Tahun 2004, hidup saya resmi dimulai di jalur dua arah: rumah tangga dan jalur macet menuju kantor. Saya baru menikah, dan pindah ke Sukatani, Depok—sebuah kawasan yang saat itu masih sunyi, lebih banyak pepohonan dibanding bangunan beton. Tapi ada satu masalah eksistensial yang langsung saya rasakan: bagaimana caranya pergi kerja ke Jakarta tanpa kehilangan kewarasan.
Kantor saya di Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan. Sementara rumah? Yah, jauh di pinggir peta. Setiap hari saya seperti ikut ajang "Survivor" versi urban. Rutenya begini: naik ojek pangkalan ke Cibubur Junction, lanjut angkot nomor 56 ke UKI, lalu sambung bus ke Blok M. Itu pun kalau semua berjalan lancar. Sayangnya, kata "lancar" di lalu lintas Jakarta—apalagi dari wilayah pinggiran—lebih mitos daripada realita.
Di pagi hari, angkot 56 jadi rebutan. Bukan cuma saya, tapi ratusan orang yang entah mau ke kantor, sekolah, atau sekadar cari peruntungan di ibukota. Kadang rasanya seperti adegan film zombie apocalypse, semua orang berlomba naik kendaraan terakhir sebelum dunia kiamat.
Spare time dua jam sebelum shift pagi dimulai jadi standar hidup. Kalau masuk jam 8, saya sudah harus kabur dari rumah jam 6. Itu pun belum tentu bisa duduk nyaman. Kadang berdiri, kadang nempel kaca, kadang nempel penumpang lain yang bawa bekal nasi uduk atau parfum KW.
Ada alternatif lain, lebih absurd tapi realistis: bis Departemen Koperasi. Ironisnya, itu bukan layanan resmi untuk umum. Bis itu dibawa pulang sama sopirnya, dikomersialkan, dan jadi penyelamat orang-orang seperti saya. Negara pura-pura nggak tahu, kami pura-pura nggak peduli. Asal sampai kantor, urusan moral belakangan.
Tapi masalah lebih pelik datang kalau saya kebagian shift sore. Angkot 56 di siang hari bagaikan artefak kuno—ada, tapi jarang terlihat fungsinya. Mobil ELF itu mangkal, nunggu penumpang, dan saya harus duduk di dalam, diam, menunggu isi mobil penuh seperti takdir yang nggak bisa dipercepat.
Sopirnya? Jangan harap ada empati. Buat dia, waktu kami itu statistik, yang penting hitungan dia nggak rugi. Kalau cuma isi separuh mobil, jangan harap jalan. Uang bensin, tol, dan entah biaya apa lagi jadi alasan. Kadang kami dipaksa bayar dobel, apalagi kalau tanggal merah. Pernah ada kejadian, si sopir ngotot minta tambahan uang cuma karena "sekarang tanggal merah." Seolah-olah libur nasional itu bencana pribadi dia, dan kami yang harus tanggung.
Saat itu, saya duduk termenung, sembari nahan kesal, sambil mikir, "Transportasi kayak gini pasti bakal punah. Nggak mungkin zaman kayak begini selamanya. Pasti ada era baru, di mana orang-orang nggak harus begini terus." Rasanya kayak doa orang kepepet yang diucapkan setengah pasrah, setengah optimis.
Tahun-tahun berlalu, dan doa itu mulai terkabul. Pelan-pelan, Jakarta dan sekitarnya mulai bergerak, walau seringkali dipaksa keadaan. TransJakarta muncul, pertama-tama cuma berani di rute-rute utama. Tapi ada angin segar: bus dari Cileungsi ke Blok M yang terintegrasi dengan TransJakarta. Akhirnya, warga pinggiran kayak saya punya harapan. Nggak harus terus disandera mentalitas sopir angkot yang cuma mikirin setoran.
Lalu datang generasi baru: LRT Jabodebek. Momen ini kerasa makin spesial karena bertepatan sama anak pertama saya yang mulai kuliah di Bendungan Hilir. Dulu, saya berjibaku demi cari nafkah, sekarang anak saya bisa ke kampus dengan transportasi modern yang lebih manusiawi, lebih profesional, lebih layak untuk disebut bagian dari peradaban.
Kini, saya lihat anak-anak muda naik LRT, sambil memegang laptop di pangkuan dan menikmati alunan lagu-lagu dari Spotify lewat AirPods yang menempel di telinga mereka. Dulu saya naik angkot sambil nahan bau knalpot, waspada copet, dan mikir gimana caranya sampai tepat waktu. Beda generasi, beda cara hidup. Dan itu bukan hal buruk.
Jadi, kalau sekarang masih ada yang nekat pakai mentalitas zaman batu di era digital, siap-siap aja jadi peninggalan sejarah. Karena satu hal yang nggak pernah gagal dalam hidup ini adalah hukum seleksi alam. Transportasi nggak profesional? Lenyap. Bis pungli? Tergerus. Pola pikir usang? Ditinggal zaman.
Saya nggak anti nostalgia. Ada romantisme naik angkot, nyari ojek pangkalan, saling sapa sama sesama pejuang jalanan. Tapi romantisme nggak bisa jadi alasan untuk stagnan. Perubahan itu datang, mau kita siap atau nggak. Lebih baik kita ikut arus, berbenah, dan jadi bagian dari peradaban baru, daripada terus-terusan jadi fosil hidup yang dilihat orang dengan iba atau jijik.
Toh, peradaban itu bukan cuma tentang gedung tinggi atau teknologi canggih. Peradaban itu soal cara kita memperlakukan sesama, menghargai waktu, dan membangun sistem yang layak buat semua orang.
Karena ujung-ujungnya, siapa yang siap berubah, dia yang akan tetap bertahan. Sisanya? Ya, jadi kenangan pahit di benak para penumpang yang pernah dikecewakan.
Dan percayalah, penumpang itu nggak pernah lupa.
Setiap moda transportasi yang tidak adaptif adalah cermin kecil dari pola pikir kita sebagai bangsa. Kalau kita masih setia dengan ketidakprofesionalan, kita bukan cuma membunuh waktu orang lain—kita memperlambat kemajuan kita sendiri. Transportasi yang kacau hanyalah gejala. Penyakit aslinya adalah mentalitas malas berubah, nyaman dalam chaos, dan alergi terhadap sistem yang rapi.
Karena pada akhirnya, hidup ini seperti perjalanan: siapa yang terus bergerak ke depan, dia yang akan sampai ke tujuan. Siapa yang berhenti, terjebak, atau sengaja menghalangi kemajuan, akan tergilas. Entah oleh zaman, atau oleh penumpang-penumpang yang sudah muak menunggu keajaiban di halte-halte kosong.
Comments
Post a Comment