Lisieux, Prancis, 22 Agustus 1944. Kota kecil ini masih bergetar akibat pertempuran sengit yang terjadi hanya beberapa jam sebelumnya. Tentara Sekutu telah memasuki kota, mengusir pasukan Jerman yang selama ini menguasainya. Debu dan asap masih menyelimuti jalanan, bau mesiu bercampur dengan aroma reruntuhan yang terbakar.
Di salah satu sudut kota, seorang tentara Inggris dalam posisi siaga, berjongkok di belakang ranselnya, matanya tajam mengamati sekeliling. Senapannya tetap dalam genggaman, jari-jarinya siap menarik pelatuk jika ancaman muncul. Meskipun kemenangan tampak dekat, ia tahu perang belum benar-benar usai.
Dari balik pintu kayu yang hampir tertutup rapat, seorang wanita bergaun hitam melangkah keluar dengan langkah hati-hati. Rambutnya berantakan, wajahnya penuh dengan debu, tetapi matanya menyiratkan keberanian yang tak tergoyahkan. Namanya Marguerite, seorang penduduk asli Lisieux yang selama ini hidup di bawah bayang-bayang pendudukan Nazi. Ia telah kehilangan banyak—suaminya tewas dalam perlawanan, beberapa saudaranya ditangkap, dan rumahnya nyaris hancur akibat pemboman.
Namun hari ini, ia tidak ingin hanya menjadi saksi kehancuran. Ia membawa sebuah teko cider yang selama ini ia simpan, mungkin untuk hari yang lebih baik, atau mungkin sebagai pengingat bahwa suatu saat, dunia akan kembali damai.
Ia melangkah mendekati tentara yang masih berjaga, memperhatikan bagaimana pria itu tetap waspada meskipun tubuhnya jelas kelelahan. Marguerite tidak berkata apa-apa, hanya membungkuk sedikit dan menuangkan cider ke dalam cangkir kecil. Bunyi tetesan cairan yang mengalir dari teko menjadi suara paling damai yang terdengar di tengah kota yang baru saja dilanda perang.
Tentara itu, yang awalnya mengencangkan genggaman pada senjatanya, perlahan menoleh. Mata mereka bertemu sejenak—sebuah pertemuan antara orang yang telah berjuang dan orang yang baru saja mendapatkan kembali kebebasannya. Ia menatap cairan dalam cangkir itu, lalu ke wajah Marguerite, seolah ingin memastikan bahwa ini bukan jebakan, bukan ancaman terselubung.
Marguerite tersenyum samar. "Minumlah, monsieur. Kau telah melakukan banyak untuk kota ini."
Tentara itu akhirnya meraih cangkir dengan tangan yang masih sedikit gemetar, meneguk perlahan cider yang dingin. Rasa manisnya menyentuh tenggorokannya yang kering, memberikan kelegaan yang lebih dalam dari sekadar menghilangkan dahaga. Itu bukan sekadar minuman—itu adalah tanda bahwa di tengah perang, masih ada manusia yang peduli.
"Terima kasih..." katanya akhirnya, suaranya pelan namun penuh makna.
Marguerite hanya mengangguk, lalu berdiri dan kembali melangkah ke dalam rumahnya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia tahu bahwa esok mungkin masih akan penuh dengan pertempuran, tetapi setidaknya hari ini, ia telah memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar cider. Ia telah memberikan pengingat bahwa kebaikan tetap ada, bahkan di tengah kehancuran.
Tentara itu tetap duduk di tempatnya, memandangi cangkir kosong di tangannya. Sejenak, perang terasa sedikit lebih ringan. Dan di sudut kota Lisieux yang baru saja terbebas, seorang wanita dan seorang tentara telah berbagi sesuatu yang lebih dari sekadar minuman—mereka berbagi kemanusiaan.
Comments
Post a Comment