Ada fenomena lucu di negeri ini, terutama di level pejabat publik. Kalau kehabisan ide, lagi seret prestasi, atau sekadar butuh bahan sorotan, biasanya yang diganti bukan pola pikir, bukan kinerja, apalagi sistem kesehatan rakyat. Yang diganti itu… papan nama.
Iya, papan nama. Entah itu nama jalan, nama rumah sakit, alun-alun, bahkan fasilitas publik yang sudah berdiri dari zaman rakyat masih urunan, para ulama masih keliling ngajak donasi, dan pejabatnya mungkin masih sibuk motong rumput atau lagi nyusun janji kampanye.
Contohnya, ada satu rumah sakit di Bandung yang namanya dulu RS Islam Al Ihsan. Ini rumah sakit bukan proyek iseng pemerintah. Bukan pula hasil proposal Musrenbang yang dicoret sana-sini. Ini rumah sakit lahir dari jerih payah umat, dibangun tahun 1993, pas hari Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan. Namanya bukan sekadar tempelan. "Al Ihsan" itu maqam tertinggi dalam Islam. Bukan istilah sembarangan. Itu pengingat bahwa manusia berbuat baik seolah-olah diawasi langsung oleh Tuhannya.
Tapi tiba-tiba, tahun 2024, datang seorang pejabat, Dedy Mulyadi, langsung ganti nama rumah sakit itu jadi RSUD Welas Asih. Alasannya? Katanya supaya lebih "Sunda". Supaya lebih "kearifan lokal".
Sekilas mungkin terdengar keren. Tapi begitu digali, dalihnya makin terlihat rapuh.
Kata "Welas Asih" Bukan Sunda, Pak
Jadi begini, logika dasar aja. Kalau mau bicara budaya Sunda, minimal ngerti dulu kosakata aslinya. Dalam bahasa Sunda, rasa kasih sayang itu disebut kanyaah atau nyaah. Kita semua tahu itu.
Contohnya simpel:
"Indung nyaah ka anakna..."
"Kuring boga kanyaah ka maneh..."
Nah, terus muncul kata Welas Asih, dari mana? Itu jelas serapan Jawa. Lebih dalam lagi, asal-usulnya nyambung ke bahasa Sansekerta. Kata Asih misalnya, punya akar dari kata Āśīḥ, artinya doa, berkah, harapan baik. Udah dipakai sejak naskah-naskah tua macam Ramayana, Bharatayuda, sampai Kidung Harsawijaya. Artinya bagus, tapi faktanya bukan produk asli Sunda.
Jadi lucu aja, simbol Islam yang udah lama ada, yang dibangun pakai keringat umat, malah dianggap asing. Tapi kata serapan luar malah dielu-elukan sebagai kearifan lokal. Kalau logika kayak gitu diterusin, lama-lama semua yang ada embel-embel Islam bisa diganti seenaknya, atas nama budaya.
Tapi anehnya, budaya di sini selalu dipakai buat alasan buang simbol agama. Sementara pas musim kampanye, atribut Islam malah dipakai buat narik suara. Munafik? Ya begitu kira-kira polanya.
Dulu Ulama Sibuk Bangun, Sekarang Politisi Sibuk Ngaku-ngaku
Balik ke cerita rumah sakit tadi. RS Al Ihsan ini berdiri karena enam tokoh umat yang peduli:
-
H. M. Ukman Sutaryan
-
H.M.A. Sampoerna
-
H. Agus Muhyidin
-
K.H. R. Totoh Abdul Fatal
-
K.H. Ahmad Syahid
-
H.M. Soleh, MM
Mereka ngurus pembangunan rumah sakit pakai dana umat. Tujuannya simpel, biar rakyat kecil bisa berobat tanpa mikirin biaya yang bikin kepala pusing. Waktu itu, yang kerja nyata ulama, tokoh masyarakat, rakyat biasa yang urunan. Pejabat? Entah lagi di mana. Mungkin sibuk selfie sama kambing atau sibuk cari panggung kampus swasta.
Lucunya, sekarang yang pegang kuasa, yang paling gampang main ganti nama. Rumah sakitnya tetap, fasilitasnya nggak berubah signifikan, cuma plangnya doang yang ganti. Bangganya kayak udah bikin gebrakan nasional.
Kalau Ganti Nama Dianggap Prestasi, Ya Jelas Politik Kita Seret
Pola kayak gini bukan cuma di Bandung. Di Indramayu, ada alun-alun diganti nama jadi nama anak pejabat. Di Cirebon, Balai Negara diganti logo. Yang dirombak itu simbol, bukan substansi.
Kalau ini diterusin, jangan kaget. Besok-besok:
-
Masjid diganti jadi Gedong Nyaah Gusti
-
Adzan diterjemahin bebas: "Ayo ke pangheulaaan"
-
Zakat berubah nama jadi Patungan Kanyaah
-
Hakim di pengadilan ganti nama jadi nu ngajugjug keaadilan
-
Sidang DPR jadi kumpul-kumpul balad-balad keur rembug
Lucu? Iya. Tapi arahnya ke situ kalau yang dipikirin cuma branding, bukan akarnya.
Padahal, ngotak-atik nama doang itu nggak ngasih efek langsung ke rakyat. Ngganti logo RS aja biayanya lumayan. Ganti kop surat, spanduk, plang gedung, sistem administrasi. Itu semua duit. Duit siapa? Ya duit rakyat juga.
Kearifan Lokal atau Islamophobia Terselubung?
Di atas kertas, semua orang suka budaya lokal. Sunda itu identik sama kelembutan, sopan santun, pesantren, ajengan, hafiz Qur'an, sejarah besar ulama. Budaya Sunda tumbuh bareng Islam, bukan saling menyingkirkan.
Tapi kalau ada yang ngotot bilang simbol Islam itu asing, lalu diganti pakai istilah lain demi citra budaya, itu tanda tanya besar. Ini benar-benar cinta budaya atau sekadar pengalihan isu? Atau malah ada fobia sama Islam yang dibungkus jargon kearifan lokal?
Dulu, Turki udah ngalamin itu. Tahun 1920-an, Mustafa Kemal Atatürk ngelucuti lambang-lambang Islam. Bahasa Arab dilarang, adzan dipaksa pakai bahasa Turki. Alasannya? Supaya rakyat modern, nggak terbelakang.
Nyatanya? Satu generasi tumbuh tanpa tahu Qur'an, tanpa paham akar budaya agamanya sendiri. Modernitas datang, tapi identitas hilang. Mereka paham Eropa, tapi lupa nenek moyang sendiri.
Sekarang, versi KW-nya mulai keliatan di sini. Ganti nama rumah sakit dianggap langkah maju. Simbol Islam dipelintir, dikasih label asing. Tapi pas musim politik, justru atribut Islam yang dirangkul. Tipikal politisi: fleksibel tergantung panggung.
Kalau Ganti Plang Lebih Gampang daripada Bangun Program, Ya Wajar Politik Begini Terus
Ngurus nama itu gampang. Tinggal cetak spanduk, pasang baliho, bikin video launching, selesai. Tapi bangun sistem? Ngebenerin layanan publik? Ngurangin biaya kesehatan? Itu butuh mikir serius, kerja nyata, dan nggak bisa disulap kayak ganti plang.
Sayangnya, sebagian penguasa lebih pilih cara instan. Karena lebih gampang nyari tepuk tangan lewat simbol ketimbang benerin akar masalah.
Dan kalau pola ini dibiarkan, bakal terus bergulir:
Hari ini rumah sakit diganti nama, besok sekolah, lusa simbol masjid, minggu depan identitas agama dipreteli pelan-pelan. Semua dibungkus dalih budaya. Padahal, yang dikejar cuma popularitas.
Jadi Pertanyaannya: Siapa yang Sebenarnya Lagi Berkuasa, dan Lagi Melayani Siapa?
Kalau rumah sakit umat aja bisa diganti nama sesuka hati, siapa yang pegang kendali? Rakyat? Budaya? Atau sekadar geng elite yang haus perhatian?
Karena sejarah udah nunjukkin, kalau penguasa kehabisan program, papan nama yang duluan dikorbanin. Kalau kehabisan prestasi, simbol agama yang dilucuti. Dan kalau rakyat diam aja, lama-lama identitas pun tinggal cerita.
Jadi, kita pantau aja, sambil nunggu siapa lagi yang diganti, siapa lagi yang dilabeli asing, dan siapa lagi yang dapat panggung cuma karena lihai main plang.
Comments
Post a Comment