Skip to main content

Karya Anak Bangsa: Epilog Sebuah Mitos

 

Dulu kita bersorak. Mengibarkan bendera merah putih virtual di halaman homepage startup yang tampilannya minimalis tapi valuasinya maksimalis. Nama-nama seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka kita banggakan layaknya anak-anak unggulan yang pulang dari olimpiade teknologi dunia. Mereka bukan sekadar founder—mereka messiah digital. Mereka disebut “Karya Anak Bangsa” dengan nada haru dan penuh nasionalisme seperti upacara bendera hari Senin.

Tapi seperti juga upacara itu, semua akhirnya bubar jalan.


Dari Visi ke Exit: Jalan Sunyi Para Founder

Ferry Unardi terbang tinggi dengan Traveloka. Nadiem Makarim mengendarai mimpi lewat Gojek. William Tanuwijaya membangun imperium marketplace dari warung internet. Ahmad Zaky mencoba mendisrupsi e-commerce dari semangat kampus. Semuanya memulai dengan kisah inspiratif: anak muda lokal, ide brilian, mimpi besar.

Tapi bisnis bukan buku motivasi.

Yang tak disebut dalam TED Talk atau Instagram carousel adalah fakta bahwa semua startup besar Indonesia dibangun dengan napas pinjaman—dari Silicon Valley, dari Jepang, dari investor yang portofolionya lebih peduli pertumbuhan dua digit daripada mimpi anak negeri.

Dan seperti semua pinjaman, ada tagihannya.


Mimpi yang Tak Punya KTP

Lalu satu per satu mimpi itu kehilangan alamat. Traveloka, yang dulu dielu-elukan sebagai “platform asli Indonesia”, kini berkantor pusat di Singapura. Gojek—ikon transportasi dan inklusi ekonomi nasional—kabar burungnya akan dilebur Grab, rival regional yang dulu mereka lawan mati-matian. Tokopedia, simbol marketplace dari anak warnet itu, pelan-pelan menyublim ke dalam algoritma TikTok yang dikendalikan modal Tiongkok. Sementara Bukalapak... ya, masih ada, tapi seperti band rock lama yang sekarang manggung di pernikahan dan reuni angkatan.

Apakah salah?

Tidak juga. Yang salah adalah ekspektasi kita. Kita menyangka label “karya anak bangsa” itu seperti stempel halal—tidak bisa berubah arah, tidak boleh pindah domisili, tidak boleh dijual.

Padahal bisnis bukan soal paspor. Bisnis soal untung.


Startup Lokal, Modal Global, Exit Universal

Sejak awal, banyak startup Indonesia dirancang untuk tumbuh cepat, bakar uang, dan exit sebelum utang jadi nyata. Skema ini bukan rahasia—ini SOP. Startup bukan koperasi sekolah; mereka beroperasi di bawah tekanan investor yang menginginkan ROI, bukan revolusi sosial.

Jadi kalau kamu tanya kenapa founder lokal akhirnya keluar dari bisnisnya, jawabannya sederhana: karena memang begitulah desainnya.

Startup di Indonesia bukan dibangun untuk tahan 100 tahun. Mereka dibangun untuk IPO. Untuk SPAC. Untuk diakuisisi. Dan yang penting: untuk diceritakan, bukan diwariskan.


Nasionalisme Tidak Menjamin Valuasi

Kita terlalu mudah memberi gelar “kebanggaan bangsa”. Padahal kebanggaan tanpa kepemilikan hanyalah romantisme. Sama seperti kita bangga dengan kelapa sawit terbesar di dunia, meski sahamnya dikuasai grup luar negeri.

Kita menonton Gojek merger dengan Tokopedia, lalu pelan-pelan dikerdilkan ke dalam algoritma e-commerce yang tak lagi punya cita rasa lokal. Kita lihat Bukalapak banting setir ke arah yang bahkan pengguna awam pun tak lagi paham arahnya. Kita saksikan Traveloka, yang dulu jadi solusi tiket anak kos, kini mengurus IPO dalam yurisdiksi yang lebih “ramah investasi”—karena Indonesia memang tidak dirancang untuk investasi jangka panjang.

Dan kita kaget? Seharusnya tidak.


Pelajaran dari Mimpi yang Dilego

Kita tidak sedang menyalahkan para founder. Mereka hanya menavigasi ekosistem yang cacat sejak lahir: regulasi yang ruwet, ekosistem pendanaan domestik yang lemah, dan mentalitas masyarakat yang lebih suka diskon daripada loyalitas.

Tapi kita bisa belajar:

  • Bahwa membangun bisnis yang berkelanjutan lebih penting daripada cepat masuk TechCrunch.

  • Bahwa valuation bukan jaminan sustainability.

  • Bahwa nasionalisme yang sehat di dunia bisnis adalah soal kedaulatan ekonomi, bukan sekadar logo dengan merah-putih.

  • Dan bahwa teknologi yang dibangun untuk sekadar di-exit bukanlah legacy, tapi sekadar episode dalam serial kapitalisme.


Mimpi yang Punya Akar

Kalau kita mau punya karya anak bangsa yang benar-benar bertahan, kita harus berhenti memuja startup sebagai sekte dan mulai membangun bisnis sebagai ekosistem. Harus ada keberanian untuk tidak membakar uang hanya demi pertumbuhan semu. Harus ada visi yang lebih panjang dari satu dekade, lebih dalam dari pitch deck, dan lebih konkret daripada funding round.

Mungkin kita harus mulai bertanya: bagaimana membuat bisnis yang tidak hanya menjawab tren hari ini, tapi bisa menyelesaikan masalah generasi mendatang?

Karena mimpi sejati bukan soal cepat IPO.

Tapi soal bertahan saat hype-nya sudah lewat.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...