitas populer hari ini juga seharusnya dilarang. Contohnya? Senam Zumba. Itu asalnya dari Kolombia, diawali dari budaya Latin Amerika yang sangat identik dengan musik dan gerakan sensual. Aerobik? Itu tren dari Amerika. Line Dance? Budaya barat juga. Bahkan senam di TV nasional kita seringkali iringannya dangdut remix, dan gerakannya tidak selalu sesuai norma kesopanan. Apakah itu berarti kita sedang 'menyerupai' budaya non-muslim?

Islam tidak mengharamkan seni gerak atau tarian secara mutlak. Tapi Islam meletakkan koridor—batasan yang harus dijaga. Misalnya:

  • Jangan dilakukan dengan membuka aurat

  • Jangan dilakukan dengan campur baur lawan jenis

  • Jangan dilakukan untuk maksiat (misalnya untuk ajang mabuk-mabukan, atau pamer aurat)

Jadi bukan soal "siapa duluan yang nari", tapi bagaimana aktivitas itu dilakukan. Bahkan kalau kamu senam pagi dengan musik ceria, tertutup, dan tidak memancing syahwat, maka tidak ada larangan agama yang dilanggar.

Dan perlu juga kita camkan bahwa dalam Islam, niat adalah kunci. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalau kita joget pinguin cuma buat seru-seruan antar keluarga atau di acara pentas seni anak-anak sekolah, niatnya apa? Jelas bukan buat ibadah apalagi menyembah sesuatu selain Allah. Masa iya Allah menghukum orang karena terlalu ceria saat kasih amplop THR?

Yang lebih perlu kita waspadai justru budaya menghakimi tanpa ilmu. Rasulullah ﷺ sendiri melarang seseorang langsung memvonis tanpa tahu perkara dengan jelas. Al-Qur’an juga mengingatkan:

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa...” (QS. Al-Hujurat: 12)

Dan juga:

“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)

Kalau kita mudah percaya dengan broadcast yang isinya copy-paste disertai emot marah dan kalimat "WAJIB SEBARKAN!", tanpa mengecek validitasnya—di situlah justru letak masalahnya.

Karena, lebih berbahaya dari tarian pinguin adalah akal yang malas berpikir. Islam mengajarkan umatnya untuk cerdas, kritis, dan penuh pertimbangan. Bukan gampang ketularan panik berjamaah karena tren viral di TikTok.

Jadi, sebelum bilang "haram", "sesat", atau "mirip Yahudi", ada baiknya kita ambil waktu untuk tabayyun. Karena boleh jadi, yang kita tuduh-tuduh itu justru lebih murni niatnya daripada komentar kita sendiri yang penuh prasangka.

Dan hei, jangan-jangan besok giliran Reog Ponorogo yang dituduh punya unsur sihir, atau Tari Piring dikira menyembah peri nasi. Bisa-bisa kita tinggal duduk diam saja lalu dituduh ikut ritual kaum ghoiru.

Yang penting, jaga aurat, jaga adab, dan jaga akal sehat. Karena Islam datang bukan untuk melarang segalanya, tapi untuk menyucikan dan mengarahkan segalanya.

Kalau joget pinguin jadi masalah, mungkin bukan gerakannya yang salah. Tapi kita yang belum cukup punya ilmu untuk tersenyum dulu sebelum menghukumi.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...