Skip to main content

“Hei Maling-Maling, Tunggu Dulu, Istrinya Juga Butuh Hidup”: Evolusi Gagah-Gagahan Menuju Negara dalam Tanda Petik

 

Ada sebuah hukum alam yang tak tertulis tapi selalu berlaku dalam politik: semakin lantang teriak “aku tidak takut koruptor!”, maka semakin besar kemungkinan nanti kau akan mengajukan “keadilan” bagi istri dan anak si koruptor. Dan di negeri ini, hukum itu tampaknya baru saja naik jabatan.

Mari kita buka lembaran Januari 2024. Kala itu, udara kampanye masih hangat, bendera-bendera belum layu, dan suara teriakan belum pecah karena realita. Di sebuah panggung penuh semangat di Bengkulu, seorang capres bersuara berat—bagai gabungan bariton tentara dan semangat sinetron azab—berteriak:

“Hei maling-maling, koruptor-koruptor, Prabowo tidak pernah akan gentar terhadap kalian! Hei kaum munafik, hei antek-antek asing, Prabowo-Gibran bersama rakyat Indonesia!”

Gemetar tanah. Getar rakyat. Gagah! Pedang keadilan tampak bersinar, siap menebas segala busuk. Luar biasa.

Tapi kini mari kita lompat ke April 2025. Tanggalnya tak begitu penting. Yang penting adalah nadanya berubah. Seolah bariton itu kini menjadi... ballad.

“Kita harus adil kepada anak istrinya... Apakah adil anaknya menderita juga?”

Ah. Betapa mengharukannya.

Dulu: “Usir koruptor!”
Sekarang: “Tapi... bagaimana dengan perasaan anaknya, Pak?”

Seketika, Indonesia berubah dari negara hukum menjadi negara "harus dipikir-pikir dulu". Karena di negeri penuh pertimbangan ini, bahkan perampokan uang rakyat pun bisa dilihat sebagai tragedi keluarga.


Dari Transformasi Bangsa ke Transformasi Kursi Komisaris

Waktu kampanye, Prabowo bersabda bahwa ia mengumpulkan “orang-orang terbaik” untuk mengurus negeri. Ia menegaskan dengan tegas: “Bukan munafik-munafik yang kami kumpulkan!”

Dan benar, ia tidak mengumpulkan munafik—ia mengumpulkan komisaris.

Grace Natalie, Fuad Bawazier, Simon Aloysius, Condro Kirono, istri Arief Rosyid, hingga sepupu Jokowi—semuanya diberi kursi. MIND ID, Pertamina, PTPN, Pupuk Sriwidjaja, Kilang, Logistik, bahkan bank. Lengkap seperti paket sisa kampanye.

Yang satu dulunya aktivis antikorupsi, sekarang aktivis antikehilangan jabatan. Yang satu dulunya tukang bicara di TV, sekarang tukang tanda tangan honorarium. Dan kita, rakyat biasa? Ya, kita nonton saja, syukur-syukur dapat pulsa untuk komentar.


Hei Antek-Asing, Mau Boeing Berapa?

Ingat saat kampanye dulu, Prabowo menegaskan ingin Indonesia mandiri, kaya, dan tak tunduk pada asing?

Sekarang, kita beli Boeing untuk "membesarkan Garuda Indonesia". Kata beliau, itu bentuk “pemahaman” pada Amerika.

Amerika: “Kalian bayar tarif 19%, kami 0%.”
Indonesia: “Siap, Jenderal!”

Apa ini semacam barter antara cinta dan logika?

Tapi tenang, Prabowo bilang itu hasil negosiasi yang alot. Mungkin kita tidak paham, mungkin dalam kamus beliau, "alot" artinya "menerima semuanya, asal disapa Pak".

Maka jangan heran kalau kita juga jadi tempat uji coba vaksin Bill Gates. Katanya sih vaksin TBC dan malaria. Tahun depan mungkin vaksin “kesabaran” bagi rakyat yang mulai sadar bahwa “transformasi bangsa” artinya “transformasi dari janji ke jabatan”.


Negara di Antara Dua Kalimat

Jika harus dirangkum, republik ini kini berdiri di antara dua kalimat:

  1. “Kami hadir untuk rakyat!”

  2. “Kami juga harus adil terhadap anak istri koruptor.”

Antara idealisme dan kenyataan, antara janji dan jabatan, antara pidato dan pembagian kursi komisaris, antara membela rakyat dan melindungi kroni. Semua itu dijembatani oleh satu kata: kekuasaan.

Maka rakyat pun belajar. Bahwa satu-satunya yang konsisten dari penguasa adalah inkonsistensi. Bahwa keberpihakan itu fleksibel, asal diakhiri dengan kata “demi stabilitas”.

Dan jika dulu yang dikecam adalah antek asing, kini yang dicari adalah investor asing. Jika dulu mengumpat koruptor, sekarang memikirkan penderitaan keluarga mereka.

Bahkan filsuf pun tak mampu menjelaskan bagaimana satu orang bisa mengalami transformasi moral secepat dan sehalus itu. Tapi mungkin jawabannya sederhana: karena dia kini jadi presiden.


Akhir Kata: Republik dalam Refleksi

Negara ini telah menjadi pertunjukan teater, di mana rakyat adalah penonton tetap yang selalu membayar tiket dengan harga paling mahal—upah rendah, subsidi dicabut, dan disuruh sabar.

Mereka berkata demokrasi ini cacat. Tapi salah. Demokrasi kita baik-baik saja. Yang cacat adalah para penjaganya—yang menyamar jadi penyelamat, tapi datang membawa daftar nama untuk dikasih jabatan.

Hei maling-maling! Teriak mereka dulu. Kini, diam-diam mereka ketuk pintu belakang dan berkata, “Masih ada tempat untuk satu lagi?”

Dan kita? Kita hanya bisa tertawa. Karena kalau tidak, kita menangis.


Penutup:
Jika negara ini memang sedang dalam proses transformasi, maka mungkin yang berubah bukan sistemnya, tapi kemampuannya berbohong dengan wajah tetap tersenyum. Dan dalam dunia seperti itu, satu-satunya yang tak bisa disuap adalah catatan sejarah—ia menulis tanpa takut kehilangan jabatan.

Jadi, selamat datang di Republik Ironi, tempat di mana teriakan kampanye mati pelan-pelan di tengah suara mesin fotokopi SK komisaris.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...