Negeri ini sedang membuka pintu. Sebuah pintu yang lama tertutup setengah, kini dibiarkan menganga lebar-lebar. Tak ada palang, tak ada pagar, tak ada penjaga yang menakar siapa layak masuk, siapa patut ditahan. Presiden berdiri di muka gerbang itu dan berkata, “Buka saja. Tak perlu kuota. Tak perlu aturan.” Sebuah deklarasi kebebasan, katanya. Tapi kita tahu, dalam sejarah dunia, kebebasan yang dibagikan tanpa aturan sering kali hanya menjadi pesta untuk mereka yang sudah kenyang.
Dan negeri ini, yang tanahnya masih merah oleh darah petani yang tak kunjung panen dan peluh peternak yang kalah harga, kini harus bersiap menyambut banjir baru: banjir daging beku, beras murah, bawang putih berkilau, dan jagung asing yang datang tanpa permisi, tanpa batas.
Katanya, ini demi efisiensi. Demi rakyat. Tapi rakyat yang mana?
Petani yang Tak Lagi Ditanam, Peternak yang Tak Lagi Diberi Makan
Coba tengok ladang-ladang yang sunyi itu. Di sanalah para petani—lelaki renta dengan tangan kapalan, perempuan kuat dengan punggung membungkuk—bercocok tanam dalam diam. Mereka bukan penggerutu. Mereka tidak tahu cara melobi kementerian. Mereka tidak punya akses ke pelabuhan atau kenalan di bea cukai. Mereka hanya tahu bagaimana cara menumbuhkan padi dari lumpur. Tapi kini, lumpur itu mulai kehilangan harap.
Ketika beras dari luar negeri masuk seperti air bah, harga di pasar runtuh. Gabah mereka tak laku. Peluh mereka tak dihargai. Mereka bukan kalah dalam persaingan, mereka disingkirkan dari gelanggang sebelum sempat bertanding.
Begitu pula para peternak. Sapi mereka masih butuh rumput, butuh vaksin, butuh waktu bertahun-tahun untuk gemuk. Tapi pasar tak sabar. Daging dari luar—dipotong dengan mesin, dibekukan dalam kontainer raksasa—datang dengan harga yang bahkan tak bisa dikalahkan oleh doa. Maka kandang-kandang jadi kosong, dan suara rintih bukan lagi datang dari hewan, tapi dari manusia yang mengandalkannya untuk hidup.
Birokrasi yang Dilucuti: Pisau yang Mengasah Tanpa Gagang
Presiden berkata, ini bagian dari penyederhanaan. Penghapusan kuota adalah cara merampingkan sistem. Tapi kita tahu, tanpa kerangka yang adil, deregulasi hanyalah pembebasan liar yang akan menabrak yang lemah lebih dulu.
Sistem kuota memang selama ini bobrok—disusupi mafia, dinikmati segelintir perusahaan yang hidup dari rente. Tapi meruntuhkan sistem tanpa membangun pengganti adalah seperti mencabut atap rumah demi mengusir tikus. Kita basah kuyup, tapi tikusnya tetap lari lewat celah lain.
Kuota bukan dosa, yang berdosa adalah mereka yang memonopolinya. Seharusnya yang diberantas adalah jaringan gelapnya, bukan fungsi regulasinya.
UMKM dan Pedagang Kecil: Izin Boleh Sama, Tapi Kapal Tak Sama Ukurannya
Ada ironi yang terus diulang: pemerintah bicara kesetaraan, tapi lupa bahwa kesetaraan tanpa keberdayaan hanyalah formalitas yang menyakitkan. Memberi izin impor kepada semua pelaku usaha memang terdengar adil. Tapi bagi pedagang kecil yang bahkan belum sanggup membayar gaji staf keuangan, tawaran izin impor sama saja seperti menawarkan teropong ke orang buta.
Mereka boleh masuk ke arena, tapi arena itu dipenuhi gajah. Dan gajah tidak peduli siapa yang terpijak.
UMKM bukan manja. Mereka cuma tak pernah diajak berlari bersama. Mereka bukan malas, mereka hanya tak pernah diberi sepatu yang sama bagusnya.
Trump dan Ilusi Efisiensi: Sebuah Mimpi Amerika yang Tak Cocok di Sawah Tropis
Donald Trump—simbol proteksionisme dan gebrakan dagang—menjadi inspirasi. Katanya, tarif Trump justru memberi peluang bagi Indonesia untuk menjadi efisien. Sebuah logika yang mungkin cocok di Wall Street, tapi terasa sumbang di sawah yang masih bergantung pada aliran air hujan dan buruh harian yang upahnya kalah dari harga sebungkus rokok.
Trump bisa bicara efisiensi karena di belakangnya ada gudang raksasa, petani dengan drone, dan peternak dengan teknologi berbasis AI. Kita? Masih sibuk mencetak pupuk bersubsidi palsu dan memperdebatkan data berapa panen yang benar-benar terserap pasar.
Membandingkan kita dengan AS dalam hal efisiensi, sama saja seperti menyuruh tukang becak meniru jalur Formula 1. Kita bukan tak mau cepat. Kita cuma tahu diri bahwa bannya belum kuat, setirnya masih longgar.
Penutup yang Belum Selesai: Kita Harus Bertanya Lagi, Untuk Siapa Negara Ini Dibuka?
Kita sedang berada di tikungan tajam. Di satu sisi, pasar butuh keluwesan. Di sisi lain, daulat pangan dan kesejahteraan rakyat kecil adalah hal yang tak boleh ditukar hanya demi grafik ekonomi yang tampak indah di layar PowerPoint.
Membuka keran impor adalah keputusan besar. Tapi jika dilakukan dengan cara meniadakan semua rem pengaman, maka bukan saja kita sedang membuka pintu—kita sedang menggulung karpet dari bawah kaki rakyat sendiri.
Dan ketika rakyat jatuh, jangan salahkan mereka jika suatu saat bangkit bukan untuk menanam, tapi untuk menggugat.
Karena tak ada bangsa besar yang hidup dari memakan hasil panen bangsa lain. Karena kemerdekaan, di negeri yang masih berjuang ini, bukan diukur dari seberapa banyak yang bisa kita beli, tapi seberapa berani kita berdiri di atas hasil jerih payah sendiri.
Comments
Post a Comment