Skip to main content

Sumpah Serapah Para Penjilat: Ketika Tuhan Dipakai, Tapi Perut yang Diutamakan


Di atas panggung kekuasaan, sumpah jabatan kerap menjadi upacara sakral yang dikemas megah: kitab suci diangkat tinggi, kalimat suci dilafalkan penuh penghayatan, tangan kanan terangkat bak simbol kesetiaan mutlak pada hukum, negara, dan Tuhan. Tapi semua itu seringkali hanya teatrikal belaka — akting murahan dalam sinetron panjang bernama politik kotor.

Yang membuat ironis bukan hanya kebohongan itu sendiri, melainkan bagaimana kebohongan itu disampaikan dengan mengatasnamakan Tuhan. Mereka bersumpah dengan kitab suci, namun dalam praktiknya hidup dengan kitab tipu. Mereka menjanjikan amanah, namun yang dijaga justru celah. Mereka mengaku taat pada hukum, tapi dalam diam mereka adalah arsitek segala penyimpangan.

Seolah-olah, Tuhan hanya dipakai untuk memberi stempel sakral pada kebusukan yang sudah disiapkan sejak sebelum jabatan disandang.

Politik Sumpah Palsu: Ketika Kitab Suci Jadi Properti Panggung

Coba lihat gambar satir yang menyebar di dunia maya: seorang pria berseragam pejabat, lengkap dengan jas dan dasi, namun wajahnya tertutup balaclava seperti maling kelas teri. Di sampingnya, seorang tokoh memegang kitab bertuliskan “RP” — entah Rupiah, entah representasi absurditas kita — di atas kepala si pejabat, seolah sedang mengambil sumpah. Sebuah sindiran telak yang tak butuh kata-kata.

Kita sedang hidup di zaman ketika sumpah bukan lagi soal integritas, tapi hanya prosedur administratif untuk memulai karier mencuri yang sah secara hukum.

Para pejabat itu bukan tak tahu isi sumpah mereka. Mereka tahu, sangat tahu. Tapi mereka juga tahu hukum bisa diputar, pengawas bisa dibeli, dan rakyat mudah dibius dengan narasi nasionalisme semu dan pencitraan murahan. Jadi, siapa yang peduli pada isi sumpah kalau ujungnya bisa kenyang dan berkuasa?

Tuhan, Hukum, dan Rakyat: Tiga Entitas yang Selalu Dikhianati

Mereka bersumpah atas nama Tuhan — yang tak pernah mengutus mereka jadi wakil-Nya. Mereka bersumpah menaati hukum — yang kemudian mereka akali, mereka ciptakan lubangnya, mereka sulap agar bisa menari-nari di atasnya. Dan mereka bersumpah melayani rakyat — yang justru mereka bodohi dengan program palsu dan janji busuk penuh gula-gula kebohongan.

Dalam dunia para penjilat kekuasaan, sumpah adalah jembatan menuju kekayaan. Bukan komitmen, melainkan kunci pembuka laci-laci rahasia tempat proyek fiktif disembunyikan. Mereka bukan pelayan rakyat, tapi manajer kartel anggaran. Bukan wakil rakyat, tapi wakil kontraktor.

Ketika Agama Dijadikan Alat, Dan Moral Cuma Jadi Aksesori

Agama dalam politik korup ibarat parfum mahal di tubuh yang busuk — wangi di luar, tapi membusuk di dalam. Mereka kutip ayat-ayat suci di pidato, tapi di ruang rapat tertutup mereka sibuk membagi “jatah.” Mereka tampil religius saat kampanye, tapi setelah duduk, mereka mendirikan dinasti.

Moral tak lebih dari aksesoris — dipakai di momen-momen strategis, ditanggalkan saat sudah tak diperlukan. Dan rakyat? Disuruh sabar, disuruh taat, disuruh syukur — seolah-olah lapar dan kemiskinan adalah ujian dari Tuhan, bukan hasil dari pengkhianatan pejabat.

Demokrasi Tanpa Nurani, Kekuasaan Tanpa Tanggung Jawab

Sumpah jabatan seharusnya menjadi pengingat bahwa kekuasaan itu titipan, bukan hak warisan. Tapi yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Kekuasaan diwariskan, dibarter, dikapitalisasi. Politik jadi komoditas, suara rakyat jadi angka statistik, dan hukum jadi permainan strategi.

Kita menyaksikan orang-orang yang dilantik di podium mewah tapi terjebak dalam lumpur moral. Mereka berteriak tentang integritas, tapi diam-diam mencatat angka-angka dalam rekening gelap. Mereka senang disebut pemimpin, tapi tak pernah benar-benar memimpin — hanya mengatur, mencuri, dan membungkam.

Lalu, Di Mana Kita? Rakyat yang Terus Dipaksa Percaya

Di tengah absurditas ini, rakyat terus diminta percaya. Percaya pada institusi yang kotor, pada pemimpin yang palsu, pada sumpah yang kosong. Kita terus dicekoki slogan, dihibur dengan pencitraan, dan disuapi data statistik yang didandani agar terlihat manis.

Padahal yang kita butuhkan bukanlah pemimpin yang bersumpah di depan kamera, tapi yang tetap jujur di belakang layar. Bukan yang mengutip kitab suci saat pidato, tapi yang takut pada azab saat mencuri. Bukan yang rajin potong pita, tapi yang mau memotong rantai korupsi.

Tapi selama sumpah hanya jadi formalitas dan kitab suci hanya jadi alat panggung, maka pejabat kita tak ubahnya seperti dalam gambar itu: mengenakan topeng pencuri, diambil sumpahnya oleh orang yang pura-pura suci, dan berdiri di bawah bendera kemunafikan.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...