Skip to main content

Mabuk Kuasa, Muntah Meritokrasi: Ketika Jabatan Jadi Warisan Bangsawan

 

Ada satu prinsip sederhana yang diucapkan oleh seorang investor kawakan asal Amerika, Ray Dalio—prinsip yang tampak sepele, tapi mengandung bom nuklir moralitas: “Don’t use your pull to get someone a job.” Dalam bahasa jalanan, artinya: jangan mentang-mentang punya kuasa, lalu bantu teman dapat kerja. Kelihatannya sih kayak bentuk solidaritas, padahal sesungguhnya itu adalah bentuk korupsi paling halus—dan paling sering disambut tepuk tangan di negeri yang sudah mabuk kroni.

Tentu kita bisa berpura-pura bijak dan bilang, “Ah, di mana-mana koneksi itu penting.” Tapi begitu kalimat itu dilafalkan, yang terdengar sebenarnya adalah: “Saya tahu saya nggak cukup layak, tapi tolong dong titip nama saya ke bos lo.”

Kalau meritokrasi itu sistem, maka koneksi adalah virusnya. Dan virus ini tampaknya sedang berkembang biak dengan subur di sebuah entitas bernama Danantara—superholding anyar versi Indonesia yang konon akan menaungi semua BUMN, dengan ambisi mengelola ribuan triliun dana publik. Ide besarnya bagus. Namanya juga superholding, siapa yang gak ngiler? Tapi seperti biasa, negeri ini pandai mengubah madu jadi racun. Baru juga diumumkan, sudah bau anyir KKN tercium dari jarak dua benua.

Lucunya, nama Ray Dalio sempat dicatut sebagai penasihat di Danantara. Tapi belum sempat publik menghafal ejaannya, beredar kabar bahwa beliau memilih hengkang. Kenapa? Apakah karena urusan domestik? Atau karena jet lag? Bukan. Sinyal yang dikirim Dalio sangat jelas: dia tak mau jadi bagian dari permainan sandiwara yang merayakan jabatan sebagai hadiah ulangan, bukan hasil ujian.

Lewat unggahan Instagram yang berkelas tapi menyentil, Dalio menyampaikan bahwa membantu orang mendapatkan pekerjaan lewat pengaruh pribadi adalah bentuk sabotase terhadap keadilan. Dalam kalimatnya yang telak, ia menyebut bahwa ini merusak si pencari kerja (karena ia tidak benar-benar layak), merusak si pemberi kerja (karena kehilangan otonomi), dan tentu saja merusak si penolong itu sendiri (karena menunjukkan standar ganda demi kawan sendiri).

Bahasa Dalio mungkin terlalu lembut untuk jadi bahan kampanye politik. Tapi bagi yang punya radar etika, itu sudah seperti suara peluit wasit yang membatalkan pertandingan. Danantara belum main, tapi wasit moralitas sudah tiup peluit: foul play detected.

Mari kita telusuri daftar pemainnya. Ada mantan presiden yang mestinya pensiun damai, malah ditarik jadi penasihat. Ada keponakan pejabat yang menjabat posisi strategis. Ada menteri aktif, rangkap jabatan sebagai pengarah superholding. Ada orang-orang yang nama keluarganya lebih berbobot dari CV-nya. Semua dipilih lewat mekanisme sakti bernama "penunjukan langsung". Fit and proper test? Ah, itu mah buat rakyat kecil yang mau jadi lurah.

Di Indonesia, jabatan bukan lagi hasil seleksi, tapi sudah seperti warisan bangsawan. Seakan-akan kualifikasi tak lagi diukur dari kemampuan, tapi dari siapa teman golf-nya, siapa sepupunya, siapa grup WhatsApp-nya. Dan ketika publik bersuara, buzzer digital sibuk mengalihkan isu ke lapak lawan politik. Mengkritik nepotisme dianggap kampanye. Menagih meritokrasi dianggap makar.

Sementara itu, para penganut koneksiisme terus berdalih: “Kalau orangnya kompeten, kenapa nggak boleh direkomendasikan?” Tapi di sinilah letak jebakannya. Pertanyaannya bukan boleh atau nggak, tapi kenapa harus lewat jalur dalam? Kalau memang sehebat itu, kenapa tidak berani ikut seleksi terbuka? Mengapa tidak diuji oleh panel independen? Karena sesungguhnya yang ditakutkan adalah kegagalan ketika semua orang diperlakukan sama.

Koneksi dan nepotisme adalah candu. Ia manis di awal, tapi merusak akarnya. Ia mempercepat proses, tapi menumpulkan kualitas. Ia bisa membangun kerajaan dalam semalam, tapi juga bisa membuatnya runtuh saat fajar. Negara ini terlalu lama bersahabat dengan candu itu. Dari zaman orde lama, orde baru, hingga orde digital.

Banyak yang lupa, korupsi itu tidak selalu soal uang. Menitip jabatan adalah bentuk lain dari korupsi. Ia merampas hak orang yang lebih layak. Ia menyingkirkan prinsip demi kepentingan. Dan yang lebih bahaya: ia meracuni budaya organisasi dari dalam, membuat standar jadi fleksibel sesuai silsilah, bukan hasil kerja.

Kita hidup di era di mana prestasi bisa dibeli lewat relasi. Di mana daftar jabatan bisa ditulis dulu baru dicari alasannya. Danantara bukan gejala baru, tapi cermin besar dari penyakit lama: obsesif rangkap jabatan, akut kroni-isme, dan alergi terhadap transparansi.

Tentu tidak semua yang ditunjuk adalah orang bodoh. Beberapa di antaranya punya rekam jejak bagus. Tapi tetap saja, cara masuk ke sistem itu lebih penting dari isi kepalanya. Karena dalam sistem yang busuk, bahkan kepala brilian pun bisa membusuk bersama.

Ray Dalio, dengan segala ketenangannya sebagai investor, barangkali muak. Muak melihat betapa kata "pengabdian" dijadikan tameng bagi bagi-bagi kursi. Muak melihat mantan presiden yang mestinya jadi simbol kenegarawanan malah diajak masuk ke arena proyek. Muak melihat jabatan menjadi permainan lego elit yang bisa disusun ulang sesuai loyalitas, bukan logika.

Lucunya, di tengah semua itu, publik dibuat bingung: ini holding bisnis atau lembaga sihir? Kenapa semua tokohnya seperti tokoh Avengers versi BUMN, punya banyak peran, bisa muncul di mana saja, kapan saja?

Pertanyaan paling menyakitkan adalah ini: di mana suara DPR? Bukankah badan super besar seperti ini semestinya lewat proses pengawasan, uji kelayakan, dan keterbukaan? Tapi ketika semuanya sudah dikebiri oleh politik akomodasi, maka jadilah Danantara seperti kerajaan bayangan—besar, kuat, tapi tak tersentuh konstitusi.

Yang lebih parah, banyak masyarakat yang mulai pasrah. “Udah biasa begitu, Mas.” Kalimat itu yang paling menyesakkan. Seolah-olah kita sudah berdamai dengan ketidakadilan. Seolah-olah kita telah mengafirmasi bahwa keadilan adalah ilusi, dan koneksi adalah kebenaran satu-satunya.

Ray Dalio mungkin hanya satu suara dari barat. Tapi ia membawa gema nurani yang makin langka di sini. Ia menolak jadi pajangan etis dalam proyek yang aroma oligarkinya menyengat. Ia lebih memilih pergi diam-diam, tapi dengan pesan yang lebih keras dari demonstrasi mahasiswa.

Dan bagi kita yang masih percaya bahwa kerja keras dan kompetensi layak dihargai, kepergian Dalio adalah peringatan: kalau orang-orang baik terus diam, maka ruang publik akan jadi arena pesta pora para pesulap jabatan.

Karena jika meritokrasi dikubur, maka yang naik bukan yang terbaik, tapi yang paling dekat dengan penguasa. Dan ketika itu terjadi, bangsa ini akan terus berjalan dengan sopir yang salah, menuju jurang yang sama, dengan senyuman palsu dan seremoni yang megah.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...