Dua Planet Beda Orbit, Numpang Kursi yang Sama
Di dalam gerbong kereta pagi itu, waktu mendadak membelah diri. Di kursi yang sama, duduk dua manusia yang tampaknya hidup di dua dimensi waktu yang berbeda. Yang satu dari Planet Cetak—berbekal koran, kacamata baca, dan ketekunan era analog. Yang satu lagi dari Planet Digital—dengan ponsel pintar, jempol lincah, dan kabel putih melilit seperti alat bantu napas dari dunia maya.
Mereka tidak berbicara, bahkan tidak saling menyapa. Tapi jika kursi itu bisa bicara, ia mungkin akan mengeluh: “Kalian ini nebeng realitas yang beda, tapi duduknya di bangku yang sama.”
Di satu sisi, sang pria berjas sibuk menyisir kolom demi kolom berita, mungkin berharap menemukan secercah logika dalam kekacauan dunia. Di sisi lain, si gadis muda menyisir layar ponsel, mungkin mencari notifikasi yang akan menyelamatkan hari. Dua pencarian. Dua cara bertahan hidup.
Dan di tengah semua itu, yang jadi korban sesungguhnya adalah: sopir kereta yang tak pernah masuk cerita.
Generasi dan Bias Teknologi
Generasi koran percaya bahwa informasi itu harus dicari—di antara halaman, disaring oleh editor, dan ditulis dengan tata bahasa yang bisa dipertanggungjawabkan. Sementara generasi layar sentuh percaya bahwa informasi itu datang sendiri—dalam bentuk notifikasi, rekomendasi algoritma, dan kalau bisa, cukup tiga kalimat plus emoji.
Yang satu memulai pagi dengan kopi dan kolom opini. Yang satu lagi memulai pagi dengan ponsel dan For You Page. Apakah mereka membaca hal yang sama? Mungkin. Apakah mereka memahaminya dengan cara yang sama? Sangat mungkin tidak.
Karena di era digital, kecepatan mengalahkan kedalaman. Judul clickbait lebih berkuasa daripada isi berita. Dan “baca caption”-isme sudah menggantikan kebiasaan menyelesaikan paragraf kedua.
Namun jangan buru-buru menyalahkan generasi muda. Mereka tidak bodoh—hanya dibesarkan di dunia yang menuntut kecepatan, bukan ketelitian. Dunia di mana jeda lima detik loading bisa membuat seseorang mempertanyakan makna hidup. Sementara generasi tua pun tak luput dari bias: mereka sering kali menganggap semua yang tercetak pasti benar, lupa bahwa tinta juga bisa berbohong dengan sangat elegan.
Konflik Antar Generasi di Ruang Publik Digital: Pertarungan Dua Aliran Sesat
Di ruang publik digital—alias medan perang bernama media sosial—generasi koran dan generasi layar akhirnya dipertemukan. Tapi bukan untuk berdamai. Tidak. Mereka saling serang dengan senjata andalan masing-masing: screenshots lawas dan tautan artikel berbayar vs. meme sinis dan thread panjang berisi opini yang dikira fakta.
Generasi tua masuk Facebook, lalu menyangka itu ensiklopedia. Semua yang muncul di beranda dianggap wahyu, apalagi kalau dikirim oleh grup alumni SMP. Mereka cepat percaya, lambat mengoreksi. Dan ketika ditanya, jawabnya standar: “Itu katanya dari teman kantor anak tetangga—nggak mungkin salah.”
Di sisi lain, generasi muda menguasai Twitter dan TikTok—tempat opini dibentuk dalam 280 karakter dan fakta dipenggal sampai tinggal punchline. Mereka punya kecepatan membaca—tapi sering kehilangan konteks. Ironisnya, mereka sangat percaya diri dalam menyimpulkan dunia hanya dari satu utas dan dua komentar viral.
Begitu keduanya bertemu dalam satu kolom komentar, yang terjadi adalah pertunjukan absurd: yang tua ngetik pake CAPSLOCK semua karena “biar jelas”, yang muda balas dengan sarkasme dan stiker Spongebob capslock terbalik. Tak ada yang benar-benar mendengarkan. Semua sibuk membuktikan bahwa zaman merekalah yang paling waras.
Dan algoritma? Dia hanya duduk santai, menyajikan lebih banyak konten serupa supaya dua belah pihak makin yakin bahwa mereka benar. Siapa bilang mesin tidak bisa menciptakan drama keluarga?
Epilog: Dari Kursi Kereta ke Kursi Virtual
Lalu muncul pertanyaan besar, penuh harapan dan sedikit delusi: apakah generasi masa depan akan lebih bijak? Apakah mereka akan belajar dari drama antar-generasi yang terjadi di layar 6 inci dan kolom komentar Facebook warisan?
Jawabannya—dengan segala hormat—kemungkinan besar tidak.
Generasi berikutnya mungkin tidak membaca koran. Mereka juga mungkin tidak lagi scrolling ponsel. Mereka akan hidup di dunia virtual, pakai headset 12 jam sehari, dan berdebat sambil memakai avatar naga bercahaya atau karakter anime dengan ekspresi berlebihan. Mereka tak akan perang di Twitter, tapi di Decentralized Disagreement District—satu kawasan eksklusif di metaverse, khusus untuk debat kusir dan cancel culture 9.0.
Mereka tak perlu lagi capslock untuk marah—cukup upgrade ekspresi avatar jadi “menyala-nyala sambil mengeluarkan emoji api.” Argumen tak akan ditulis, tapi dikodekan sebagai NFT opini, lengkap dengan sertifikat ego.
Dan sementara kita masih sibuk berdebat tentang generasi mana yang paling melek informasi, sang algoritma sudah punya anak cucu: AI-AI kecil yang lebih pandai membaca kita daripada kita membaca diri sendiri.
Akhirnya, dari kursi kereta hingga kursi virtual, satu hal tak pernah berubah: manusia tetap manusia. Cuma medianya yang makin canggih, konfliknya makin estetis.
Comments
Post a Comment