Skip to main content

Hidup Sebagai Pion: Tafsir Eksistensial dari Langkah Satu Arah

 

Dalam peradaban modern yang penuh teori tentang kebebasan, pilihan, dan mobilitas vertikal, ada satu makhluk kecil di papan catur yang membuktikan bahwa semua itu kadang cuma mitos manis: pion.

Iya, pion. Si tokoh minor. Si figur pelengkap. Si "duluan mati juga gapapa" dalam strategi agung para grandmaster. Tapi justru karena nasibnya yang tragis dan langkahnya yang cuma bisa satu arah—maju dan terus maju—pion layak jadi bahan renungan filosofis yang lebih dalam dari kebanyakan TED Talk.

Karena pion bukan sekadar bidak. Dia adalah alegori. Simbol dari kita semua yang hidup dalam sistem yang sudah disusun sebelum kita lahir, berjalan di jalur yang tak pernah kita pilih, dan diminta untuk terus "maju" meski kadang yang kita injak cuma lubang jebakan.

Sistem Sudah Disusun, Silakan Jalan

Tidak seperti kuda yang bisa loncat seenaknya (dan sering dicintai karena "unik"), atau ratu yang bisa bebas melesat ke segala penjuru (dan sering disebut sebagai 'kekuatan feminim tertinggi di papan'), pion lahir tanpa kemewahan itu. Ia hanya tahu satu arah: depan. Tidak bisa belok sesuka hati. Tidak bisa mundur walau tahu di belakang ada peluang yang dulu dilewatkan. Tidak bisa memilih ulang rute hidup seperti orang-orang yang bisa ‘cuti panjang untuk menemukan diri sendiri’ di Bali.

Hidup pion adalah skrip linear. Seperti kurikulum pendidikan nasional: TK, SD, SMP, SMA, kuliah, kerja, menikah, mati. Tidak ada tombol "Undo", apalagi "Fast Forward".

Dan lebih parahnya, pion cuma boleh nyerong kalau niatnya nyerang. Betapa absurd. Bahkan untuk menyimpang sedikit saja dari jalur, pion harus punya musuh. Dunia ini terlalu sistemik sampai niat membelok pun hanya sah kalau konteksnya konfrontatif. Mirip birokrasi: tidak boleh keluar jalur kecuali untuk mengalahkan pihak lain.

Pion, Pekerja Tanpa Opsi "Work-Life Balance"

Pion juga sering disamakan dengan pekerja level terbawah. Si admin yang login duluan dan logout terakhir. Si staf magang yang membuat presentasi tapi namanya tak pernah muncul di slide. Si pegawai rendahan yang diminta loyalitas penuh, tapi disuruh senyum waktu gajinya dipotong “karena efisiensi”.

Tapi jangan salah, pion bukan tanpa kontribusi. Ia adalah pagar hidup. Benteng biologis. Barisan pertama yang ditembak musuh. Dia yang menahan badai serangan demi menyelamatkan si ratu dan para jenderal lainnya di belakang.

Ironisnya? Begitu ia tumbang, papan tak terguncang. Tidak ada pidato belasungkawa. Hanya langkah berikutnya yang disusun tanpa dia. Semacam filosofi korporat klasik: "Semua orang bisa digantikan".

Pion Tidak Bisa Mundur, Tapi Bukan Karena Bodoh

Banyak orang sinis berkata: "Ya salah sendiri kenapa lu jalan terus. Kenapa gak putar arah aja? Cari passion lu!" Seolah pion itu punya pilihan.

Lucunya, di dunia nyata pun kita sering menasihati orang yang terjebak kemiskinan, utang, atau beban hidup lain dengan kata-kata ajaib: "Follow your dreams!" Padahal tak semua orang bisa mengejar mimpi kalau sewa rumah belum lunas dan dapur belum ngebul.

Tidak semua pion bodoh. Tapi sistem membuat mereka tampak seperti tidak punya pilihan. Mereka tidak bisa mundur bukan karena mereka bebal, tapi karena struktur tidak menyediakan ruang untuk itu. Mereka terus maju, karena kalau berhenti—mereka disingkirkan. Dunia ini memuja progres, bahkan jika progres itu membuatmu melangkah ke jurang.

The Glorious Myth of Promotion

Tapi sabar, kata para motivator LinkedIn. "Kalau kamu tekun dan bertahan, kamu bisa sampai ujung papan dan jadi ratu!"

Ah, mitos itu. Kisah Cinderella versi strategi. Memang betul, pion yang mencapai ujung bisa ‘promosi’. Tapi berapa yang sampai? Dalam 100 pion, berapa yang berhasil? Dan berapa yang dikorbankan lebih awal demi posisi strategis si menteri?

Di sinilah tragedinya. Sistem menyisakan celah kecil bagi satu pion untuk sukses, agar pion-pion lain tetap percaya. Ini bukan harapan, ini pengalihan. Seperti lotere. Semua tahu peluang menang kecil, tapi cukup untuk membuat massa tetap antusias beli kupon.

Ini bukan anti-harapan. Ini anti-naivitas. Karena kadang yang bikin pion terus bergerak bukan karena semangat, tapi karena dia tak punya ruang untuk menyerah. Karena tak ada tempat untuk berhenti. Karena kalau dia tak maju, dia jadi penghalang. Dan seperti dalam banyak organisasi, penghalang harus disingkirkan.

Pion dan Puisi Ketegaran

Meski begitu, pion menyimpan makna yang sering dilewatkan para penyair sukses atau CEO bermoral: pion adalah puisi ketegaran. Ia tidak spektakuler, tapi konsisten. Tidak menonjol, tapi ada. Tidak karismatik, tapi penting.

Pion tidak perlu sorotan. Ia cukup tahu bahwa langkah kecilnya punya dampak. Bahwa satu gerakannya bisa membuka jalan bagi pergerakan besar lain. Bahwa kadang hidup memang bukan tentang jadi pusat perhatian, tapi jadi batu pijakan bagi yang lain—meski tak pernah disebut namanya.

Pion adalah absurditas yang memilih bertahan. Seperti pekerja yang tetap masuk walau tahu karirnya buntu. Seperti mahasiswa yang terus kuliah meski tahu ilmunya tak relevan di pasar kerja. Seperti petani yang tetap menanam walau harga panen selalu diatur tengkulak.

Catatan dari Papan Hidup

Hidup sebagai pion memang tidak adil. Tapi mungkin justru karena ketidakadilan itulah kita bisa belajar melihat yang tersembunyi. Menghargai langkah kecil. Memaknai perjuangan sunyi. Merayakan eksistensi yang tak perlu validasi.

Dan kalau hari ini kamu merasa seperti pion—terjebak di jalan satu arah, langkahnya kecil, nasibnya di tangan orang lain—maka kamu bukan satu-satunya. Kamu adalah bagian dari mayoritas senyap. Mereka yang membentuk fondasi. Mereka yang tak punya tombol mundur, tapi tetap memilih jalan.

Bukan karena mereka optimis. Tapi karena mereka tahu: diam bukan pilihan.


Karena pion yang sadar diri tidak mencari tepuk tangan, tapi tahu bahwa satu langkah berarti.

Dan kalau pun akhirnya sampai ke ujung papan, dia tidak harus jadi ratu. Cukup jadi diri sendiri yang tahu: aku bertahan, aku jalan terus, dan aku tidak hilang dalam sistem.


Jadi… jika hidup membuatmu cuma bisa maju, jangan anggap itu kutukan. Anggap itu ujian arah. Karena mungkin, justru di jalan sempit tanpa belok itulah kamu temukan makna.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...