Barangkali kita semua sedang tertipu oleh adagium tua yang dipelintir selera kekuasaan. Ungkapan itu kini tak lagi menjadi nasihat kebijaksanaan, melainkan mantra hipnosis massal untuk membungkam kritik: "Sudahlah, pasti sudah dipikirkan matang-matang oleh yang berwenang." Padahal, keputusan-keputusan itu seringkali lebih mirip hasil undian arisan daripada penilaian meritokrasi.
Coba kita tengok panggung sandiwara terbaru.
Giring Ganesha, eks vokalis Nidji, ditunjuk sebagai Komisaris GMFI, anak usaha Garuda Indonesia yang bergerak di bidang maintenance pesawat.
Apa hubungannya Giring dengan aviasi? Apakah vokal tingginya bisa memantau tekanan kabin?
Kalau logika kekuasaan ini diteruskan, jangan-jangan nanti drummer Sheila on 7 ditunjuk jadi kepala Badan Meteorologi karena suka tabuh-tabuh mendung.
Sebelumnya ada Ifan Seventeen, ditunjuk sebagai Dirut Produksi Film Negara. Alasannya? Karena pernah main di video klip? Pernah menangis di televisi nasional? Atau karena ia punya "chemistry" dengan layar kaca?
Lalu tentu tak boleh dilupakan Abdee Slank, komisaris Telkom. Katanya, komisaris itu jabatan strategis untuk arah kebijakan perusahaan. Tapi sejak kapan menulis lagu "Loe Toe Ye" masuk kurikulum strategi korporat?
Dan ini baru sebagian dari daftar panjang yang barangkali lebih cocok disusun di Spotify daripada di struktur organisasi BUMN. Kita belum bicara tentang influencer, buzzer, seleb TikTok, dan aktivis karbitan yang satu per satu naik ke singgasana birokrasi seperti pemain The Sims yang dapat cheat code.
Mari kita berhenti sejenak dan bertanya:
Apakah ini negara? Atau sekadar panggung audisi bakat dengan juri tunggal bernama kekuasaan?
Tentu, ini bukan soal mereka berasal dari dunia seni. Banyak seniman yang punya kapasitas luar biasa jika diberi tempat yang tepat. Tapi ini soal penempatan. Ini soal ketika kompetensi tidak lagi relevan, ketika loyalitas politik mengalahkan profesionalitas, ketika kemampuan menghibur massa lebih dihargai ketimbang integritas, kerja keras, dan pemahaman mendalam atas tugas.
Dan dari sini kita mulai mengerti perbedaan bodoh dan bebal.
Orang bodoh itu belum tahu. Orang bebal itu tak mau tahu.
Orang bodoh bisa diajar. Orang bebal bahkan tak mau mendengar.
Dan kekuasaan hari ini tampaknya nyaman dikelilingi oleh orang-orang bebal:
Mereka yang hanya bisa mengangguk, tak pernah bertanya.
Yang pikirannya tipis tapi kulitnya tebal—tebal muka, tebal telinga.
Yang tragis adalah, di negeri ini, penderitaan rakyat bukanlah akibat kekurangan orang pintar. Kita punya banyak insinyur hebat, pakar ekonomi mumpuni, profesional tulen yang lahir dari pergulatan panjang di lapangan.
Masalahnya satu: mereka tidak berjasa saat pemilu.
Kursi empuk itu kini bukan lagi hasil kerja keras, tapi hasil kalkulasi suara.
Jabatan strategis dijadikan kado pasca-kemenangan, semacam ucapan "terima kasih" dalam bentuk gaji, fasilitas, dan kekuasaan.
Dan kita semua, rakyat, disuruh maklum, disuruh bersabar, disuruh percaya.
Bahwa entah bagaimana, orang-orang yang bahkan tak tahu beda antara runway dan hallway akan membawa perusahaan negara terbang tinggi.
Tapi tenang saja.
Kalau perusahaan negara merugi, mereka akan bilang itu warisan.
Kalau negara tak becus urus logistik, mereka akan bilang itu karena global.
Kalau infrastruktur runtuh, mereka akan bilang itu ujian.
Kalau rakyat susah, mereka akan bilang itu demi masa depan cerah.
Dan kalau ada yang protes? Ya, tinggal pasang buzzer.
Biar opini dikaburkan, kritik dibisukan, dan semuanya kembali seperti semula:
Ngawur tapi meriah.
Jadi mari kita resapi adagium tadi sekali lagi:
"Serahkan urusan pada ahlinya."
Tapi sebelum kita mengangguk setuju, pastikan dulu siapa yang mereka sebut "ahli".
Karena kalau tidak, yang akan kita serahkan bukan sekadar urusan, tapi masa depan bangsa.
Dan kita akan menyesalinya sambil menonton konser amal untuk BUMN bangkrut, dibawakan oleh komisarisnya sendiri.
Comments
Post a Comment