Skip to main content

Nostalgia


Ada suatu keajaiban dalam nostalgia. Ia datang tanpa permisi, menyelinap di antara detik-detik kehidupan yang berjalan begitu saja. Kadang ia hadir dalam wangi hujan yang jatuh di sore hari, membawa ingatan akan sebuah rumah kecil dengan lantai kayu yang berderit setiap kali diinjak. Kadang ia muncul dalam alunan lagu lama yang dulu kau dengarkan sambil berbaring di kasur sempit kamar remajamu, tatap matamu menembus langit-langit, berpikir tentang masa depan yang kini ternyata tak seindah yang dulu kau bayangkan.

Nostalgia adalah rasa yang sulit diungkapkan. Ia seperti senyuman yang menggigit, antara bahagia dan nyeri. Ada kehangatan di dalamnya, tapi juga luka yang samar-samar mengintai. Ia membawa kita pulang ke masa lalu, ke momen-momen kecil yang dulu terasa biasa saja, namun kini begitu berarti. Seperti tawa teman-teman sekolah yang menggema di lorong kelas, suara sepeda motor ayah yang menandakan ia sudah pulang, atau sekadar bau buku baru yang selalu membuatmu bersemangat saat tahun ajaran baru tiba.

Kadang kita ingin menahan nostalgia itu, membiarkannya menetap lebih lama di hati. Namun, seperti pasir di genggaman, semakin erat kau mencoba menggenggamnya, semakin cepat ia menghilang. Kau ingin kembali ke sana, ke masa di mana segalanya terasa lebih sederhana, lebih hangat, lebih utuh. Tapi tak peduli seberapa keras kau menginginkannya, waktu tetap berjalan maju, tanpa pernah menoleh ke belakang.

Dan di sinilah kita, terjebak di antara ingin dan tak bisa. Merindukan sesuatu yang tak bisa disentuh lagi, hanya bisa dikenang dalam bayangan yang semakin samar seiring waktu. Kita tahu bahwa masa lalu tak akan kembali, tapi tetap saja, kita diam-diam berharap ada celah kecil di ruang dan waktu yang bisa membawa kita pulang barang sejenak. Mungkin untuk sekali lagi merasakan tangan ibu yang membelai rambut kita saat sakit, atau mendengar suara sahabat lama yang kini entah ada di mana.

Namun, nostalgia bukan hanya tentang kehilangan. Ia juga tentang bagaimana kita pernah merasa hidup. Bahwa kita pernah tertawa tanpa takut besok akan seperti apa, bahwa kita pernah memiliki sesuatu yang begitu berharga hingga kita merindukannya saat ini. Mungkin, pada akhirnya, nostalgia ada bukan untuk membuat kita terjebak, tapi untuk mengingatkan kita bahwa dulu kita pernah sangat bahagia—dan itu berarti, kita bisa bahagia lagi, meski dengan cara yang berbeda.

Jadi, saat nostalgia kembali mengetuk pintu hati, izinkan ia masuk sebentar. Duduklah bersamanya, biarkan ia bercerita tentang masa-masa yang tak akan kembali. Dengarkan, rasakan, lalu lepaskan. Karena sebagaimana ia datang, ia juga akan pergi, meninggalkan jejak kecil di sudut hati yang akan selalu kita bawa ke mana pun kita melangkah.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...