Skip to main content

Negara Preman dan Preman Negara: Ketika Kekuasaan Tak Cukup Dipegang oleh Aparat

Negeri ini punya kebiasaan aneh: kalau ada masalah yang menyangkut legitimasi kekuasaan, yang turun bukan aparat hukum, bukan tim advokasi, tapi justru orang-orang bertubuh kekar dengan gaya bicara intimidatif. Terbaru, kasus dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi kembali menyeruak. Publik menuntut transparansi. Warganet ramai menantang agar sang presiden memperlihatkan langsung dokumen pendidikannya. Tapi siapa yang muncul ke depan? Bukan staf presiden. Bukan pula jubir istana. Justru yang pasang badan adalah Hercules Rosario Marshal, mantan preman Tanah Abang yang kini tampil sebagai pembela kekuasaan. Dengan nada ancaman, Hercules memperingatkan siapa pun yang "mengganggu" Jokowi. Negara ini seolah tak percaya lagi pada argumentasi, lalu memilih preman sebagai jurubicara informal.

Ini bukan kejadian satu-satunya. Kita sudah lama hidup dalam bayang-bayang premanisme yang dilembagakan. Ketika kekuasaan merasa terganggu, maka tangan formalnya—kepolisian, kejaksaan, institusi hukum—sering kali tidak turun sendiri. Yang melangkah lebih dulu justru tangan-tangan kotor, tak resmi, tapi loyal.

Di Negeri Ini, Preman Bukan Sekadar Jagoan Pasar

Kita ingat kasus Rempang. Saat mahasiswa dan warga menolak penggusuran tanah adat demi kepentingan investasi asing, ormas-ormas misterius dengan postur preman datang menyerbu aksi. Diduga kuat mereka dikendalikan untuk memecah konsentrasi massa. Bukannya dialog yang dibangun, tapi tekanan fisik dan teror. Lebih menyakitkan lagi, ada indikasi bahwa tokoh-tokoh organisasi besar mahasiswa ikut cawe-cawe memfasilitasi premanisme ini, seolah kekerasan adalah bagian dari strategi negosiasi politik.

Mundur sedikit, kita mendapati tragedi Salim Kancil pada 2015. Ia adalah petani biasa yang menolak tambang pasir ilegal di Lumajang. Tapi keberaniannya dibayar mahal: diculik, disiksa, dan dibunuh oleh sekelompok preman yang dipimpin kepala desa sendiri. Ini bukan sekadar konflik tambang. Ini adalah pameran vulgar dari negara yang menggunakan kekerasan informal untuk membungkam rakyat kecil.

Dan tentu tak bisa dilupakan bagaimana Hercules dulu tumbuh besar. Ia bukan sekadar preman pasar, tapi juga bagian dari jaringan kekuasaan militer. Ia disebut-sebut sebagai pion dari salah satu jenderal kuat negeri ini. Di era Orde Baru, preman adalah alat kontrol. Mereka menguasai wilayah, mengintimidasi oposisi, dan membantu proyek-proyek penguasa. Hari ini, para preman itu berganti baju, pakai jas, dan sesekali muncul membela istana.

Apa yang kita saksikan di Indonesia adalah semacam outsourcing kekerasan. Negara seperti tidak mau kotor tangannya sendiri, maka dikerahkanlah kekuatan informal—ormas, preman, geng lokal—untuk menunaikan tugas yang tak ingin dilihat publik sebagai kebijakan resmi. Preman jadi alat represi, tapi dengan seragam sipil dan pembenaran moral yang absurd: demi stabilitas.

Tapi cerita ini bukan milik Indonesia saja. Di luar negeri, praktik semacam ini punya sejarah panjang dan lebih brutal.

Dan Di Luar Sana, Negara Juga Main Kotor

Indonesia jelas bukan satu-satunya. Dunia punya catatan panjang tentang negara yang menanggalkan baju resmi demi mengenakan seragam hitam tak bernama. Dari Amerika Latin hingga Karibia, dari Asia hingga Afrika, premanisme yang dilembagakan adalah taktik klasik rezim otoriter. 

Di Jerman era 1930-an, Partai Nazi punya pasukan paramiliter bernama Sturmabteilung (SA), atau dikenal juga sebagai Brownshirts. Mereka adalah contoh klasik dari kelompok preman yang diinstitusionalisasi oleh negara. Mereka merupakan pasukan paramiliter Partai Nazi di bawah Adolf Hitler, dan sejak awal memang diisi oleh mantan tentara, kriminal jalanan, hingga pengangguran yang lapar kekuasaan. Tugas mereka sederhana tapi brutal: menggertak, memukuli, bahkan membunuh lawan-lawan politik Hitler—terutama dari kalangan komunis dan sosialis—sebelum Nazi benar-benar berkuasa.

SA-lah yang menciptakan ketakutan di jalan-jalan Jerman, menyerang rapat umum oposisi, memaksa toko-toko tutup, dan bahkan melakukan pogrom terhadap kelompok Yahudi jauh sebelum SS (Schutzstaffel) mengambil alih peran yang lebih terorganisir dan mematikan.

Mereka adalah contoh sempurna dari bagaimana kekuasaan yang sedang naik daun memerlukan kekuatan kasar di luar institusi resmi. Dan ironisnya, setelah SA tidak lagi diperlukan, Hitler sendiri "membersihkan" mereka dalam peristiwa berdarah Night of the Long Knives (1934), karena para pemimpinnya dianggap terlalu ambisius dan berpotensi mengancam kekuasaan Führer.

Nicaragua: Dari Revolusi ke Rezim Ketakutan

Di Nicaragua, nama Daniel Ortega dulu dielu-elukan sebagai simbol rakyat yang menang atas tirani. Tapi sejarah punya ironi yang tajam: mereka yang dulu menumbangkan diktator, sering kali belajar terlalu banyak dari gaya yang ditumbangkan.

Sejak kembali berkuasa di tahun 2007, Ortega secara perlahan menanggalkan wajah revolusionernya dan mengenakan topeng tiran. Protes tahun 2018 menjadi titik balik. Ribuan mahasiswa turun ke jalan menolak kebijakan jaminan sosial yang merugikan rakyat. Respons Ortega? Teror. Bukan hanya polisi dan tentara yang bergerak, tapi juga pasukan sipil bertopeng—kelompok yang kemudian dikenal sebagai "grupos de choque" atau "shock groups". Mereka menyerang kampus, memburu aktivis ke rumahnya, menembaki demonstran dari kendaraan sipil, dan menyebar teror lewat media sosial.

Human Rights Watch dan Amnesty International mencatat pola yang mencolok: milisi sipil ini tidak otonom. Mereka bergerak bersama, atau bahkan di bawah perlindungan aparat resmi. Premanisme tidak sekadar dilembagakan—ia disponsori. Kekuasaan tidak hanya menggunakan hukum untuk menindas, tapi juga kekerasan informal untuk menghapus jejak.

Venezuela: Colectivos, Polisi Jalanan dengan Lisensi Kekuasaan

Colectivos di Venezuela bukan sekadar geng motor bersenjata. Mereka adalah alat represi sipil dengan izin tak tertulis dari rezim Nicolás Maduro. Resminya, mereka adalah komunitas rakyat bersenjata untuk menjaga ketertiban. Kenyataannya? Mereka seperti bayangan gelap dari negara itu sendiri.

Dalam berbagai demonstrasi oposisi—terutama sejak 2014—colectivos terlihat turun ke jalan dengan sepeda motor, mengenakan helm, membawa senjata api, dan menyerang massa dengan brutal. Mereka membubarkan demonstrasi, merusak kantor media, menculik aktivis, bahkan membunuh. Dan yang paling menyeramkan: mereka kebal hukum. Ada laporan bahwa mereka sering mendapat amunisi dan kendaraan dari aparat. Di banyak kasus, polisi justru mundur ketika colectivos menyerbu, seolah panggung sudah diserahkan.

Sebuah investigasi BBC menyebut colectivos sebagai “tentara informal yang menjaga Maduro tetap berkuasa”. Dalam demokrasi yang rapuh, premanisme berubah menjadi infrastruktur politik.

Grenada: Mongoose Gang, Ketika Negara Punya Geng Preman Sendiri

Di Grenada tahun 1970-an, Perdana Menteri Eric Gairy punya mimpi besar dan paranoia yang lebih besar lagi. Ia ingin menjadi pemimpin seumur hidup, dan untuk itu, ia membentuk satuan bayangan yang lebih setia dari militer: Mongoose Gang. Namanya mungkin terdengar lucu, tapi sepak terjangnya jauh dari jenaka.

Mongoose Gang bukanlah lembaga resmi. Mereka tak punya struktur legal, tak ada pelatihan militer formal. Tapi mereka punya satu hal: restu penuh dari Gairy untuk melakukan apa saja demi mempertahankan kekuasaan. Preman ini bertugas memukul demonstran, membakar markas oposisi, dan mengintimidasi siapa pun yang dianggap ancaman. Mereka menyerang serikat buruh, memukul jurnalis, dan bahkan menculik aktivis mahasiswa secara terang-terangan di jalanan kecil St. George’s, ibu kota Grenada.

Saksi mata menggambarkan Mongoose Gang sebagai “pasukan tanpa hukum yang merasa kebal”. Mereka sering beroperasi saat malam, mengenakan pakaian sipil dan membawa tongkat, pisau, bahkan senjata api. Keberadaan mereka adalah peringatan: bahwa siapa pun yang menentang Gairy, akan berurusan bukan dengan pengadilan, tapi dengan tinju, borgol, dan sunyi.

Mereka begitu brutal dan dibenci rakyat sampai akhirnya menjadi salah satu alasan utama kudeta rakyat tahun 1979 yang dipimpin Maurice Bishop. Ketika New Jewel Movement mengambil alih kekuasaan, salah satu tindakan pertamanya adalah membubarkan Mongoose Gang—bukan lewat pengadilan, tapi pembubaran paksa.

Kasus Grenada menunjukkan betapa kecilnya jarak antara kekuasaan dan kekacauan ketika hukum diserahkan pada geng pribadi. Di tangan Gairy, negara bukan sekadar gagal melindungi rakyat—tapi aktif menyewa kekerasan untuk menakuti mereka.

El Salvador: Pasukan Kematian dan Dukungan dari Luar

Di El Salvador pada 1980-an, militer dan oligarki menyewa death squads untuk membantai siapa pun yang dicurigai sebagai simpatisan kiri. Tak peduli usia atau profesi. Pastor Óscar Romero ditembak mati saat memimpin misa, guru-guru desa digantung di hutan, mahasiswa disiksa dan dibuang ke jurang.

Death squads beroperasi diam-diam, tapi mendapat perlindungan resmi. Bahkan dalam dokumen CIA yang dibuka belakangan, terlihat bagaimana negara adidaya turut membantu “stabilisasi” dengan cara yang sangat kotor. Kekerasan tidak hanya dilembagakan—tapi juga dibiayai lintas negara. Premanisme jadi diplomasi alternatif.

Kolombia: AUC dan Bisnis Kekerasan yang Disahkan Negara

Autodefensas Unidas de Colombia (AUC) awalnya didirikan sebagai respons terhadap kekejaman FARC—gerilyawan kiri. Tapi tak butuh waktu lama sampai AUC berubah menjadi mesin pembantaian dengan skala industri. Mereka membunuh, menculik, dan memeras. Target mereka? Bukan hanya gerilyawan, tapi juga warga sipil, aktivis hak asasi, bahkan jurnalis.

AUC sering beroperasi di daerah yang sama dengan militer Kolombia. Dalam banyak laporan, ada kolusi terang-terangan: militer ‘membiarkan’ mereka membersihkan wilayah, lalu datang belakangan untuk seolah-olah menegakkan ketertiban. Ini adalah simbiosis gelap: negara tetap terlihat sah, tapi kekerasan dilakukan oleh pihak ketiga.

Dan seperti semua vendor kekerasan yang baik, AUC juga tahu cara menjaga bisnisnya: mereka terlibat dalam perdagangan narkoba, punya struktur logistik sendiri, dan menjalin koneksi politik. Kekuasaan menyewakan kekerasan, dan premanisme berubah menjadi ekonomi politik.

Haiti: Tonton Macoute, Ketika Teror Jadi Institusi

François "Papa Doc" Duvalier, diktator Haiti dari 1957 sampai 1971, adalah arsitek salah satu mesin teror paling mengerikan di dunia: Tonton Macoute. Namanya diambil dari mitologi lokal—seorang monster penculik anak-anak yang bersembunyi dalam bayangan.

Tonton Macoute bukan sekadar preman bersenjata, mereka adalah pasukan iblis berwajah manusia. Mereka tak punya pelatihan resmi, tapi diberi kekuasaan absolut: menangkap, menyiksa, membunuh. Mereka mengenakan kacamata hitam dan topi lebar, menciptakan sosok yang menyeramkan dan sulit diidentifikasi. Mereka membunuh tanpa proses, menculik orang dari rumahnya, membakar desa, dan menyebarkan ketakutan hingga ke sumsum masyarakat.

Yang membuat mereka lebih horor adalah aspek mistis yang dilibatkan. Papa Doc memadukan teror politik dengan kultus voodoo, menyebut dirinya perwujudan Baron Samedi, dewa kematian. Negara bukan hanya kehilangan akal sehat, tapi juga logika hukum. Kekuasaan dicampur dengan takhayul, dan preman jadi nabi ketakutan.

Kenapa Negara Butuh Preman?

Karena hukum itu mahal, rumit, dan penuh batas. Sementara kekuasaan punya selera atas kecepatan dan loyalitas. Preman tak butuh surat tugas. Mereka hanya butuh instruksi, amplop, dan restu diam-diam. Negara menggunakannya untuk menghindari hukum, mengelabui opini publik, dan menjaga tangan tetap terlihat bersih.

Premanisme negara adalah cara kekuasaan menjaga kendali tanpa repot dengan legalitas. Seperti outsourcing kekerasan. Preman jadi vendor yang mengeksekusi kotoran yang tak sanggup dilakukan secara institusional.

Dan masyarakat? Sering kali terdiam. Karena takut, karena sudah lelah, atau karena merasa ini semua biasa saja. Kita terlanjur terbiasa melihat kekerasan dihalalkan demi stabilitas, padahal yang stabil hanya kursi kekuasaan.

Ini Bukan Sekadar Soal Premanisme, Tapi Soal Moral Negara

Ketika negara menggunakan kekerasan informal untuk menekan warga, itu artinya negara gagal. Gagal membangun kepercayaan. Gagal menjunjung hukum. Gagal bersikap adil.

Dan jika kekuasaan terus mengandalkan preman, maka jangan heran bila suatu hari nanti hukum benar-benar kehilangan maknanya. Karena apa bedanya negara yang dikuasai preman dengan preman yang jadi negara?


Kalau Anda merasa artikel ini terlalu pedas, bayangkan saja bagaimana rasanya hidup di bawah kekuasaan yang menyewa preman untuk membungkam mulut Anda. Kalau ini dianggap berlebihan, ingatlah: sejarah justru penuh dengan kekerasan yang dimulai dari pembiaran kecil yang dibiarkan terus-menerus.

Dan kalau suatu hari nanti, Anda dibungkam bukan oleh polisi, tapi oleh pria tak dikenal dengan badan kekar dan tatapan kosong, maka Anda tahu: kita sedang hidup dalam republik outsourcing.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...