Skip to main content

Kapak di Leher Berhala dan Shrek yang Tercengang: Ketika Logika Melawan Ilusi

 

Pada suatu masa, seorang pemuda bernama Ibrahim tumbuh di tengah masyarakat yang begitu sibuk... menyembah benda. Ya, benda. Bukan makhluk hidup, bukan pula dewa yang turun dari langit membawa wahyu. Tapi patung. Diam. Dingin. Tidak bisa bicara, tidak bisa menjawab keluh kesah, apalagi mencarikanmu jodoh atau transferin saldo.

Suatu hari, Ibrahim memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sangat tidak diplomatis. Ia hancurkan semua berhala di kuil kaumnya. Tapi dia tinggalkan satu. Yang paling besar. Kapaknya digantungkan ke leher sang berhala raksasa. Alasannya? Simpel.

“Lihat saja, kapaknya ada di siapa.”
Sebuah kalimat sekelas stand-up comedy level dewa—yang kalau kamu paham konteksnya, kamu akan mengangguk dan berkata: “Ini bukan cuma nyindir, ini ngatain pake akal.”

Bayangkan sekarang kamu jadi berhala itu. Bayangkan kamu adalah patung Shrek dalam meme itu. Mukamu clueless. Matamu membelalak seperti berkata: “Wait... ini bukan sesuai skrip!”


Logika Itu Seperti Kapak

Ibrahim tidak membawa senjata untuk menghancurkan kaumnya. Dia tidak memprovokasi massa. Dia tidak membawa bom ideologi. Yang ia bawa hanya satu hal: akal sehat.

Kapak itu cuma simbol. Yang ia ayunkan sebenarnya bukan baja, tapi logika. Dan ketika logika ditaruh di hadapan ilusi, ilusi itu pecah. Terpecah. Remuk. Karena kenyataan punya cara unik untuk menampar kita tepat di titik buta.

Kaumnya terdiam. Mereka tahu Ibrahim bukan orang bodoh. Mereka juga tahu patung itu tidak mungkin bergerak. Tapi ego terlalu mahal untuk dikalahkan logika. Jadi mereka memilih opsi yang familiar: marah.


Ketika Kita Menyembah yang Tak Bisa Menolong

Sebenarnya, kisah ini tidak usang. Kita ulang saban hari. Hanya objeknya berganti.

Ada yang menyembah uang, padahal uang tidak bisa menolongmu ketika sakit parah. Ada yang menyembah jabatan, padahal kursi itu bisa ditarik sewaktu-waktu. Ada yang menyembah pengakuan, walau komentar netizen bisa berubah lebih cepat dari cuaca tropis.

Dan yang paling ironis, ada yang menyembah sistem, padahal sistem pun dibentuk manusia yang rapuh dan penuh cacat. Kita mempercayai hal-hal yang fana, lalu kaget ketika hal itu mengecewakan kita. Seperti marah pada ember bocor karena tidak bisa menyimpan air, padahal dari awal kita tahu itu bolong.


Lelucon Paling Serius

Meme Shrek di atas bukan sekadar humor receh. Ia adalah refleksi kejiwaan umat manusia. Ketika wajah patung hijau itu ditaruh sebagai “berhala terbesar” dengan ekspresi bingung, kita sebenarnya sedang mentertawakan diri kita sendiri.

Shrek mewakili kebingungan universal: ketika objek yang selama ini kita puja, ternyata tak berdaya ketika diuji logika. Ketika seseorang menaruh kapak di leher ilusi yang kita rawat bertahun-tahun, kita bereaksi bukan karena dia salah, tapi karena dia benar terlalu terang.

Dan yang paling menyakitkan dari kebenaran adalah… ia tidak butuh kita percaya agar tetap benar.

Makanya kita panik. Seperti Namrud, yang berkata:
“Kan berhala gak bisa ngapa-ngapain?”
Dan Ibrahim menjawab:
“Ngapain disembah?”

Cuma dua kalimat. Tapi seperti peluru menembus jantung dogma. Dan seperti komentar netizen dalam meme itu:
"Puncak komedi."
Ya. Tapi juga puncak kesadaran.


Belajarlah dari Patung: Diam Saat Ditegur

Lucunya, yang paling tenang dalam kisah ini justru... berhala itu sendiri. Ia tidak membela diri. Tidak membantah. Tidak bikin press release. Tidak menggugat Ibrahim ke pengadilan. Karena ia memang... tidak bisa.

Tapi di sinilah kita belajar satu hal: berhala tidak pernah memaksa disembah. Manusialah yang memaksa dirinya sendiri untuk menyembah.

Kita yang memberi nilai pada benda. Kita yang mengangkat seseorang jadi tokoh kultus. Kita yang percaya pada jargon lebih dari kebenaran. Kita sendiri yang meletakkan kapak di leher patung, lalu pura-pura heran siapa pelakunya.

Kita adalah pembuat berhala sekaligus penyembahnya.


Waktunya Meletakkan Kapak di Leher Ego

Tulisan ini bukan untuk menertawakan yang menyembah patung secara harfiah. Tapi untuk mengajak kita semua mengaudit ulang: apa saja yang sudah kita sembah secara tidak sadar.

  • Apakah kamu terlalu percaya pada pekerjaan hingga lupa manusia bisa dipecat?

  • Apakah kamu menggantungkan makna hidup pada hubungan yang rapuh?

  • Apakah kamu mendewakan tokoh, politisi, guru, bahkan ulama… padahal mereka juga bisa salah?

Kalau ya, mungkin sudah saatnya kamu mengayunkan kapak logikamu. Hancurkan semua ilusi itu. Sisakan satu yang paling besar: ego. Letakkan kapak di lehernya. Lalu diam.

Lihat bagaimana dunia sekelilingmu terdiam dan mulai bertanya-tanya:
"Siapa yang menghancurkan keyakinan lama ini?"

Jawab saja dengan senyum.

“Lihat saja, kapaknya ada di siapa.”

Dan kalau kamu cukup sabar menatap, kamu akan melihat satu wajah hijau—penuh ekspresi canggung—memandang balik dari cermin.


Karena kadang, berhala yang paling keras kepala… adalah dirimu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...