Skip to main content

Koperasi Merah Putih, dan Filosofi Nasionalisme yang Tergadai

 

Alkisah di sebuah republik yang katanya merdeka, lahirlah gagasan brilian—sebuah koperasi desa bernama Merah Putih. Warna-warna yang selama ini hanya kita temui di bendera, kini turun ke tanah. Merah darah perjuangan, putih tulang penggadaian.

Koperasi Merah Putih, katanya, adalah harapan baru bagi ekonomi desa. Membawa dana triliunan rupiah seperti utusan langit yang turun di sore hari. Satu persatu kepala desa tersenyum, menyusun proposal sambil membayangkan selfie di depan spanduk bertuliskan “Lounching Koperasi Merah Putih”. Tanpa ‘a’ pun, nasionalisme tetap menggelegak.

Ini adalah komedi sosial paling megah yang pernah disutradarai oleh negara. Pemeran utamanya: desa, koperasi, dan ilusi keadilan ekonomi. Pemeran pembantu: utang, data fiktif, dan gelar honoris causa dari universitas abal-abal.

Negara, Pinjaman, dan Ilusi Kesetaraan

Di buku-buku tua tentang ekonomi desa, tertulis bahwa koperasi adalah bentuk solidaritas rakyat kecil. Di dalam buku baru bernama dokumen kebijakan, koperasi adalah instrumen distribusi utang. Bedanya tipis, cuma sekitar Rp 85,96 triliun.

Maka dimulailah pementasan besar-besaran: desa yang bahkan belum selesai mengurus jalan tanahnya, kini harus belajar manajemen keuangan. Kepala desa yang lebih fasih membedakan jenis durian, kini diajari cara menghitung risiko kredit. Dan tentu saja, tidak boleh lupa: semua itu demi "kemandirian desa".

Sebuah istilah yang terdengar indah, setidaknya sampai listrik padam dan koperasi belum mampu bayar cicilan pertama.

Merah Putih, Tapi Nila Ekonominya Biru Tua

Dana koperasi Merah Putih adalah uang rakyat, dikirim atas nama nasionalisme. Tapi seperti biasa, nasionalisme versi pemerintah itu mirip martabak: dari luar tampak manis, dalamnya campuran entah apa. Ada tepung, ada gula, ada butiran janji yang mengendap.

Celios, lembaga riset yang masih waras, memprediksi bahwa koperasi ini berpotensi gagal bayar Rp 85,96 triliun dalam enam tahun. Itu bukan angka, itu naskah horor ekonomi. Dalam enam tahun, desa-desa kita bukan hanya terancam tidak bisa mengembangkan usaha, tapi juga terjerat dalam utang yang bahkan bukan mereka pahami.

Kita boleh tanya: siapa yang mengawasi? Jawabannya klasik dan sakral: “pengawasan akan dilakukan bersama masyarakat”. Kalimat yang selalu muncul dalam kebijakan gagal, seperti daun salam dalam sup: ada, tapi fungsinya ambigu.

Prabowo dan Dongeng Kemandirian

Rezim ini mengusung jargon besar: kemandirian nasional, kedaulatan pangan, dan koperasi rakyat. Tapi ketika dikupas, semua itu ternyata hanya pelapis dari satu kata: pembiayaan. Selalu ada utang, selalu ada skema bunga, dan selalu ada si miskin yang jadi objek pelatihan nasionalisme pragmatis.

Prabowo mungkin bermimpi menjadi Soekarno baru—tapi entah kenapa, koperasi Merah Putih ini terasa lebih seperti eksperimen gagal dalam ujian negara.

Bedanya, jika Bung Karno membangun mimpi dari pidato dan prinsip, maka rezim hari ini membangun harapan lewat spreadsheet dan tender. Hasilnya? Seperti membeli semangat gotong royong lewat pinjaman berbunga.

Koperasi atau Koplak-rasi?

Tak semua koperasi itu buruk. Tapi ketika dibentuk oleh keputusan elite dan disuntik dana triliunan tanpa kesiapan manajemen, koperasi berubah jadi koplak-rasi—sebuah sistem yang menggabungkan niat mulia dan kelola ngawur. Di tangan desa yang belum pernah mengakses sistem keuangan digital, koperasi ini bukan jembatan harapan, tapi ranjau ekonomi.

Bayangkan seorang kepala desa mengelola Rp 15 miliar, padahal kemarin baru saja belajar cara pakai Excel. Bayangkan bendahara koperasi yang lebih sering mencatat kas di buku warung, kini disuruh audit neraca bulanan.

Program ini bukan tentang pemberdayaan. Ini tentang penyaluran dana dalam bentuk utang, yang dibungkus dengan pita nasionalisme, dan disajikan kepada desa yang tak siap. Koperasi bukan lagi alat perlawanan rakyat kecil terhadap kapitalisme, tapi proyek baru untuk memperdalam ketimpangan.

Kesimpulan: Di Balik Warna Merah Putih, Ada Abu-abu Penggadaian

Apa yang terjadi saat idealisme dikawinkan paksa dengan target politik? Lahirlah koperasi Merah Putih: bayi prematur ekonomi yang dibesarkan dengan susu subsidi dan imunisasi wacana. Ia tampak lucu di mata media, dan menggemaskan di podium-podium peresmian. Tapi ia rapuh, dan ketika ia jatuh, yang luka bukan presiden—melainkan desa-desa yang terlalu percaya.

Jadi lain kali jika kau dengar ada program pemerintah yang mengandung kata "merah putih", berhati-hatilah. Sebab warna itu kini tak selalu berarti perjuangan, tapi bisa juga berarti pinjaman dengan bunga sosial yang belum lunas. Dan seperti biasa, yang membayar bukan mereka yang merancangnya—tapi kita, yang bahkan tak diajak konsultasi.

Selamat datang di Indonesia. Di mana nasionalisme bisa dicairkan dalam bentuk kredit koperasi, dan kesalahan manajemen bisa dilapisi dengan kata "untuk rakyat".

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...