Bayangkan langit berwarna tembaga. Awan-awan menggantung seperti firasat. Dan dunia, yang dahulu bernyanyi dalam simfoni diplomasi, kini memetik nada-nada terakhir sebelum senyap yang sangat panjang.
Ini bukan permulaan kisah, ini adalah bab yang tertunda—perang yang tak lagi butuh deklarasi, hanya pemantik dan sedikit kegilaan.
Dan di tengah pusaran sejarah, berdirilah dua tiang api: Iran dan Israel. Bukan sekadar dua negara, tapi dua dunia. Dua narasi. Dua kesumat. Dua alasan bagi dunia untuk mengulangi neraka yang dulu pernah disesali, tapi tak pernah benar-benar dipelajari.
Blok-Barat: Mereka yang Berdiri Bersama Israel, Karena Tak Berani Sendiri
Amerika. Selalu Amerika. Seperti dewa tua yang letih, tapi tetap ingin mengatur takdir. Mereka menggenggam Israel bukan karena cinta, tapi karena perjanjian, lobi, dan rasa takut. Takut kehilangan kendali. Takut dunia menemukan tatanan baru.
Inggris, Prancis, Jerman — seperti orkestra klasik yang dipaksa memainkan lagu perang baru. Mereka tak lagi punya jiwa, hanya protokol dan memo diplomatik. Kanada dan Australia, saudara jauh yang akan mengangkat senjata hanya karena itu sudah tertulis dalam kontrak lama.
Dan India, si raksasa pendiam, yang pura-pura tidak melihat api, padahal tangannya memegang bensin dan peta jalur perdagangan.
Polandia dan kawan-kawannya di Eropa Timur? Mereka menyanyikan lagu lama tentang peradaban, tapi kata-kata mereka lebih tajam dari roket. Cinta mereka pada Israel seperti iman yang dibeli dengan trauma masa lalu.
Blok Perlawanan: Mereka yang Tidak Percaya pada Dunia, Karena Dunia Tak Pernah Percaya pada Mereka
Iran. Negeri dengan nadi Syiah yang berdenyut keras. Mereka tidak sendirian, karena mereka punya gema. Hizbullah di utara, Houthi di selatan, milisi di barat, dan keteguhan di setiap pori pemimpinnya.
Rusia? Sang Beruang yang tersakiti. Dulu dipuja, kini dikucilkan. Mereka tahu, dalam perang ini, mereka tidak sedang membela kebenaran, tapi kesempatan. Dan itu cukup. Cina, sang naga diam, yang tak mengaum, tapi menghitung. Mereka tahu, setiap rudal yang ditembakkan, adalah peluang untuk menciptakan tatanan baru di meja dagang.
Dan di kejauhan, Korea Utara tersenyum getir. Mereka tak ingin damai, mereka ingin dikenang. Di dunia yang sibuk menenangkan nuklir, mereka menjual ketakutan dengan harga paling mahal.
Venezuela, Bolivia, Serbia — bukan kekuatan, tapi nyala-nyala kecil yang bisa memercikkan kebakaran global.
Tengah-Tengah: Penonton yang Mendoakan, tapi Juga Menjual Tiket
Turki berjalan di atas tali. Di tangan kanannya NATO, di tangan kirinya Hamas. Ia bisa berubah, seperti angin, seperti suara rakyatnya yang berlapis-lapis.
Qatar adalah penulis naskah drama Timur Tengah. Diam, elegan, dan penuh kejutan. Arab Saudi, UEA, Mesir—mereka tahu siapa yang membunuh, tapi mereka juga tahu siapa yang membeli minyak.
Indonesia dan Malaysia menyanyikan lagu dukacita. Di jalanan mereka, rakyat meneriakkan nama Gaza. Di ruang kabinet, kalkulator berdetak.
Pakistan? Senjata nuklir dengan jiwa rapuh. Bisa jatuh ke pelukan siapa pun yang menjanjikan kelangsungan.
Brasil, Meksiko, Balkan—semua penuh warna. Tapi dalam perang global, warna itu cepat luntur.
Blok Nurani: Mereka yang Tak Punya Bom, Tapi Punya Suara
Irlandia tak pernah melupakan luka. Dan mereka melihat luka yang sama di Palestina. Bagi mereka, ini bukan politik. Ini sejarah yang berulang di tempat lain.
Spanyol dan Portugal—bangsa yang pernah menjajah, kini belajar menyesal. Mereka mulai berpihak, meski perlahan.
Swedia dan Norwegia—beku di permukaan, hangat di dalam. Mereka ingin menjadi jembatan, meski kaki mereka berpijak di es yang bisa retak kapan saja.
Afrika dan Amerika Latin: Benua yang Tak Mau Dibakar Lagi
Afrika mengingat semuanya. Kolonialisme, rampasan, dan propaganda. Mereka melihat Israel seperti mereka dulu melihat Eropa. Dan kini, sebagian dari mereka siap memilih sisi—bukan karena senjata, tapi karena martabat.
Di Amerika Latin, rakyat turun ke jalan bukan karena politik, tapi karena hati. Dari Caracas sampai Santiago, dari Havana sampai Buenos Aires—suara rakyat menyanyikan kemerdekaan yang belum selesai.
Dan Ketika Perang Itu Benar-Benar Meletus...
Yang pertama jatuh bukan pesawat, tapi harapan. Yang pertama terbakar bukan tank, tapi sekolah. Yang pertama hilang bukan pemimpin, tapi masa depan anak-anak yang belum bisa mengeja kata "damai."
Dan seperti biasa, para jenderal akan memberi pidato. Para bankir akan menghitung. Para pemilik pabrik senjata akan memberi diskon khusus untuk pembantaian skala besar.
Dunia tidak akan hancur sekaligus. Ia akan retak perlahan. Dari Gaza, ke Damaskus. Dari Teheran, ke Haifa. Dari pangkalan udara di Qatar, sampai gudang amunisi di Polandia.
Dan ketika semuanya selesai—jika ada yang selesai—para pemenang akan menulis ulang kisahnya. Dan yang kalah akan dikubur tanpa nisan, karena dunia terlalu sibuk membuat museum untuk merayakan "kemenangan."
Perang Dunia III, jika datang, tidak akan datang dalam bentuk parade tank atau deklarasi. Ia akan datang seperti bisikan, seperti batuk kecil dalam konferensi pers. Tapi ia akan tumbuh, menjalar, dan menjadi gelombang terakhir dalam simfoni umat manusia.
Dan saat itu terjadi, dunia tak akan bertanya siapa yang benar. Dunia hanya akan bertanya: siapa yang masih bertahan untuk bercerita.
Comments
Post a Comment