Skip to main content

Vasektomi untuk Bansos: Ketika Negara Mulai Mengatur Rahim Lewat Dompet

 

1. Narasi Lama, Wajah Baru

Beberapa hari lalu saya membaca unggahan yang viral di Facebook. Isinya tentang Papua—tanah yang kaya akan emas, tapi rakyatnya miskin. Sang penulis dengan tulus menyayangkan hal itu, lalu menulis bahwa kemiskinan bukan soal harta, tapi soal mental.

Sekilas terdengar bijak. Tapi pelan-pelan, argumen itu membawa kita ke jurang pemikiran lama yang berbahaya: bahwa kemiskinan adalah kesalahan pribadi. Bahwa orang miskin seharusnya lebih bersyukur, lebih rajin, lebih bermental kaya. Padahal yang sesungguhnya sedang miskin bukan mental mereka—tapi sistem yang memperlakukan mereka seperti statistik yang bisa dipotong.

Dan narasi lama itu kini menemukan wajah baru lewat kebijakan: vasektomi sebagai syarat bansos.


2. Dedi Mulyadi dan Kebijakan Gunting

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengusulkan kebijakan di mana rakyat miskin harus melakukan vasektomi terlebih dahulu untuk menerima bantuan sosial. Argumennya sederhana: banyak anak menyulitkan ekonomi keluarga, dan ujung-ujungnya jadi beban negara. Maka, solusinya: sterilkan si bapak.

Ini bukan sekadar kebijakan. Ini adalah pengumuman resmi bahwa rahim dan testis rakyat kecil kini berada dalam kontrol negara. Kalau dulu pemerintah memberi beras, kini ia memberi syarat untuk tidak beranak.


3. Haram di Mata Agama, Ngeri di Mata Nurani

Dalam Islam, vasektomi—yang berarti pemutusan kemampuan reproduksi secara permanen—diharamkan, kecuali dalam keadaan medis darurat yang membahayakan nyawa. Islam memuliakan keturunan sebagai bagian dari maqashid syariah. Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Menikahlah dengan yang subur dan penyayang, karena aku bangga dengan banyaknya umatku."
(HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Majelis Ulama Indonesia pun tegas:

"Sterilisasi secara permanen hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat medis."

Dengan menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos, negara:

  • Memaksa rakyat miskin melanggar ajaran agama.

  • Menempatkan mereka dalam dilema antara iman dan makan.

  • Menggunakan kekuasaan untuk mendikte tubuh manusia.

Kalau negara yang katanya “berketuhanan” mulai bermain-main dengan aturan Tuhan demi efisiensi anggaran, maka yang perlu disterilkan bukan rakyat, tapi cara berpikir penguasanya.


4. Kenapa Kebijakan Ini Berbahaya?

a. Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Vasektomi adalah prosedur medis yang menyangkut integritas tubuh. Jika syarat untuk makan adalah menyerahkan hak atas tubuh sendiri, maka negara secara aktif memeras rakyatnya secara biologis. Ini pelanggaran hak paling mendasar: hak atas tubuh.

b. Diskriminasi Terhadap Kaum Miskin

Apakah orang kaya diminta vasektomi agar tidak menyedot subsidi? Apakah konglomerat yang menikmati tax holiday juga diminta mensterilkan diri? Tidak. Hanya si miskin yang dianggap terlalu produktif melahirkan kemiskinan.

Miskin bukan karena mereka punya anak. Mereka miskin karena akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang tidak pernah adil sejak lahir.

c. Efektivitas yang Diragukan

Tak ada bukti bahwa vasektomi massal menurunkan angka kemiskinan. Yang ada hanyalah:

  • Meningkatnya ketidakpercayaan rakyat pada negara.

  • Rasa malu dan aib sosial di komunitas lokal.

  • Rakyat merasa dijadikan kelinci percobaan kebijakan.

Kebijakan ini bukan solusi, tapi manajemen statistik berbasis kasihan yang dipoles menjadi kebijakan publik.


5. Solusi Itu Bukan Menggunting Rahim, Tapi Menggunting Ketimpangan

Jika negara ingin menyelesaikan kemiskinan, maka yang harus dilakukan adalah:

  • Berikan pendidikan dan fasilitas kesehatan yang gratis dan bermutu.

  • Ciptakan lapangan kerja layak.

  • Reformasi pajak agar kekayaan tidak menumpuk di puncak piramida sosial.

  • Berikan akses terhadap program keluarga berencana yang sukarela, sadar, dan berbasis edukasi, bukan tekanan ekonomi.

Kebijakan yang baik bukan yang memaksa rakyat kecil berhenti melahirkan, tapi yang memastikan setiap anak yang lahir tidak harus mewarisi kemiskinan.


6. Penutup: Negara, Tolong Jangan Main Gunting

Ketika negara mulai mengatur rahim lewat dompet, maka yang miskin bukan hanya rakyatnya—tapi juga moralitas publiknya.

Jangan salahkan rakyat jika suatu hari mereka menyadari bahwa satu-satunya cara melindungi tubuh dan martabat mereka adalah dengan melawan balik narasi penguasa yang menganggap tubuh mereka hanya angka statistik dalam file Excel pemerintah.

Kebijakan ini hanya membuktikan satu hal: bahwa yang sebenarnya miskin adalah imajinasi dan empati para pengambil kebijakan.


Jika Anda setuju bahwa rahim bukan urusan negara, dan bahwa kemiskinan bukan dosa yang harus dihukum vasektomi, maka suara Anda sangat berarti.

Karena hari ini giliran mereka. Besok mungkin giliran kita.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...