Sudah sepatutnya seorang manusia yang telah menua, dengan tubuh yang tak lagi lentur dan semangat yang mulai lelah, diberi ruang untuk menikmati senja hidupnya. Menghisap teh hangat di beranda, ditemani suara burung dan kucingnya yang bermain di halaman. Sudah waktunya ia menjadi tempat bertanya, bukan tempat menggenggam kuasa. Menjadi bijak karena telah kenyang pengalaman, bukan masih sibuk meninju dunia dengan ego masa lalu yang belum selesai.
Namun sayangnya, sebagian orang tak pernah tahu kapan harus berhenti. Ada yang masih ingin terus bertarung, meski napas sudah tak selonggar dulu. Ada yang masih percaya bahwa dunia belum selesai menulis namanya dalam sejarah, walau tinta usianya sudah menipis. Maka ia pun melangkah ke medan laga, membawa tubuh renta dan ingatan penuh dendam lama, dan mengira dirinya masih bisa menjadi penyelamat.
Sementara di sampingnya, berdiri seorang muda yang bahkan belum selesai memahami dunia, tapi dipaksakan untuk menggenggam urusan negara. Seorang muda yang lebih akrab dengan mainan dan koleksi, lebih fasih membahas karakter game daripada strategi pembangunan. Ia duduk di kursi penting, tapi tak pernah benar-benar hadir sebagai pemikir. Sosoknya hanya ada dalam simbol, bukan dalam kebijakan. Ia lebih seperti boneka pajangan—rapi, muda, tampan, tapi kosong.
Beginilah negeri ini berjalan hari ini. Di bawah duet antara yang terlalu tua untuk berubah, dan yang terlalu muda untuk mengerti. Di bawah kepemimpinan yang satu keras kepala, dan yang satunya lagi bahkan belum bisa membedakan mana debat publik dan mana konten viral.
Yang satu, alergi terhadap kritik. Ia menganggap setiap masukan sebagai serangan, setiap pertanyaan sebagai tantangan terhadap harga dirinya. Ia lupa bahwa pemimpin bukan dewa, dan jabatan bukan takhta kebal kritik. Ia kerap memelintir suara rakyat sebagai nyinyiran, seolah negara ini hanya layak diisi puji-pujian. Sementara yang satu lagi? Tak bersuara. Tak berpikir. Tak menjawab. Ia lebih seperti bayangan yang berjalan di samping kekuasaan, ikut melangkah tapi tak pernah tahu sedang menuju ke mana.
Negeri ini, sayangnya, terlalu murah hati memberikan ruang pada dua kutub yang belum selesai dengan dirinya masing-masing. Yang satu belum bisa berdamai dengan masa lalu, masih haus pengakuan, masih ingin membuktikan diri. Yang satu lagi belum sempat membaca buku sejarah, belum cukup mencerna arti konstitusi, tapi sudah diseret duduk di kursi negara. Padahal seharusnya ia masih asyik di kamar, mengulik koleksi robot-robotan atau menyusun pasukan virtual di layar gawai. Seharusnya.
Tapi negeri ini punya logika aneh. Di sini, kemampuan bukan syarat. Kedekatan lebih penting dari kecakapan. Yang dibutuhkan bukan yang mengerti, tapi yang bisa dikendalikan. Maka boneka pun bisa naik takhta. Maka pensiunan prajurit pun merasa dirinya nabi politik yang datang untuk menyelamatkan bangsa, meski bangsa ini sudah jenuh dengan narasi penyelamatan.
Kita sedang hidup di era di mana jabatan bukan lagi tentang tanggung jawab, tapi tentang kesetiaan. Di mana rakyat yang bersuara dianggap pembangkang, dan kritik disebut ujaran kebencian. Kita sedang berjalan di jalur sempit antara otoritarianisme halus dan demokrasi palsu. Dan sialnya, banyak yang menganggap semua ini wajar, karena dibungkus dengan jargon stabilitas dan keamanan.
Padahal tak ada yang stabil dalam ketidakmampuan. Tak ada yang aman di tangan mereka yang tak mau mendengar. Kita sedang dipimpin oleh satu sosok yang terlalu tua untuk berubah dan satu sosok yang terlalu muda untuk mengerti, dan di antara keduanya, rakyat menjadi sandera.
Pemimpin bukan soal umur. Tapi ketika usia sudah begitu senja dan kepala sudah terlampau penuh oleh luka sejarah pribadi, seringkali kemampuan untuk mendengar menjadi tumpul. Dan ketika pemimpin muda tak punya isi kepala kecuali hafalan dari briefing, maka ia tak lebih dari juru bicara tanpa suara. Ia hanya bergerak sesuai skenario, tak punya kehendak, apalagi keberanian.
Yang satu membawa kenangan masa lalu seperti pedang. Ia mudah tersulut, mudah marah, mudah menyalahkan. Ia merasa dirinya selalu benar, dan rakyat hanyalah pengganggu yang tak tahu diri. Ia lupa bahwa negara bukan medan perang, dan rakyat bukan musuh. Sementara yang satunya lagi, bahkan tak tahu bahwa ia sedang jadi alat. Ia masih belajar mengeja makna negara, tapi sudah disuruh bicara tentang bangsa.
Negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Dan kita butuh pemimpin yang mau mendengar, bukan hanya mau dipuja. Kita butuh sosok yang hadir, bukan sekadar ada di spanduk. Kita butuh keberanian untuk membenahi, bukan keberanian untuk membungkam. Tapi selama yang berkuasa masih berpikir bahwa kritik adalah serangan dan kepatuhan adalah harga mati, maka masa depan kita akan terus dipermainkan oleh ambisi tua dan ketololan muda.
Maka izinkan saya berkata, dengan segala hormat: Biarlah yang tua beristirahat. Biarlah ia bermain bersama kuda dan kucing kesayangannya, menertawakan kenangan dan berdamai dengan usia. Dan biarlah yang muda tumbuh dulu. Belajar. Membaca. Menyusun pikiran. Main game kalau perlu, hingga ia benar-benar tahu kapan harus serius. Jangan paksa ia duduk di kursi penting kalau isi kepalanya masih belum sampai ke sana.
Negeri ini terlalu besar untuk dijadikan panggung drama pribadi. Terlalu mahal untuk dijadikan hadiah politik. Dan terlalu penting untuk dipercayakan kepada mereka yang tidak siap.
Jangan heran kalau suatu hari rakyat tak lagi bersuara dengan kata, tapi dengan amarah. Karena kesabaran pun ada batasnya.
Comments
Post a Comment