Skip to main content

Ketika Dunia Menekan Tombol "Reset": Pelajaran dari Mereka yang Tidak Mau Berubah

 

Ada masa ketika pagi berarti menembus macet, mengenakan sepatu mengilap, dan mengangguk sopan kepada satpam gedung bertingkat. Kantor adalah altar kerja, ruang rapat adalah medan ide, dan wawancara kerja berarti datang lima belas menit lebih awal, membawa CV yang harum kertas baru. Lalu datanglah sebuah virus kecil, tak terlihat, tapi cukup beringas untuk membalikkan seluruh peradaban manusia.

COVID-19 tidak hanya menyerang paru-paru, ia juga merontokkan ilusi keteraturan yang selama ini kita agung-agungkan. Dunia, yang begitu yakin pada rutinitasnya, mendadak lumpuh. Tapi bukan kelumpuhan itu yang membunuh sebagian dari kita—melainkan ketidakmampuan untuk beradaptasi.

Bekerja dari rumah, rapat melalui Zoom, wawancara lewat Google Meet—semua itu bukan pilihan ideal. Tapi realita jarang memberi kita yang ideal. Ia hanya memberi dua opsi: berubah atau tenggelam. Dan manusia, sebagai spesies yang paling cerewet tentang “kecerdasannya,” diuji di sini—bukan oleh virus, tapi oleh keengganan untuk menyesuaikan diri.

Di dunia pendidikan, kelas-kelas kosong menjadi simbol era baru. Anak-anak yang dulu duduk berjajar kini belajar lewat layar kecil, ditemani sinyal yang kadang lebih galau dari mereka. Guru-guru, dosen-dosen, semua dipaksa belajar ulang: bukan tentang kurikulum, tapi tentang cara mengajar dalam diamnya dunia digital. Bahkan Kuliah Kerja Nyata (KKN) —yang namanya saja sudah mengandung makna "kerja nyata"—dipaksa masuk ke ranah maya. Ironis, iya. Tapi bukan itu esensinya. Esensinya: sistem tetap berjalan, walau dengan pincang. Karena lebih baik pincang tapi berjalan, daripada kukuh berdiri lalu dilindas zaman.

Beberapa orang berhasil. Beberapa tidak. Dan yang tidak, bukan karena tak mampu. Tapi karena terlalu bangga untuk berlutut kepada perubahan.

Lihatlah restoran-restoran itu. Yang dulunya hidup dari antrean panjang, dari hiruk-pikuk suasana. Mereka yang membangun kerajaan kuliner bukan di atas rasa, tapi pada atmosfer yang tak bisa dibungkus dalam kotak makanan. Ketika pandemi datang dan pintu ditutup, rasa lapar pelanggan masih ada—tapi suasana tak bisa dikirim lewat Gojek. Maka mereka gulung tikar. Bukan karena makanannya tak enak, tapi karena mereka menjual “tempat,” bukan bertahan hidup.

Sebaliknya, warung kecil di gang sempit yang mulai menerima pesanan online, yang belajar membuat katalog di WhatsApp, yang bersahabat dengan kurir motor—mereka justru bertahan. Karena mereka tahu: dunia berubah, dan bertahan hidup bukan tentang yang terbesar atau paling terkenal, tapi tentang yang paling lentur.

Pusat-pusat perbelanjaan besar di ibu kota pun tak luput dari nasib yang sama. Mal yang dulunya menjadi destinasi akhir pekan, kini menjelma menjadi lorong sunyi. Para pengunjung beralih ke marketplace digital. Bukan karena tak suka belanja langsung, tapi karena belanja dari rumah lebih aman dan lebih mudah. Tapi sebagian besar pengelola pusat perdagangan itu tidak mau berubah. Mereka berdiri gagah, menolak tunduk. Dan akhirnya roboh.

Dalam sunyi pandemi itu, dunia memberi pelajaran yang mahal: bahwa adaptasi bukan sekadar pilihan pintar—ia adalah harga yang harus dibayar untuk tetap hidup. Bukan cuma virus yang berevolusi; manusia juga harus. Yang tidak berubah akan ditinggal. Yang terlalu bangga untuk menunduk, akan jatuh.

Kita sering salah sangka, mengira kekuatan ada pada yang tak tergoyahkan. Padahal kadang, kekuatan sejati justru ada pada yang tahu kapan harus melepas, kapan harus merunduk, dan kapan harus mengganti seluruh cara hidupnya demi hari esok yang belum pasti.

Hari ini, dunia memang tak sama lagi. Tapi bukan berarti dunia lebih buruk. Ia hanya berbeda. Dan berbeda bukan akhir dari segalanya—kecuali bagi mereka yang menolak berubah.


Jadi, mau terus menggenggam masa lalu, atau belajar menari dalam hujan zaman? Pilihan itu milikmu. Tapi ingat: perubahan tak menunggu persetujuan siapa pun. Ia datang, dan hanya yang sigaplah yang bisa tetap bernapas.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...