Skip to main content

Domba, Serigala, dan Peternak: Ketika Rakyat Dibodohi oleh Rezim yang Rakus


Sepanjang hidupnya, domba selalu takut dimangsa serigala. Namun, pada akhirnya, peternak yang memelihara merekalah yang akan memotong mereka. Sebuah kutipan yang tajam dan penuh makna. Ini bukan sekadar dongeng hewan, tetapi metafora yang menampar realitas. Karena sejatinya, dalam kehidupan manusia, kita semua adalah domba, serigala adalah musuh yang terlihat jelas, sementara peternak? Mereka adalah orang-orang yang katanya melindungi, tapi diam-diam mengasah pisau.

Domba adalah hewan yang identik dengan kepolosan, ketergantungan, dan kepatuhan. Binatang mamalia ini tidak banyak bertanya, tidak menggugat, dan percaya saja dengan nasib yang digariskan. Ketika disuruh masuk kandang, mereka masuk. Ketika diberi rumput, mereka makan. Ketika dicukur, mereka diam. Bahkan saat satu per satu temannya menghilang, mereka hanya melihat dengan tatapan kosong—seolah semuanya baik-baik saja.

Lalu ada serigala. Sosok yang kerap ditakuti karena sifatnya yang buas dan agresif. Dalam dunia politik, serigala ini bisa diibaratkan sebagai ancaman luar: negara asing, ideologi yang berbeda, kelompok oposisi, atau siapa saja yang dijadikan kambing hitam oleh penguasa. Rakyat diberi propaganda bahwa serigala ini akan memangsa mereka kapan saja. Rakyat pun panik, merasa butuh perlindungan, dan semakin menggantungkan nasib kepada pihak yang katanya bisa menjaga mereka.

Namun, bagaimana jika ancaman terbesar justru bukan dari serigala, melainkan dari peternak itu sendiri? Orang yang memberi makan, membangun kandang, dan memastikan domba tumbuh sehat bukan karena cinta, tetapi karena suatu hari nanti mereka akan disembelih. Itulah rezim yang korup dan zalim—memelihara rakyat bukan untuk menyejahterakan, melainkan untuk diperas, dieksploitasi, dan dibungkam.

Peternak yang Berkedok Penyelamat

Penguasa yang zalim bukanlah serigala yang menampakkan taringnya secara terang-terangan. Mereka datang dengan senyum manis, menjanjikan perlindungan, menjual mimpi tentang kemakmuran, dan meminta domba untuk percaya penuh. Dengan segala pencitraan, mereka membuat rakyat merasa aman di kandang. Padahal, kenyamanan itu bukanlah kebebasan—melainkan jebakan.

Mereka memberikan “rumput” berupa bantuan sosial, subsidi, dan janji-janji ekonomi yang menggiurkan. Tapi semua itu diberikan bukan karena kebaikan hati, melainkan untuk memastikan rakyat tetap jinak dan tidak memberontak. Saat ada yang mulai sadar dan berteriak, mereka akan segera dipukul mundur, dicap sebagai domba sesat, atau lebih tragis lagi—dianggap serigala yang harus dimusnahkan.

Serigala yang Ditakuti, Peternak yang Dipuja

Kita sering dibuat takut dengan ancaman luar: ekonomi global, perang, ideologi asing, atau gerakan yang dianggap berbahaya. Rakyat dicekoki narasi bahwa tanpa perlindungan dari peternak, mereka akan musnah. Padahal, ancaman terbesar justru ada di dalam sistem itu sendiri.

Lihat bagaimana pajak terus naik, harga kebutuhan meroket, kebebasan bicara dikekang, dan korupsi menjadi budaya. Domba yang mulai mempertanyakan sistem akan diberi label sebagai pengganggu. Jika semakin vokal, mereka akan dipaksa diam dengan cara apa pun. Sementara itu, mereka yang tetap patuh akan tetap hidup dalam ilusi kandang yang aman.

Ironisnya, rakyat justru lebih takut kepada serigala yang belum tentu datang daripada kepada peternak yang jelas-jelas mengasah pisau di depan mata. Ini bukan kebodohan semata, tetapi hasil dari manipulasi sistematis yang telah berjalan selama bertahun-tahun.

Domba yang Sadar, Peternak yang Panik

Namun, sejarah membuktikan bahwa tidak semua domba akan selamanya patuh. Akan selalu ada momen ketika sebagian dari mereka menyadari bahwa kandang bukanlah perlindungan, melainkan jebakan. Ketika kesadaran ini muncul, peternak akan panik. Mereka akan mencoba berbagai cara untuk memastikan domba tetap tenang—mulai dari memberi lebih banyak rumput, mengganti penjaga kandang, atau bahkan menciptakan serigala palsu agar domba kembali merasa takut.

Tapi domba yang sadar tidak akan mudah diperdaya. Mereka mulai mempertanyakan segala hal: kenapa kita harus terus berada di kandang? Kenapa kita tidak bisa memilih padang rumput sendiri? Kenapa kita harus terus tunduk kepada peternak yang akhirnya akan menyembelih kita juga?

Ketika pertanyaan-pertanyaan ini semakin nyaring, peternak tahu bahwa waktunya hampir habis. Sebab, domba yang mulai berpikir bukan lagi domba. Mereka akan mencari cara untuk membebaskan diri, atau bahkan menggulingkan peternak itu sendiri.

Kesimpulan yang Tak Perlu Disebut Kesimpulan

Kisah ini bukan hanya tentang hewan, tapi tentang kita. Tentang rakyat yang terus dicekoki ketakutan, tentang penguasa yang berpura-pura menjadi penyelamat, dan tentang bagaimana sistem ini terus berjalan karena kebanyakan dari kita memilih diam.

Serigala mungkin memang menakutkan, tapi ancaman dari luar belum tentu sebesar yang digembar-gemborkan. Justru peternak yang selama ini kita puja-lah yang mungkin sudah menyiapkan pisau untuk mengakhiri kita satu per satu.

Pertanyaannya, apakah kita akan terus menjadi domba yang patuh? Atau saatnya mencari cara untuk keluar dari kandang dan menentukan nasib sendiri? Sebab, jika terus menunggu, pada akhirnya bukan serigala yang akan memangsa kita, melainkan tangan peternak yang selama ini kita percaya sepenuhnya.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...