Di satu titik sejarah, langit pernah bergetar oleh sebuah firman yang mengguncang zaman. Ia bukan perintah untuk berperang, bukan pula ajakan untuk mendirikan negara, apalagi membangun menara kekuasaan. Firman itu sederhana, tajam, dan terang: "Iqra." Bacalah.
Itu adalah kata pertama yang turun dari langit ke bumi. Kata yang meluncur dari sisi Tuhan, ditujukan kepada seorang manusia yang sedang berkontemplasi di sepi gua Hira. Bukan kepada seorang filsuf, bukan kepada seorang jenderal, bukan pula kepada raja, tetapi kepada seorang Nabi yang tidak bisa membaca.
Ironi terbesar umat ini bukanlah kemiskinan, keterbelakangan teknologi, atau lemahnya ekonomi. Ironi terbesar kita adalah: kita adalah umat yang dibentuk oleh wahyu yang pertama kali memerintahkan untuk membaca, tapi justru kita menjadi umat yang paling malas membaca.
Lihat sekelilingmu. Di mimbar-mimbar masjid, orang lebih sibuk menghafal kata per kata tanpa pernah mengunyah makna. Di media sosial, setiap kalimat disambar dengan emosi, bukan direnungkan dengan literasi. Di ruang publik, yang menggema bukan lagi suara ilmu, tapi gema fatwa dadakan dan slogan kosong. Apa gunanya berjubah agamis jika isi kepala masih kosong melompong?
Kita Punya Mushaf, Tapi Tidak Punya Makna
Qur'an ada di setiap rumah. Aplikasi Qur'an dengan tafsirnya tersedia gratis. Tapi siapa yang benar-benar membaca dengan hati dan pikiran? Bacaan kita berhenti di lidah. Kadang dibaca hanya saat ingin pahala, bukan saat ingin pencerahan.
Padahal wahyu pertama itu bukan cuma "Bacalah," tapi lengkapnya adalah:
"Iqra' bismi rabbika alladzi khalaq..."
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
Bacalah bukan hanya huruf. Bacalah semesta. Bacalah sejarah. Bacalah dirimu sendiri. Bacalah hidup ini, bacalah luka, bacalah air mata. Bacalah apa yang tidak tertulis. Bacalah dengan menyebut nama Tuhan, bukan dengan nama gengsi, bukan dengan nama kelompok, bukan demi pengikut, apalagi demi harga diri yang palsu.
Kalau membaca saja kita enggan, bagaimana bisa memahami hidup? Bagaimana bisa menyerap hikmah dari tiap babak ujian yang Tuhan kirim? Jangan heran kalau akhirnya kita jadi umat yang mudah ditipu, gampang diprovokasi, dan cepat mengkafirkan sesama.
Literasi Bukan Pilihan, Tapi Perintah Langit
Seringkali orang mengira bahwa literasi itu urusan dunia, urusan akademik. Salah besar. Literasi adalah wahyu pertama. Literasi adalah akar dari wahyu. Tanpa literasi, wahyu jadi mantra kosong yang dihafal tapi tidak dipahami. Tanpa literasi, agama jadi dogma kaku yang dijadikan alat kontrol, bukan sebagai jalan pencerahan.
Umat Islam dahulu menaklukkan dunia bukan karena jumlah pasukan atau harta, tapi karena gairah membaca dan menggali ilmu. Dari Baghdad hingga Andalusia, dari Ibnu Sina hingga Al-Farabi, dari Khwarizmi hingga Rumi — semua adalah anak-anak dari "Iqra."
Mereka tidak hanya membaca kitab, tapi membaca bintang, tubuh manusia, syair, filsafat, dan bahkan bangsa-bangsa lain. Mereka menyelami ilmu Yunani, India, Persia, dan tidak merasa terancam olehnya. Karena mereka tahu: membaca tidak mengurangi iman, tapi memperkaya keyakinan.
Tapi kini, apa yang tersisa? Pustaka dibakar, diskusi dibubarkan, pertanyaan dicurigai, dan berpikir disebut sesat. Akhirnya kita hidup dalam zaman di mana khutbah lebih sering menyalahkan daripada mencerahkan, dan forum-forum pengajian berubah jadi ruang gema tanpa keberanian untuk bertanya.
Bangkit Itu Harus dari Kepala, Bukan dari Emosi
Kita terjebak dalam semangat kosong. Teriak tentang kebangkitan Islam tapi enggan membaca buku sejarah. Bicara tentang kejayaan umat tapi tidak tahu peradaban siapa yang ingin kita bangun. Kita membela Nabi, tapi tidak pernah membuka sirah-nya. Kita mengutuk Barat, tapi produk dan pikirannya kita konsumsi tiap hari tanpa sadar.
Literasi itu jalan sunyi. Tidak sepopuler orasi. Tidak semenarik konten viral. Tapi dari situlah peradaban dibentuk.
Peradaban tidak pernah dibangun dari kerumunan emosi, tapi dari keheningan membaca dan berpikir.
Pernahkah kita bayangkan betapa Tuhan yang Mahakuasa bisa saja memulai risalah-Nya dengan: “Bersujudlah,” atau “Bersyahadatlah,” atau “Berperanglah.” Tapi tidak. Ia memilih untuk memulai dengan “Bacalah.”
Itu adalah tamparan halus tapi dalam. Tuhan sedang menegaskan bahwa iman yang tidak melek ilmu hanya akan melahirkan umat yang mudah disesatkan atas nama Tuhan.
Mengapa Literasi Kita Darurat?
Karena kita terlalu sibuk ingin menjadi benar, tapi malas mencari tahu. Karena kita lebih suka merasa suci, daripada merendah untuk belajar. Karena membaca dianggap tidak penting selama bisa mengikuti ustaz, kyai, influencer agama. Karena gelar “habib,” “ustaz,” dan “syaikh” membuat kita percaya tanpa berpikir.
Dan karena — ini yang paling menyesakkan — kita tidak lagi punya budaya bertanya. Bertanya dianggap lancang. Bertanya dianggap kurang iman. Padahal Nabi kita pernah berkata: “Obat dari kebodohan adalah bertanya.”
Lalu di mana sekarang ruang untuk bertanya? Di mana ruang untuk mencari tanpa takut dihakimi? Di mana ruang bagi mereka yang ingin belajar, tanpa diintimidasi oleh mereka yang merasa paling tahu?
Kita sedang dalam darurat. Tapi bukan darurat yang bisa diselesaikan dengan spanduk atau deklarasi. Ini darurat sunyi, darurat di dalam kepala, darurat karena kepala-kepala mulai malas berpikir dan hati-hati mulai malas merenung.
Iqra: Bacalah Dirimu
Membaca itu bukan hanya urusan huruf. Membaca itu spiritual. Iqra adalah jalan awal menuju pengenalan diri. Dan siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Tapi bagaimana bisa mengenal diri jika hidup hanya diisi dengan guliran video pendek, kutipan yang dipelintir, dan suara yang lebih keras dari makna?
Kita sedang kehilangan seni membaca. Bukan sekadar membaca buku, tapi membaca hidup. Membaca luka orang lain. Membaca kehancuran bumi. Membaca jerit sunyi tetangga. Membaca hikmah dari kehilangan. Membaca doa yang tak terucap.
Maka, kalau tulisan ini terasa menampar, biarkan saja. Dunia sudah terlalu penuh dengan pujian kosong. Barangkali sekarang waktunya kita merenung sebentar. Duduk. Diam. Ambil satu buku. Baca. Bukan untuk jadi pintar, tapi supaya tidak jadi bodoh yang merasa sudah cukup.
Karena kebodohan yang paling berbahaya adalah ketika ia tidak sadar bahwa ia bodoh.
Dan kalau kau ingin membalas satu kehormatan kepada wahyu yang pertama turun, jangan dulu berpikir jadi dai, ustaz, atau influencer agama. Jadilah pembaca. Yang tenang. Yang tekun. Yang tidak takut mencari tahu, bahkan jika itu mengganggu keyakinan lama.
Iqra. Itu satu kata. Tapi di situlah awal semua peradaban, dan juga awal segala kebangkitan.
Comments
Post a Comment