Di negeri ini, kalau lampu mati semalaman di kampung-kampung, PLN bilang itu "pemeliharaan jaringan". Kalau rakyat bilang, “Indonesia Gelap,” maka Presiden menjawab, “Sorry ye, masa depan Indonesia cerah!”
Kalau begitu, mungkin gelapnya cuma mati lampu sementara. Tapi kalau sudah bertahun-tahun rakyat terjebak dalam utang, upah minim, harga naik, anak-anak gagal sekolah, listrik doang yang padam, masa depan sih sudah blackout total.
Lalu, ketika rakyat turun ke jalan, membawa tulisan spanduk seadanya: “Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu”, penguasa bukannya nyalakan senter, malah tuding, “Itu didanai koruptor!”
Tentu saja, karena dalam logika rezim sekarang, yang miskin tak mungkin marah, karena katanya belum cukup cerdas untuk kecewa. Maka harus dicari dalangnya: koruptor. Semua demo dibiayai, semua suara dikendalikan, semua jeritan dianggap rekayasa. Bahkan keringat di dahi rakyat pun mungkin dianggap hasil setting-an CGI.
Tapi Jangan Takut, Pengampunan Sedang Diskon Besar
Lalu hadirlah Sang Presiden dengan wajah garang dan nada penuh kebapakan:
“Saya beri kesempatan para koruptor untuk bertaubat…”
Duh, damainya hati ini.
Bayangkan, di negara dengan utang luar negeri hampir Rp 9.000 triliun, dengan subsidi untuk rakyat dikurangi, dan koperasi Merah Putih dikemas bak penyelamat UMKM, para pencuri besar malah ditawarkan potongan dosa. Asal kembalikan hasil rampokan, tentu saja setelah dipotong penyusutan, inflasi, dan mungkin uang pelicin balik nama aset.
Prabowo berkata dengan bijak (dan Youtube Harian Kompas mencatatnya dengan penuh hormat), bahwa jika ada aset yang sudah dimiliki koruptor sebelum menjabat, maka perlu dipertimbangkan juga nasib anak-istrinya. Jangan sampai anaknya menderita.
Ah, benar juga.
Anak koruptor jangan sampai menderita, karena kalau hidupnya hancur, nanti bisa jadi dendam dan malah korupsi lagi. Tapi anak petani yang gagal panen karena pupuk mahal? Anak buruh yang disekolahkan sampai SMP lalu dijual jadi kurir pinjol? Itu menderita demi bangsa. Itu perjuangan.
Tentu, dalam filsafat negara ini, penderitaan rakyat adalah ladang pahala.
Sementara penderitaan keluarga koruptor adalah catatan HAM.
Cahaya Tak Pernah Mati, Hanya Dialihkan ke Villa Elit
Di negeri ini, gelap bukan karena matahari terbenam, tapi karena sinarnya diakuisisi para taipan dan disewakan kembali dalam bentuk token listrik, paket internet, dan pinjaman online. Bahkan cahaya pengetahuan pun sekarang bisa dicicil—lewat bimbingan belajar digital dan SPP fintech.
Ketika rakyat marah dan jalanan ramai, para pemimpin berdalih:
“Mereka bukan rakyat, mereka ditunggangi!”
Seolah-olah rakyat yang lapar harus dapat izin dulu dari istana untuk menangis.
Dan ketika lembaga seperti Amnesty International Indonesia menantang Presiden untuk membuktikan tudingan bahwa demo dibiayai koruptor, jawabannya pasti sudah bisa ditebak:
“Saya tahu intel saya kuat.”
Dan kita yang menonton pun hanya bisa mengangguk, sambil menyisip teh seduh yang airnya dimasak pakai elpiji subsidi (yang katanya hanya untuk warga miskin, tapi pembelinya antre di minimarket ber-AC).
Negara yang Pemaaf, Rakyat yang Tak Diberi Maaf
Ironisnya, negara ini begitu pemurah pada pencuri triliunan, tapi begitu tega pada penganggur yang tak mampu bayar pajak motor.
Negara ini bisa bersikap bijak pada perampok BUMN, tapi buas pada pedagang kaki lima yang menggelar lapak di trotoar.
Negara ini bisa melobi sang pencuri agar mengembalikan harta dengan suka rela, tapi menghardik rakyat yang meminta penghapusan utang KUR.
Rakyat dianggap manja. Tapi koruptor? Cuma sedang salah langkah dalam pencarian rezeki.
Maka benarlah: Indonesia bukan gelap.
Lampunya menyala. Hanya saja diarahkan ke dompet yang salah.
Tuhan, selamatkan negeri kami. Atau setidaknya, selamatkan kami dari narasi “pengampunan koruptor sebagai bentuk keadilan restoratif.”
Karena kadang yang lebih gelap dari malam adalah… standar moral kekuasaan.
Comments
Post a Comment