Dunia modern sedang gugup.
Gugup menghadapi hal-hal yang terlalu jujur, terlalu purba, terlalu… manusia. Ia gemetar melihat darah mengalir dari leher sapi, tapi bisa dengan tenang menonton film pembantaian berjam-jam sambil mengunyah ayam goreng dari industri yang tak pernah peduli soal doa atau penderitaan.
Dan tiap kali bulan Dzulhijjah datang, sebagian dunia mendadak menjadi filsuf dadakan. Mereka menatap umat Islam dengan tatapan curiga—seolah pisau kurban itu diarahkan ke tenggorokan peradaban. Mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa yang dikorbankan bukan nurani, melainkan ego.
“Kok masih ada aja sih agama yang menyembelih hewan zaman sekarang?” kata seorang anak muda yang menandatangani petisi anti-kurban di sela-sela gigitan burger keempatnya.
Ironi? Tidak. Ini sudah level satire yang Tuhan sendiri mungkin tak tega tonton.
Ibadah kurban bukan upacara sadis. Ia adalah ritual spiritual. Tapi kata “ritual” sudah lama menjadi bahan tertawaan di ruang-ruang seminar ateis dan zoom meeting aktivis sekuler. Seakan segala sesuatu yang tidak bisa diukur dengan grafik statistik harus dibuang ke tong sampah sejarah.
Padahal kurban tidak bisa dipahami dengan grafik. Ia bukan tentang daging, melainkan makna. Nabi Ibrahim tidak sedang membuat barbeque waktu mengangkat pisaunya ke leher Ismail. Ia sedang membunuh sesuatu yang jauh lebih sulit daripada anaknya: dirinya sendiri.
Ego. Kepemilikan. Ketamakan.
Itulah yang dikorbankan.
Tapi tentu, itu bahasa yang terlalu dalam bagi mereka yang pikirannya cuma sebatas tagar viral dan TED Talk kosong.
Yang lebih menyedihkan adalah kesalahpahaman yang disengaja. Seolah semua Muslim disuruh menyembelih sendiri hewan kurbannya dengan tangan—padahal hukum menyembelih bagi shohibul qurban adalah sunnah, bukan wajib. Nabi ﷺ menyembelih sendiri, iya, tapi itu teladan, bukan syarat sah.
Umat Islam hari ini bahkan lebih terorganisir. Mereka mempercayakan kurbannya kepada lembaga resmi, agar hewan disembelih dengan benar dan dagingnya sampai ke pelosok-pelosok dunia. Ke tempat di mana perut-perut anak-anak tidak mengenal kata kenyang. Tapi tentu saja, bagi kaum elite urbanis yang tinggal di kota penuh Starbucks, urusan perut orang lain itu tidak penting—selama kambing tidak menodai estetika Instagram mereka.
Dan lalu muncul pertanyaan yang lebih besar:
Mengapa hanya Islam yang diserang?
Mengapa Gadhimai Festival di Nepal—di mana ribuan kerbau dipenggal massal demi dewi, dan dukun mempersembahkan darah dari lima titik tubuhnya—dianggap eksotika budaya?
Mengapa kurban dalam kitab Taurat dan Perjanjian Lama tidak diolok?
Mengapa ritual penyembelihan ayam dalam voodoo Haiti tidak masuk trending topic?
Mengapa Hindu yang menyembelih hewan saat Durga Puja bisa tetap damai dalam berita?
Tapi begitu umat Islam menyembelih satu ekor kambing sambil mengucap nama Tuhan, dunia langsung bersidang. Bukan karena darahnya. Tapi karena nama Tuhan-nya.
Yang disebut: Allah.
Jangan salah. Dunia tidak takut pada darah.
Ia mentolerir darah tiap hari.
Di balik pabrik daging, di ladang minyak, di medan perang yang mereka biayai secara diam-diam.
Yang ditakuti adalah iman yang teguh.
Yang tidak bisa dibeli.
Yang tidak bisa ditawar.
Yang tidak mau tunduk pada nilai-nilai buatan manusia modern.
Mereka ingin agama yang lentur. Yang bisa direvisi seperti dokumen Google Docs. Yang bisa diganti babnya jika terasa tidak relevan. Tapi Islam—dengan segala keteguhan ibadahnya—terlalu membandel.
Terlalu orisinal. Terlalu… jujur.
Lalu muncullah argumen agung para filsuf tofu: “Kenapa tidak diganti saja hewan dengan uang? Bukankah orang miskin lebih butuh uang?”
Pertanyaan yang terdengar masuk akal—sampai Anda sadar bahwa itu diajukan oleh orang yang tidak pernah lapar.
Kurban bukan sekadar amal. Kalau soal uang, umat Islam bisa dan sudah banyak bersedekah. Tapi kurban adalah ritual konkret, bukan transaksi digital. Ia mengajak manusia menyentuh realitas: bahwa hidup ini rapuh, bahwa daging ini fana, bahwa setiap makhluk akan kembali.
Itulah kenapa dalam Islam, kita menyebut nama Allah saat menyembelih. Bukan untuk menghalalkan darah, tapi untuk mengingatkan diri: bahwa kehidupan adalah titipan, dan semua akan kembali kepada-Nya.
Bahkan sapi. Bahkan kita.
Mungkin itulah yang paling mengganggu para pengkritik.
Bahwa di zaman ketika segalanya bisa dipesan, dibatalkan, dan diganti, Islam masih punya ajaran yang tidak bisa dinegosiasikan.
Bahwa ada ritual yang tidak tunduk pada algoritma.
Bahwa di antara semua puja-puji terhadap “pilihan individu”, masih ada iman yang tidak tunduk pada selera.
Jadi bukan kurban yang mengganggu mereka.
Tapi fakta bahwa umat Islam masih berani taat.
Masih berani tunduk.
Masih berani mengatakan:
“Aku tidak mengganti perintah Tuhan dengan preferensi manusia.”
Dan seperti itulah kurban:
Sunyi. Berdarah. Tapi penuh makna.
Ia bukan panggung kemunafikan publik, tapi tempat di mana manusia bertemu Tuhan—dengan tangan penuh darah dan hati yang bersih.
Jadi silakan saja kalian benci. Silakan olok. Silakan labeli kami barbar, purba, tak berperasaan.
Karena saat kalian sibuk menciptakan dunia yang steril dari penderitaan—kami masih percaya bahwa sebagian rasa sakit adalah jalan menuju kesadaran.
Dan saat kalian membangun peradaban dari pelarian, kami tetap menyembelih—bukan hewan, tapi ego kami sendiri.
Comments
Post a Comment