Di tengah gemuruh perubahan dunia, budaya industri Indonesia masih berkutat dalam pola usang: hidup segan, mati pun tak mau. Stakeholder perusahaan, baik swasta maupun pemerintah, lebih sibuk mempertontonkan basa-basi ketimbang beraksi. Di semua lapisan, dari kementerian hingga HRD terkecil, budaya yang dibangun adalah company centrist: keberpihakan mutlak kepada perusahaan, dan pengorbanan tanpa batas dari para pekerja.
Dalam skema ini, pihak yang paling mudah disalahkan selalu pekerja. Salah kirim email? Salah pekerja. Target tidak tercapai? Salah pekerja. Produktivitas seret? Salah pekerja. Padahal, strategi, kebijakan, dan fasilitas yang disediakan seringkali lebih banyak menghambat daripada membantu.
Pemerintah Indonesia, alih-alih memperkuat perlindungan terhadap sumber daya manusia (SDM), justru memilih jalur cepat: memoles citra untuk menarik sebanyak-banyaknya investor asing. Tapi, apa hasilnya? Bukannya banjir investasi, malah banyak pabrik yang hengkang. Vietnam, Bangladesh, India justru berjaya, karena mereka paham: investasi nyata dibangun di atas pondasi manusia yang sejahtera, bukan buruh murah yang dibungkam.
Di sisi masyarakat, warisan budaya feodal tetap dipelihara dengan rapi. "Kamu yang butuh perusahaan, bukan perusahaan yang butuh kamu." "Kalau kerja, jangan cari duit, cari pengalaman." Kalimat-kalimat seperti ini mengakar kuat, diturunkan dari generasi ke generasi, seolah ketidakberdayaan itu suatu kehormatan. Alhasil, lahirlah generasi pekerja yang terampil menjilat, terlatih mengalah, dan terbiasa mengubur suara kebenaran dalam-dalam.
Buruh di Indonesia diajari untuk tidak bermimpi sejahtera. Setiap keluhan tentang gaji kecil, cuti tak dibayar, atau lembur liar dibungkam dengan jargon-jargon munafik: "sabar, nanti juga rezeki datang," atau "yang penting belajar dulu." Padahal, di luar sana, buruh adalah tulang punggung ekonomi, bukan sekadar alat pakai buang.
Lalu sering terdengar ambisi kosong: ingin mengikuti jejak Amerika dan China. Padahal, realitasnya jauh panggang dari api.
Di Amerika, kerja apapun dihormati. Mau jadi tukang cuci piring atau CEO, tetap dihargai sebagai manusia merdeka. Tak ada sekat feodal kaku antara atasan dan bawahan. Berpendapat? Wajib. Mengkritik? Dilindungi hukum. Suka ya suka, tidak suka ya bilang.
Di China, meski kebebasan berpendapat dibatasi, jaminan hidup diberikan penuh. Pekerjaan dijamin. Pendidikan diarahkan sejak dini. Hak-hak dasar seperti asuransi, kesehatan, dan pensiun, meski sederhana, tetap terjamin. Bahkan, perusahaan yang berani menginjak hak pekerja bisa dilibas langsung oleh negara.
Indonesia? Tidak punya keunggulan keduanya. Bersuara dikit dibilang pembangkang. Menuntut hak dikira tidak loyal. Perusahaan bebas memecat tanpa dasar, memotong hak sesuka hati, dan membungkam protes dengan intimidasi. Pemerintah? Sibuk rapat berhari-hari membahas "kenaikan upah minimum" beberapa ribu rupiah sambil mengabaikan kenyataan hidup yang makin mencekik.
Budaya kerja kita dipenuhi standar ganda. Minta pekerja kreatif, tapi matikan ruang untuk berpendapat. Minta pekerja inovatif, tapi potong insentif begitu inovasi membuahkan hasil. Minta pekerja loyal, tapi PHK massal dijadikan strategi efisiensi tanpa rasa bersalah.
Akhirnya, industri Indonesia bukan mencetak inovator, tapi melahirkan generasi "pekerja budak" yang keahliannya adalah bertahan hidup sambil menahan pahitnya penindasan.
Kalau budaya ini tidak segera dibongkar, jangan berharap banyak. Dunia akan terus berlari, sementara Indonesia tertinggal, sibuk dengan rapat basa-basi, seragam ke kantor, dan seminar motivasi kosong.
Indonesia tidak butuh lebih banyak basa-basi. Indonesia butuh revolusi mental di budaya industrinya. Menghargai pekerja bukan berarti melemahkan perusahaan, tapi justru menguatkan pondasi ekonomi nasional.
Kalau tidak, kita akan terus berada di titik ini: hidup segan, mati pun tak mau.
Comments
Post a Comment