Ada kalimat yang sering terdengar di warung kopi, ruang tunggu bidan, atau dari emak-emak yang lagi nyulam sambil nonton infotainment:
“Buat anak kok coba-coba?!”
Kalimat ini terdengar penuh keprihatinan. Nada yang menasihati, tapi juga menghakimi. Kayak penceramah dadakan yang baru baca status Facebook satu paragraf lalu merasa cukup untuk ceramah tiga bab.
Tapi ada sesuatu yang menarik dari struktur kalimat itu.
Coba kita perhatikan baik-baik:
Kata “buat” di sana bukan kata kerja. Bukan aktivitas. Ia adalah preposisi — artinya "demi", "untuk", atau "diperuntukkan bagi".
Kalau dibaca dalam konteks itu, kalimatnya jelas:
“Kok bisa-bisanya kamu coba-coba, padahal ini demi anak?”
Anak di sini adalah tujuan. Sesuatu yang hendak dicapai. Dan kata “buat” menjadi kendaraan moral untuk menyampaikan itu. Sebuah bentuk kepedulian yang, meski agak nyolot, masih hidup di wilayah “niat baik.”
Tapi...
Coba sekarang kita tambahkan imbuhan “mem-” ke kata “buat”.
“Membuat anak kok coba-coba?!”
Nah lho.
Kalimat yang tadinya terdengar moralistik, sekarang terdengar... biologis. Bahkan bisa bikin pipi panas kalau diucapkan keras-keras di depan umum. Karena fokusnya bukan lagi pada anak sebagai tujuan, melainkan pada proses pembuatannya. Yang kita semua tahu, bukan sekadar mengisi formulir.
Satu imbuhan. Tapi atmosfernya berubah total.
Dari pengajian ke kamar tidur.
Dari khutbah ke adegan yang diberi rating khusus.
Inilah keindahan licik dalam bahasa Indonesia:
Satu suku kata bisa menggiring makna dari surga ke ranjang dalam waktu kurang dari satu detik.
"Buat" Itu Suci, "Membuat" Itu Duniawi
“Buat” hidup di dunia yang mulia. Dunia tujuan luhur. Dunia rencana-rencana baik. Dunia penuh visi dan misi.
Kita bisa bilang:
“Saya kerja keras buat orang tua.”
“Dia berjuang buat masa depan.”
“Ini semua buat anak.”
Kita terdengar seperti manusia yang utuh. Penuh pengorbanan. Kayak tokoh utama dalam novel motivasi yang akan difilmkan oleh Netflix.
Tapi begitu jadi “membuat”, kita dipaksa masuk ke dunia aksi. Dunia sebab-akibat. Dunia di mana niat baik saja tidak cukup — harus ada teknis, cara, dan konsekuensi.
Kalau kamu bilang:
“Saya membuat anak.”
...kamu tidak sedang bicara tentang niat. Kamu sedang mengaku sudah melakukan sesuatu. Dan sesuatu itu bukan bikin kue.
Kata-Kata Punya Nafas dan Nafsu
Inilah kenapa kita harus hati-hati membaca dan mendengar. Bahasa tidak pernah sepolos yang kita kira. Kadang justru di balik keformalan kata-kata, terselip bisikan nakal, sindiran tajam, atau imajinasi liar.
Kalimat “Membuat anak kok coba-coba?!” bisa terdengar seperti gurauan, tapi di dalamnya ada kritik sosial yang menyengat. Ia menyentil orang-orang yang main-main dalam urusan paling serius: menciptakan manusia baru.
Lucunya, bahasa tidak menghakimi secara langsung. Ia hanya membuka pintu makna, dan membiarkan kita tersesat sendiri di dalamnya.
Bahasa itu seperti pelukis yang hanya memberi garis samar, lalu membiarkan kita yang mengisi warnanya sendiri-sendiri.
Imbuhan: Tanda Bahwa Kita Sedang Berbuat, Bukan Sekadar Berniat
“Membuat” adalah kata kerja aktif. Ia bukan sekadar menyimpan niat. Ia sudah melibatkan tindakan.
Dan dalam konteks “membuat anak”, itu berarti… ya, kamu tahu. Prosesnya tidak bisa dilakukan sambil ngopi.
Dan ini menjadi lucu karena, kita semua diam-diam tahu apa yang dibicarakan. Tapi kita tetap pura-pura nggak tahu.
Di situlah letak kekuatan humornya.
Bahasa membuka pintu, dan kita semua diam-diam masuk sambil senyum-senyum.
Bahasa, Seksualitas, dan Kepura-puraan Kolektif
Di masyarakat yang konon masih menjunjung kesopanan ini, hal-hal seperti seksualitas kerap dibungkus. Dihaluskan. Dikasih embel-embel agama, adat, atau tabu. Tapi diam-diam, semua orang paham.
Dan kata “membuat anak” adalah contoh sempurna dari itu.
Ia bukan kata jorok. Bukan juga kata ilmiah. Tapi cukup menyenggol dua sisi:
-
Formalitas struktur bahasa, dan
-
Sensitivitas imajinasi publik.
Dan ketika dua hal ini bertemu dalam satu kalimat, lahirlah kekonyolan yang filosofis. Lucu, tapi menyindir. Kocak, tapi membuat kita merenung:
Kenapa ya, sesuatu yang natural seperti “membuat anak” malah terdengar lebih tabu daripada “buat anak”?
Jawabannya bisa panjang. Bisa ke wilayah budaya, agama, atau psikologi kolektif. Tapi satu hal pasti:
Imbuhan “mem-” tak cuma mengaktifkan kata kerja — dia juga mengaktifkan seluruh sistem sensor moral kita.
Lucu, Tapi Juga Peringatan
Jadi, lain kali kalau kamu dengar kalimat:
“Membuat anak kok coba-coba?!”
...tertawalah.
Tapi jangan cuma ketawa. Pikirkan juga pesan di baliknya.
Ini bukan sekadar permainan kata. Ini tentang realitas sosial yang diubah jadi humor.
Ini tentang bahasa yang menguliti kita — pelan-pelan tapi pasti — dari niat yang tampak mulia menjadi tindakan yang ternyata sangat manusiawi.
Karena pada akhirnya, itulah hidup kita:
Perjalanan dari “buat” menuju “membuat”.
Dari niat menuju akibat.
Dari rencana menuju perbuatan — dengan segala konsekuensi dan imajinasi yang menyertainya.
Dan kadang...
Satu imbuhan kecil saja, cukup untuk mengubah segalanya.
Comments
Post a Comment