Di ujung zaman yang didefinisikan oleh infrastruktur dan influencer, berdirilah seorang raja bernama Jokowi. Ia bukan raja yang mewarisi tahta dengan darah kebangsawanan, melainkan seorang tukang kayu yang naik panggung melalui citra sederhana, kemeja putih, dan janji-janji yang tertulis manis di baliho. Namun seperti halnya kayu yang bisa dilapisi pelitur palsu, ada yang mulai mencurigai: apakah legitimasinya setangguh narasinya?
Sebab di antara beton-beton proyek dan janji-janji investasi, muncul satu lembar kertas yang menggentarkan seluruh istana: ijazah. Sederhana bentuknya, namun mengandung kuasa legalitas untuk memerintah. Dan di situlah awal mula kisah ini meledak.
Tiga tokoh muncul dari tiga penjuru nalar rakyat. Mereka tak mengenakan topi bulu seperti tokoh Alexandre Dumas, melainkan kacamata tebal, akun media sosial, dan keberanian akademik.
Roy Suryo, sang penilik font dan pixels, mantan menteri yang kini menjelma detektif tipografi. Ia menelusuri lembar ijazah Sang Raja layaknya forensik mengamati TKP. “Font ini belum lahir saat itu,” katanya, sambil menunjuk Time New Roman yang katanya masih di rahim Microsoft Office ketika ijazah itu sudah dicetak. Ia memicu keraguan: apakah masa depan kita telah dipalsukan dari masa lalu?
Rismon Sianipar, sang teknokrat elektro dari timur pulau. Ia bukan politikus, bukan selebritas medsos. Tapi dengan matematika di tangan dan algoritma di otak, ia menyusupkan pertanyaan logis: bagaimana bisa ijazah itu luput dari logika verifikasi akademik? Bukan dengan teriak, tapi dengan struktur. Dalam dunia yang penuh buzzer, logika adalah senjata yang lebih mematikan dari pisau sembilu.
Tifauzia Tyassuma, sang dokter pejuang. Ia tak bicara banyak, tapi setiap kalimatnya adalah dentuman. Di saat banyak intelektual memilih diam sambil menikmati honor proyek pemerintah, Tifa berdiri sendiri—dijuluki hoaks, diancam, tapi tak mundur. "Jika kekuasaan takut ditanya soal ijazah, maka yang palsu bukan hanya kertasnya," ucapnya tajam, “tapi seluruh nalar negara.”
Melihat tiga orang ini bersatu, istana mulai resah. Mereka tak bisa dibeli, tak bisa diseret dengan retorika “radikal”, apalagi dibungkam dengan seruan “demokrasi sudah selesai dipilih di TPS.” Maka dikerahkanlah bala pasukan: para buzzer, jurnalis binaan, pengacara yang siap siaga, dan algoritma shadow ban di medsos.
Roy dilaporkan. Tifa diintimidasi. Rismon dicibir karena terlalu ilmiah. Tapi seperti pohon yang dipangkas, mereka malah tumbuh lebih keras. Sebab mereka tahu, kekuasaan boleh mencetak baliho, tapi kebenaran hanya perlu dicetak dalam hati nurani.
Namun yang paling menyakitkan bukanlah fitnah. Yang paling getir adalah diamnya rakyat terdidik. Profesor-profesor kampus besar memilih mengecil seperti lembar absen. Mahasiswa diam—karena takut tak lulus. Rektor pun berdiri kaku, menolak verifikasi publik. “Kami sudah cek,” katanya, seperti birokrasi yang mencuci tangan pakai tisu opini.
Dan yang paling misterius adalah sang raja sendiri. Ia tak menjawab langsung, tak tertawa geli, tak berkata “coba tanya ke kampus saya.” Ia diam. Tapi diam yang diiringi hukuman pada yang bertanya.
Lalu rakyat bertanya—bukan apakah ijazah itu palsu. Tapi mengapa negara segenting ini soal selembar kertas? Kalau benar asli, mengapa takut debat terbuka? Kalau memang sah, mengapa yang bertanya dipenjara?
Dan di tengah negara yang lambat-laun berubah menjadi panggung sandiwara hukum, The Three Musketeers tetap berjalan. Mereka mungkin akan jatuh, dijadikan bahan meme, atau dibekukan oleh aparat. Tapi mereka akan dikenang. Sebab di negeri yang alergi transparansi, orang yang bertanya adalah pahlawan.
Di ujung cerita ini, satu hal tetap abadi: kekuasaan tanpa akuntabilitas hanyalah tirani dalam baju demokrasi.
Comments
Post a Comment