Ada suatu keajaiban dalam nostalgia. Ia datang tanpa permisi, menyelinap di antara detik-detik kehidupan yang berjalan begitu saja. Kadang ia hadir dalam wangi hujan yang jatuh di sore hari, membawa ingatan akan sebuah rumah kecil dengan lantai kayu yang berderit setiap kali diinjak. Kadang ia muncul dalam alunan lagu lama yang dulu kau dengarkan sambil berbaring di kasur sempit kamar remajamu, tatap matamu menembus langit-langit, berpikir tentang masa depan yang kini ternyata tak seindah yang dulu kau bayangkan.
Nostalgia adalah rasa yang sulit diungkapkan. Ia seperti senyuman yang menggigit, antara bahagia dan nyeri. Ada kehangatan di dalamnya, tapi juga luka yang samar-samar mengintai. Ia membawa kita pulang ke masa lalu, ke momen-momen kecil yang dulu terasa biasa saja, namun kini begitu berarti. Seperti tawa teman-teman sekolah yang menggema di lorong kelas, suara sepeda motor ayah yang menandakan ia sudah pulang, atau sekadar bau buku baru yang selalu membuatmu bersemangat saat tahun ajaran baru tiba.
Kadang kita ingin menahan nostalgia itu, membiarkannya menetap lebih lama di hati. Namun, seperti pasir di genggaman, semakin erat kau mencoba menggenggamnya, semakin cepat ia menghilang. Kau ingin kembali ke sana, ke masa di mana segalanya terasa lebih sederhana, lebih hangat, lebih utuh. Tapi tak peduli seberapa keras kau menginginkannya, waktu tetap berjalan maju, tanpa pernah menoleh ke belakang.
Dan di sinilah kita, terjebak di antara ingin dan tak bisa. Merindukan sesuatu yang tak bisa disentuh lagi, hanya bisa dikenang dalam bayangan yang semakin samar seiring waktu. Kita tahu bahwa masa lalu tak akan kembali, tapi tetap saja, kita diam-diam berharap ada celah kecil di ruang dan waktu yang bisa membawa kita pulang barang sejenak. Mungkin untuk sekali lagi merasakan tangan ibu yang membelai rambut kita saat sakit, atau mendengar suara sahabat lama yang kini entah ada di mana.
Namun, nostalgia bukan hanya tentang kehilangan. Ia juga tentang bagaimana kita pernah merasa hidup. Bahwa kita pernah tertawa tanpa takut besok akan seperti apa, bahwa kita pernah memiliki sesuatu yang begitu berharga hingga kita merindukannya saat ini. Mungkin, pada akhirnya, nostalgia ada bukan untuk membuat kita terjebak, tapi untuk mengingatkan kita bahwa dulu kita pernah sangat bahagia—dan itu berarti, kita bisa bahagia lagi, meski dengan cara yang berbeda.
Jadi, saat nostalgia kembali mengetuk pintu hati, izinkan ia masuk sebentar. Duduklah bersamanya, biarkan ia bercerita tentang masa-masa yang tak akan kembali. Dengarkan, rasakan, lalu lepaskan. Karena sebagaimana ia datang, ia juga akan pergi, meninggalkan jejak kecil di sudut hati yang akan selalu kita bawa ke mana pun kita melangkah.
Comments
Post a Comment