Di suatu tempat yang tak berlokasi, dalam waktu yang tak berjalan, ada ruang hening namun tegang. Ruang ini bukan pengadilan, tapi tempat pertama setelah seseorang selesai dari hidupnya. Di ruangan itu, satu per satu manusia masuk untuk ditanya—bukan soal seberapa tinggi jabatannya, tapi siapa dirinya sebenarnya. Tanpa mikrofon. Tanpa kamera. Tanpa staf khusus. Hanya kejujuran yang boleh bicara.
Petugas ruangan itu bukan manusia. Tidak tersenyum. Tidak menilai dari pencitraan. Mereka hanya bertugas mengajukan tiga pertanyaan sederhana. Tapi manusia yang datang? Kadang terlalu rumit untuk menjawabnya.
Tamu Pertama: Seorang Mantan Jenderal
Ia masuk dengan langkah menghentak. Pundaknya gagah, wajahnya tegas, suaranya berat seperti komando. Saat pertanyaan pertama dilontarkan, ia langsung mengangkat tangan:
“Ndak usah kau tanya aku! Aku lebih tahu dari kalian!”
Petugas mencatat: "Respon: Tidak menjawab. Reaksi emosional. Agresif."
Pertanyaan diulang. Tapi ia membentak lebih keras:
“NDAS, MU! Pertanyaanmu bodoh! Ini interogasi yang tidak menghormati jasa orang seperti aku!”
Petugas diam. Layar kecil memperlihatkan rekaman saat ia menyindir wartawan, meledek kritikus, bicara panjang tentang nasionalisme, tapi solusi nihil. Marahnya dulu dikira ketegasan. Tapi kini, tak ada negara yang bisa ia wakili lagi. Hanya egonya yang masih berdiri tegak.
Tamu Kedua: Seorang Putra Mahkota Politik
Langkahnya rapi. Gaya bicara pelan. Tatapan seperti anak baik-baik, tapi penuh kalkulasi. Saat pertanyaan dilontarkan, ia terlihat bingung lalu berkata:
“Ya... ini bagian dari proses hilirisasi.”
Petugas memiringkan kepala. “Pertanyaannya bukan soal tambang, Pak.”
Ia tertawa kecil. “Saya jawab sesuai data. Tapi... tempat ini tidak ideal untuk diskusi strategis.”
Jawabannya dipenuhi istilah: narasi, persepsi, logistik, optimalisasi. Tapi yang dicari bukan itu. Di layar, hidupnya tersusun rapi seperti tabel Excel—tapi kosong di kolom nilai-nilai.
Catatan petugas: "Terlalu banyak istilah. Minim kejujuran. Retorika menutupi kehampaan."
Tamu Ketiga: Mantan Pemimpin Populer
Ia masuk santai, tangan di saku. Gayanya sederhana. Tapi saat ditanya, jawabannya selalu:
“Lho... ya nggak tahu. Kok tanya saya?”
Petugas sudah tahu seperti apa manusia ini. Dulu, saat ia memimpin, janji ditabur, tapi tanggung jawab tercecer.
“Itu urusan menteri saya... saya ini cuma kerja, kerja, kerja.”
Layar kecil memutar ulang: ketika ia membiarkan kebijakan melukai, tapi menghindar dari pertanggungjawaban. Saat ia menyerahkan arah negara kepada para pembisik.
Catatan petugas: "Pintar menghindar. Tampak sederhana, tapi sering lepas tangan."
Tamu Keempat: Seorang Ibu Politik
Ia masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegas, suaranya lantang. Saat pertanyaan muncul, jawabannya langsung:
“Ah, kalian ini manja!”
Petugas berkata: “Kami hanya menjalankan tugas.”
“Anak-anak zaman sekarang memang lembek. Dikit-dikit nanya, dikit-dikit kritik. Saya dulu nggak begini! Apa bakti kalian bagi negeri ini?"
Layar kecil menampilkan potongan pidato yang menyalahkan rakyat, meremehkan anak muda, memuji dinasti. Ideologinya besar, tapi dibayangi amarah pribadi.
Catatan: "Suka mendikte. Tak pernah bersedia ditanya balik."
Tamu Kelima: Si Paling Senior
Ia duduk santai, menyilangkan kaki. Tatapannya menilai. Saat pertanyaan dilontarkan, ia hanya menyeringai:
“Jangan ajarin saya.”
Petugas berkata: “Kami tidak mengajari. Kami bertanya.”
“Brengsek! Saya sudah puluhan tahun memimpin. Saya lebih tahu. Bahkan pertanyaan kalian pun sudah kuno.”
Di layar, wajahnya muncul saat memotong debat, mencemooh lawan, dan tertawa saat rakyat mengeluh. Ia lebih sibuk mengajar, tapi tak pernah belajar.
Catatan: "Arogan. Penuh rasa superior. Sibuk menjadi guru untuk mau jadi murid."
Tamu Keenam: Mantan Bos BUMN
Ia datang dengan pointer, grafik, dan bahasa yang berat.
“Izinkan saya menjelaskan dulu transformasi spiritual 4.0...”
Petugas memotong: “Jawaban singkat saja.”
“Kita tidak bisa menjawab secara singkat. Harus berbasis data, indikator, dan roadmap.”
Layar memperlihatkan: aset negara dijual atas nama efisiensi. Ketimpangan dibungkus presentasi. Ucapan penuh istilah, tapi rakyat tak mengerti—dan tak merasakan manfaatnya.
Catatan: "Penuh kemasan. Isi tenggelam dalam branding dan jargon."
Tamu Ketujuh: Si Pemarah Legendaris
Ia duduk dengan wajah kesal. Baru ditanya sedikit, langsung:
“NENEK, LU! Saya ini bukan malaikat!”
Petugas tersenyum. “Kami juga tidak minta Anda jadi malaikat. Kami hanya ingin tahu: siapa Anda, saat tak ada kamera?”
“Saya ini jujur! Keras itu perlu. Daripada munafik, kan?”
Layar memperlihatkan: tiap umpatan, ancaman, dan kalimat yang menyakiti. Ia pikir dirinya autentik. Tapi lupa, kekasaran bukanlah kejujuran—apalagi kebenaran.
Catatan: "Mengira keras itu jujur. Mengira kasar itu adil."
Satu per satu mereka keluar dari ruangan itu. Tapi tak satu pun membawa jawaban. Mereka datang dengan jabatan, pergi dengan kebingungan. Di dunia, kata-kata mereka dielu-elukan, dibela oleh barisan pendukung, dibungkus narasi dan tayangan. Tapi di ruang ini, tak ada ruang untuk retorika. Tak ada panggung. Tak ada framing.
Yang tersisa hanya isi kepala... dan isi hati.
Hari itu, catatan petugas ditutup dengan satu kalimat kecil:
"Kadang, mereka terlalu sibuk jadi pejabat, sampai lupa jadi manusia."
Kalau hari ini mereka masih hidup, semoga mereka membaca ini.
Kalau tidak, semoga mereka belajar dari keheningan.
Dan kita yang masih di sini? Jangan cuma tertawa.
Siapa tahu, kita calon tamu berikutnya.
Comments
Post a Comment