Skip to main content

Mudik: Renungan Eksistensial Para Filsuf Saat Pulang Lebaran


Mudik bukan sekadar perjalanan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Ia adalah ritual tahunan yang menyimpan berbagai makna: perjumpaan, pengakuan, perenungan. Setiap orang membawa pulang bukan hanya oleh-oleh, tetapi juga pemikiran, kegelisahan, dan mungkin, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lama dibiarkan menggantung. Dan jika para filsuf pun ikut pulang Lebaran, mungkin beginilah kisah mereka.

Sartre turun dari bus dengan langkah pelan. Ia merogoh saku celananya, mendapati beberapa lembar uang yang tersisa. Cukup untuk pulang, cukup untuk bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ini benar-benar keputusannya, atau sekadar serangkaian sebab akibat yang membawanya ke sini? Di teras rumah, ibunya menyambut dengan ketupat di tangan. Sartre tersenyum. Di tengah absurditas dunia, setidaknya ada satu hal yang bisa diterima tanpa perlu banyak pertanyaan: makanan rumah.

Di rumah yang lain, Nietzsche duduk di meja makan, dikelilingi saudara yang riuh bertanya, “Kapan menikah?” Ia menghela napas, lalu menjawab pelan, “Manusia unggul tidak tunduk pada konstruksi sosial.” Keluarganya terdiam sejenak, sebelum akhirnya tertawa, mengira itu lelucon. Tapi Nietzsche serius. Lebaran bagi banyak orang adalah ajang silaturahmi, tapi bagi dirinya, ini ujian bagi kehendak bebas. Mampukah ia tetap menjadi dirinya sendiri di tengah tekanan kolektif yang terus bertanya tentang status dan masa depan?

Sementara itu, Kierkegaard menyelinap ke pojok mushola. Ia baru saja menyalami ratusan tangan, tapi tetap saja merasa sepi. “Kesunyian,” bisiknya, “adalah doa yang tak membutuhkan kata.” Di sana, di antara gema takbir dan suara anak-anak berlarian, ia mengenang cinta yang dulu tak sempat diperjuangkan. Ia sadar, pulang bukan sekadar tentang tempat, melainkan keberanian menghadapi bayangan sendiri.

Di ruang tamu sebuah rumah yang ramai, Rumi tak membawa kue kering, tapi ia membawa puisi. Ia duduk di antara sanak saudara, membacakan bait-bait tentang cinta dan rindu. Tak semua orang mengerti, tapi entah kenapa, mereka merasa hangat. “Kita semua sedang dalam perjalanan pulang,” ucapnya. “Bahkan jika rumah itu belum kita temukan.” Beberapa orang mengangguk, yang lain melanjutkan obrolan, tapi di sudut hati mereka, kata-kata Rumi tetap tinggal.

Camus pulang dengan bus terakhir. Perjalanan panjang membawanya ke kampung yang mulai sunyi. Di halte, ia mencatat di buku kecilnya: “Di tengah hiruk-pikuk silaturahmi, kita justru sadar bahwa hidup tidak selalu harus dimengerti. Cukup dijalani.” Ketika akhirnya sampai di rumah, pintu terbuka, dan aroma opor menyambutnya. Camus tersenyum. Malam ini, absurditas dunia pun tampaknya beristirahat sejenak.

Di ruang keluarga, Plato tidak sibuk berswafoto seperti sepupu-sepupunya. Ia lebih tertarik berdialog. Seorang keponakan kecil bertanya, “Kenapa Lebaran selalu harus pulang?” Plato menatapnya dan menjawab, “Karena jiwa kita rindu pada bentuk sejati—yakni cinta tanpa syarat dari rumah.” Keponakannya tidak terlalu paham, tapi tetap mengajaknya main petasan. Plato tertawa kecil. Terkadang, pertanyaan besar tak selalu butuh jawaban besar.

Di sisi lain ruangan, Simone de Beauvoir duduk berdampingan dengan neneknya. Di kota, ia adalah perempuan mandiri yang tak bergantung pada siapa pun. Tapi di rumah, ia tetap seorang cucu yang menyuapi, mencium tangan, dan mendengarkan cerita lama. “Kebebasan,” pikirnya, “bukan berarti tak pulang. Tapi memilih untuk pulang tanpa kehilangan diri sendiri.”

Dostoyevsky, dengan tatapan penuh renungan, membaca doa dalam hati. Ia tahu ada banyak yang telah ia kecewakan, ada luka yang belum sembuh. Tapi ia tetap datang. Baginya, pulang adalah pengakuan, dan Lebaran adalah momen pengampunan—meski tak selalu diucapkan, tapi selalu diharapkan.

Di sudut ruangan, Schopenhauer duduk diam, membawa pesimismenya yang telah dilipat rapi di dalam koper. Ketika seseorang bertanya kenapa ia begitu pendiam, ia hanya mengangkat bahu. “Kehidupan adalah penderitaan yang diselimuti ilusi. Tapi baiklah, aku coba makan ketupat dengan damai.” Ia mengunyah pelan, menyadari bahwa dalam kegetiran hidup, keluarga tetap bisa menjadi penghiburan yang tak masuk akal, tapi tetap nyata.

Pulang tidak selalu berarti kembali ke tempat asal. Bagi Sartre, itu adalah perenungan tentang pilihan. Bagi Nietzsche, itu adalah ujian bagi kehendak bebas. Kierkegaard menemukan sunyi dalam ramai, Rumi membawa rumah dalam hatinya, Camus membiarkan absurditas beristirahat sejenak. Plato melihat pulang sebagai bentuk cinta sejati, Simone de Beauvoir menjadikannya kebebasan yang dipilih, Dostoyevsky menganggapnya pengakuan, dan Schopenhauer... yah, bahkan dalam kegetiran, ia tahu bahwa ketupat dan keluarga bisa menjadi pelipur lara. Mungkin, mudik bukan sekadar perjalanan kembali ke rumah, tapi perjalanan untuk menemukan kembali diri sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...