Di sebuah pojok LinkedIn yang biasanya dipenuhi tips karier dan ucapan selamat promosi jabatan, ada satu tulisan yang tak biasa. Ia bercerita tentang orang-orang yang selamat dari tragedi 9/11 karena alasan-alasan sepele: ada yang telat karena anaknya rewel, ada yang ketinggalan bus, ada pula yang harus balik ke rumah hanya karena lupa sesuatu. Tapi yang paling menyentuh—katanya—adalah seseorang yang mengenakan sepatu baru hari itu. Sepatunya menimbulkan lecet, lalu ia berhenti di apotek untuk beli plester. Detik itu juga, menara kembar ambruk. Dan ia selamat.
Penulis postingan itu lalu menutupnya dengan refleksi yang lembut: mungkin ketika hidup terasa tidak sinkron, ketika kita tertahan oleh hal-hal kecil, itu bukan kemalangan—mungkin itu keberuntungan dalam wujud yang menyamar. "Maybe I’m exactly where I’m meant to be."
Lembut, indah, dan menghibur. Tapi… dangkal.
Karena dari kacamata Islam, semua itu bukan soal luck. Bukan soal semesta yang “kebetulan” memberi napas lebih panjang hari itu. Bukan pula tentang keberuntungan yang menyaru dalam delay dan ketidaksinkronan hidup. Ini soal takdir. Soal ketetapan. Soal skenario ilahi yang tidak pernah keliru.
Luck: Romantika Tanpa Sutradara
Konsep luck dalam dunia sekuler adalah semacam pelipur lara. Sebuah harapan bahwa mungkin, ada keberpihakan semesta yang acak tapi baik hati. Manusia modern, yang tak tahu harus menyandarkan hidup ke mana, sering menggantungkan makna pada “kebetulan yang baik”. Mereka menyebutnya serendipity, karma, atau cosmic alignment. Sementara itu, hidup terus berjalan seperti arloji rusak yang kadang-kadang benar dua kali sehari.
Mereka ingin percaya bahwa keterlambatan itu berarti sesuatu.
Bahwa hidup ini tidak sepenuhnya nihil.
Bahwa mungkin... ada "something" di luar sana yang menyelamatkan kita—meski mereka tak tahu namanya.
Tapi dalam Islam, kita tahu siapa yang menyelamatkan. Dan lebih dari itu: kita tahu siapa yang mengatur semua urutan peristiwa, bahkan sebelum satu pun terjadi.
Takdir: Naskah yang Sudah Selesai Ditulis
Dalam Islam, semua yang terjadi—setiap tawa, luka, bahkan detik-detik terlambat di pagi hari—sudah tertulis. Bukan kemarin. Bukan saat kita lahir. Tapi jauh sebelum bumi dan langit diciptakan. Di sebuah tempat yang tak bisa diakses siapa pun, kecuali Dia yang Mahamengetahui: Lauhul Mahfudz.
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.”
(QS. Al-Hadid: 22)
Jadi, ketika seseorang selamat dari serangan 9/11 karena membeli plester, itu bukan karena semesta sedang baik hati. Bukan karena kebetulan. Tapi karena Allah telah menulisnya demikian. Bahkan, sehelai daun yang jatuh ke permukaan tanah pun semua atas izin Allah SWT. Maka apa artinya sebuah keterlambatan? Apa artinya sepatu baru?
Segalanya adalah tanda. Tak ada yang netral. Tak ada yang acak. Dan tidak ada yang sia-sia.
Percaya Pada Takdir Bukan Pasrah Buta
Meyakini takdir bukan berarti duduk diam dan menunggu keajaiban turun. Tidak. Justru dalam Islam, usaha dan tawakal adalah dua sisi mata uang. Kita berusaha sebaik mungkin, lalu berhenti menggila karena hasil. Karena hasil itu bukan ranah kita.
Kita bukan pemilik jalan hidup, kita cuma penumpang kereta yang sudah dijadwalkan. Bisa memilih duduk di jendela atau di lorong, tapi tetap saja: keretanya sudah punya stasiun akhir. Dan tidak ada yang bisa mengubah itu kecuali Allah sendiri.
Saat Hidup Tidak Sesuai Rencana
Maka, ketika anak rewel di pagi hari dan membuat kita telat—itu bukan gangguan. Itu bisa jadi bentuk perlindungan.
Ketika macet bikin kita mengumpat—itu bisa jadi pemisah antara kita dan bahaya yang tak kita lihat.
Ketika kita menangis karena kehilangan sesuatu—bisa jadi Allah sedang menyelamatkan kita dari kehilangan yang lebih besar.
“Apa yang menimpamu tidak akan pernah meleset, dan apa yang meleset darimu tidak akan pernah menimpamu.”
(HR. At-Tirmidzi)
Dan sungguh, inilah bedanya: bagi yang percaya pada luck, hidup ini seperti dadu yang terus dilempar. Tapi bagi orang beriman, hidup ini seperti kitab yang sedang dibaca perlahan—halaman demi halaman yang sudah ditulis dengan penuh cinta dan ketelitian oleh Allah SWT.
Jadi, Apa yang Harus Kita Lakukan Saat Terlambat?
Jangan panik.
Jangan marah.
Jangan stres karena kopi tumpah atau karena alarm tak bunyi.
Tarik napas. Berhenti sebentar. Dan ucapkan dalam hati:
"Saya tidak sedang sial. Saya sedang tepat waktu dalam takdir Allah."
Keberuntungan Adalah Bahasa Mereka yang Tak Kenal Tuhan
Pada akhirnya, berbicara tentang “luck” adalah cara manusia modern mencoba menjelaskan hal-hal yang tak bisa mereka kontrol. Tapi bagi kita, orang-orang beriman, kita tak butuh keberuntungan. Kita butuh iman.
Kita tidak mencari hoki.
Kita mencari ridha.
Kita tidak menggantungkan harapan pada semesta yang bisu.
Kita menggantungkan diri pada Allah yang Maha Mengatur segalanya—dari detak jantung terakhir hingga langkah pertama yang membawa kita selamat hari ini.
Dan kalau suatu hari kau melihat seseorang selamat karena sepatunya baru…
Tersenyumlah.
Karena itu bukan kebetulan.
Itu adalah tanda bahwa skenario Allah—seindah apa pun kisah manusia—selalu lebih sempurna.
Comments
Post a Comment