Dulu, memilih HP bukan sekadar urusan komunikasi. Ia adalah pernyataan sikap. Sejenis deklarasi politik personal. Pilihan terhadap merek tertentu bisa menandakan selera, kelas sosial, bahkan kecenderungan ideologis — meskipun pada akhirnya cuma buat nelpon pacar yang sekarang jadi istri.
Saya ingat betul awal-awal saya memakai HP yang lebih dari sekadar alat SMS dan telepon — sekitar tahun 2000-an, ketika ringtone polifonik masih dianggap sebagai pencapaian estetika dan casing bening dianggap futuristik. Di tengah kerumunan manusia yang (nyaris) seragam dengan Nokia di tangan, saya memilih untuk tidak menjadi bagian dari itu. Saya tidak ikut arus. Saya pilih Sony Ericsson.
Kenapa? Karena saya merasa Nokia itu terlalu “umum”. Terlalu banyak dipakai orang, terlalu mainstream, terlalu pasaran. Seperti mie instan di kos-kosan — semua orang punya, dan karena itu, jadi kehilangan nilai spesialnya. Sony Ericsson hadir dengan aura yang lebih niche, lebih “gue banget” — desainnya keren, elegan, dan fitur-fiturnya, setidaknya menurut saya waktu itu, jauh lebih bersahabat. Nggak kayak Nokia yang kalau nyari menu saja rasanya kayak ngubek-ngubek pasar tanpa papan petunjuk.
Dan Samsung? Jangan. Waktu itu, Samsung di mata saya adalah anak tiri dalam keluarga ponsel. Desainnya kikuk, antarmukanya absurd, dan fiturnya… ya ampun, ketinggalan zaman. Saya sempat dengan sangat percaya diri mencemooh HP Samsung. “Siapa sih yang mau pakai beginian?” pikir saya sambil nyengir sok superior.
Tapi hidup ini seperti roda — kadang kita di atas, kadang kita di bawah, dan kadang kita dipermalukan oleh update software.
Kini, setiap kali ganti HP, saya nyari Samsung. Bukan karena saya tiba-tiba jadi brand ambassador-nya, tapi karena memang merek itu sekarang bagus banget. Desainnya anggun, fiturnya lengkap, kameranya bikin malu fotografer wedding, dan UI-nya? Halus, intuitif, dan — saya benci mengakuinya — jauh lebih menyenangkan daripada banyak pesaingnya, termasuk yang berlogo buah tergigit.
Yang dulu saya cemooh, kini saya andalkan. Yang dulu saya anggap murahan, sekarang saya cari-cari barangnya. Ego saya dipelintir pelan-pelan oleh waktu, dan dibentuk ulang oleh kualitas yang tak bisa dibantah.
Dan ternyata, ini bukan hanya terjadi sekali.
Di tahun-tahun yang sama, ketika saya mulai menekuni dunia video editing, saya sangat fanatik dengan Final Cut Pro (FCP). Software keluaran Apple ini terasa seperti mimpi bagi editor muda seperti saya. Cutting, trimming, efek, transisi, sampai cropping dan bikin bumper — semua terasa logis dan flowing. Antarmukanya bersih, pergerakannya lincah, dan semuanya terasa pas.
Sementara Adobe Premiere? Ya ampun, saya anggap itu software buat tugas kuliah anak semester tiga. Kaku, membingungkan, dan kayaknya cuma dipakai karena bajakannya gampang didapat. Pokoknya, kalau mau kelihatan profesional, jangan pakai Premiere — begitu keyakinan saya waktu itu.
Namun lagi-lagi, waktu dan kebutuhan profesional punya cara sendiri untuk mendidik kita.
Sekarang, saya bekerja sebagai video editor di kantor berita asing. Kantor yang sangat ketat soal legalitas software. Nggak ada tuh pakai software bajakan buat ngedit materi yang akan disiarkan ke jutaan pasang mata. Dan pilihan satu-satunya yang legal, fleksibel, kompatibel, dan bisa diandalkan? Adobe Premiere Pro.
Jadi ya… saya belajar. Saya beradaptasi. Saya mencintai (dengan terpaksa). Dan lama-lama, saya terbiasa.
Lucunya, saya mulai menemukan keindahan di dalam Premiere. Ia memang nggak semanis FCP dari luar, tapi di balik tampilannya yang kaku, ada ketangguhan dan fleksibilitas yang luar biasa. Seperti teman lama yang dulu kamu remehkan karena penampilannya culun, tapi ternyata dia yang paling bisa kamu andalkan saat dunia sedang runtuh.
Kisah tentang Sony Ericsson, Samsung, FCP, dan Premiere ini mungkin terdengar sepele. Tapi sesungguhnya, ini adalah miniatur dari dinamika batin manusia modern: kita hidup di dunia yang terus berubah, sementara ego kita mencoba bertahan di antara puing-puing preferensi lama. Kita membangun keyakinan, lalu melihatnya dihancurkan oleh kenyataan. Kita mencemooh, lalu tergantung. Kita mengolok-ngolok, lalu membayar mahal untuk hal yang sama.
Pada akhirnya, mungkin bukan teknologi yang berubah. Merek-merek itu hanya melakukan yang terbaik untuk bertahan hidup dan berkembang. Yang benar-benar berubah adalah kita: selera kita, kebutuhan kita, dan batas-batas kesombongan kita.
Karena tak ada yang lebih menyakitkan daripada mengakui bahwa kita dulu salah. Tapi juga tak ada yang lebih memerdekakan.
Jadi kalau hari ini kamu mencemooh sesuatu — entah itu merek HP, aplikasi, genre musik, atau bahkan pilihan politik orang lain — ingatlah bahwa besok lusa kamu mungkin akan jadi penggunanya paling fanatik.
Karena hidup punya cara sendiri untuk bikin kita belajar.
Dan kadang, caranya sangat... Samsung sekali.
Comments
Post a Comment