
Jam tangan adalah simbol. Ia tak sekadar penunjuk waktu. Ia penanda status, kemewahan, juga—kadang kala—sebuah bentuk terima kasih. Tapi, jam yang sama bisa bermakna surga bagi satu orang, dan jadi lelucon mahal bagi yang lain. Tergantung siapa yang memberi, siapa yang menerima, dan tentu saja… kenapa diberikan.
Di ujung dunia sana, di sela desingan peluru fiksi dan lompatan parkour sinematik, Keanu Reeves melakukan sesuatu yang bisa masuk buku “Etika dan Elegansi di Dunia Film.” Setelah rampung syuting John Wick: Chapter 4, sang aktor legendaris ini memberikan Rolex Submariner kepada seluruh tim stunt-nya. Bukan cuma Rolex biasa—setiap jam tangan diukir nama penerimanya, kalimat “Thank You,” label “The John Wick Five,” dan tanggal penyelesaian film.
Simbol kecil dari kerja keras yang besar.
Stuntman bukan aktor utama. Mereka tak masuk nominasi Oscar. Tak berdiri di panggung penghargaan. Tapi mereka jatuh dari tangga, dilindas mobil, dan kadang, kalau salah kalkulasi, pulang dengan tulang patah. Keanu tahu itu. Maka ketika ia memberi Rolex, itu bukan jam—itu rasa hormat yang dipoles menjadi logam, kaca safir, dan tali stainless steel.
Keanu tidak berusaha menciptakan headline. Dia hanya menunjukkan bahwa di balik layar, ada jiwa-jiwa yang tak kalah penting dari wajah di poster bioskop. Sebuah jam tangan menjadi pernyataan diam: Aku melihatmu. Aku menghargaimu.
Dan kini, mari kita putar kompas ke belahan bumi yang lebih panas. Di sebuah negara yang sedang memanaskan mesin impian ke Piala Dunia, timnas Indonesia baru saja menang 1-0 melawan China. Sebuah kemenangan penting, layak dirayakan.
Lalu datanglah sebuah jam tangan—lagi-lagi Rolex. Tapi kali ini, ceritanya berbeda. Bukan dari aktor film, melainkan dari seorang pemimpin negeri. Bukan untuk stuntman yang jatuh dari gedung, tapi untuk pemain bola yang baru saja mencetak sejarah satu malam.
Undangan makan siang di rumah seorang pejabat penting, kantong hitam dibawa pulang, lalu isinya dibocorkan oleh Instagram Story seorang pemain muda. Rolex lagi. Dan langsung meledak jadi berita. Netizen bersorak, sebagian iri, sebagian sinis. “Dapat Rolex cuma karena menang lawan China?” bisik-bisik digital mulai bersaut-sautan.
Tak ada pernyataan resmi. Hanya spekulasi. Tapi jamnya nyata. Hijau, berkilau, dan mungkin berdetik lebih cepat karena degup drama yang mengikutinya.
Tapi kemudian, tak perlu waktu lama, Jepang datang membawa kenyataan. Skor akhir: 6-0. Tak tanggung-tanggung. Timnas Indonesia dihajar sampai tak sempat mencatat satu peluang pun. Rolex masih di pergelangan, tapi harga diri mungkin tertinggal di Osaka.
Dan di sinilah cerita dua Rolex ini mulai berbicara dengan cara yang lebih dalam daripada sekadar kilauan logam.
Rolex Keanu adalah penutup dari kerja keras berbulan-bulan. Diberikan setelah hasil terlihat, setelah darah kering di lantai set, setelah semua peluh dan tulang dihitung. Rolex itu diberikan kepada mereka yang berkontribusi secara nyata, meski tak terlihat kamera.
Rolex yang satu lagi... adalah selebrasi instan, seperti kembang api yang dibakar sebelum tahu apakah hujan akan turun. Sebuah hadiah yang—mungkin niatnya baik—tapi justru terasa prematur. Memberikan jam mewah setelah satu kemenangan, lalu dilibas enam gol tanpa balas beberapa hari kemudian, membuat jam tangan itu terasa seperti bonus sinetron: dramatis, viral, dan sangat bisa jadi bumerang.
Bukan jamnya yang salah. Tapi konteksnya.
Karena simbol, tanpa makna yang terbangun, hanya akan menjadi kemasan kosong. Rolex tetaplah Rolex, tapi nilai moralnya tidak bisa dibeli di butik resmi. Jam tangan di tangan stuntman Keanu adalah puisi diam atas dedikasi. Jam tangan di tangan timnas, setelah dibantai Jepang, justru seperti karikatur: lucu, getir, dan membuat orang bertanya—"Kenapa begitu cepat memberi?"
Ini bukan soal layak atau tidak. Setiap kemenangan patut dirayakan. Tapi ada perbedaan antara merayakan pencapaian dan memanjakan dengan glamor. Di negeri yang sering kehabisan anggaran untuk buku, tapi tak pernah kehabisan dana untuk simbolisme, jam tangan mewah bisa menjadi ironi yang terlalu mahal.
Coba bayangkan jika Rolex itu diberikan nanti, ketika timnas benar-benar lolos ke Piala Dunia. Ketika mereka bukan hanya mengalahkan China, tapi berdiri sejajar dengan Jepang. Rolex itu akan menjadi sejarah. Akan dikenang bukan hanya karena harganya, tapi karena momen dan perjuangan yang menyertainya.
Tapi ya, mungkin kita memang gemar buru-buru. Gemar memberi tepuk tangan sebelum tirai ditutup. Gemar merayakan langkah pertama, sebelum tahu apakah kita sanggup sampai di garis akhir.
Sementara Keanu, seorang bintang film Hollywood yang bisa saja tenggelam dalam egonya sendiri, memilih untuk menghormati orang-orang yang bekerja dalam bayangan. Ia tak perlu kamera. Ia tak butuh panggung. Ia tahu bahwa waktu tidak bisa dibeli—tapi bisa dihargai.
Dan mungkin itu pelajaran paling mahal dari semua ini: sebuah Rolex tak selalu bicara tentang harga. Kadang, ia bicara tentang waktu yang telah diberikan, peluh yang telah diteteskan, dan penghargaan yang telah dipupuk diam-diam.
Sedangkan yang satunya? Hanya jam yang berdetak dalam keheningan 6-0.
Comments
Post a Comment