Di zaman ketika “konten yang cocok banget” muncul bahkan sebelum sempat diketik di mesin pencarian, wajar bila pertanyaan lama manusia mengalami revisi radikal. Bukan lagi “Siapa aku?”, melainkan:
“Versi diriku yang mana—dan algoritma mana yang sedang menampilkannya hari ini?”
Dunia digital telah berevolusi menjadi panggung yang subtil namun totalitarian. Sistem algoritmik yang konon netral kini bukan hanya mencerminkan siapa seseorang, tapi juga menentukan siapa ia seharusnya menjadi. Ia tidak lagi sekadar membantu manusia memilih, melainkan membentuk apa yang manusia anggap sebagai pilihan.
Identitas dalam Era Personalisasi Massal
Dulu, identitas dibangun lewat refleksi, interaksi, dan kadang penderitaan. Hari ini, identitas dibentuk lewat history page, click rate, dan analitik engagement. Algoritma tidak membaca manusia seperti novel, melainkan seperti peta statistik: siapa suka apa, jam berapa aktif, lagu apa yang memancing air mata paling banyak.
Dan hebatnya: manusia menikmatinya.
Ada kenikmatan baru dalam melihat diri sendiri dikurasi dengan sempurna. Seperti memiliki seorang asisten spiritual berbasis data, yang tahu kapan mood sedang turun, dan segera menyodorkan video motivasi dengan musik latar yang persis seperti trauma masa kecil.
Namun, di situlah jebakannya.
Apa yang tampak seperti kecocokan sempurna, seringkali hanyalah pengulangan bias. Algoritma bukan mengenali jiwa, tapi menghitung pola. Ia tidak tahu makna, ia tahu probabilitas. Maka yang disebut “aku” oleh sistem bukanlah pribadi, tapi rerata—versi paling efisien dari manusia untuk terus dikonsumsi dan dikonfirmasi.
Ekstensi Diri yang Terfragmentasi
Dalam teori Extended Self yang dicetuskan Russell Belk, manusia disebut memperluas identitasnya lewat apa yang dimiliki. Pada masa lalu, ini berarti rumah, pakaian, koleksi buku. Kini, ekstensi itu bersifat digital: daftar putar Spotify, jejak pencarian Google, persona di TikTok.
Namun ekstensi hari ini bukan memperkuat keutuhan diri, melainkan menciptakan kepingan-kepingan diri yang saling tidak mengenal. Versi seseorang di LinkedIn bisa terlihat seperti filsuf stoik dengan produktivitas tinggi, sementara versi Instagram-nya adalah penjelajah alam yang spiritual dan nyeni, dan versi TikTok-nya... ya, cukup katakan: berbeda jauh dari dua yang lain.
Fenomena ini dikenal sebagai Multiple Digital Identity. Setiap platform menuntut performa tertentu, dan manusia, makhluk paling adaptif sekaligus paling takut ditinggalkan, memenuhi tuntutan itu dengan senang hati.
Hasilnya? Sebuah makhluk digital yang tampil sebagai satu entitas, padahal diam-diam terkoyak di dalam.
Teknologi, Trauma, dan Teror yang Terbaca
Dalam dunia algoritmik, bahkan trauma bisa dibaca sebagai preferensi. Seseorang yang sedang kehilangan, akan lebih sering disodorkan lagu-lagu tentang kehilangan. Sistem tidak tahu apa itu duka, tapi ia tahu bahwa duka punya durasi tayang dan kemungkinan retensi yang tinggi.
Dan di titik ini, algoritma berhenti menjadi alat bantu, dan berubah menjadi penulis skenario bawah sadar. Ia tidak hanya membaca manusia, tapi membentuk manusia agar cocok dibaca olehnya.
Sistem mengatur ritme emosi, mengatur cita rasa, bahkan mengatur jenis keresahan yang akan populer minggu depan.
Bahkan penderitaan pun kini terstandardisasi. Disesuaikan agar cukup mengena untuk viral, tapi tidak cukup dalam untuk membahayakan kapitalisasi. Lihat saja bagaimana aktivisme, kesadaran diri, dan keresahan eksistensial berubah menjadi konten “aesthetic” yang bisa ditonton dalam 30 detik dengan filter pastel.
Autentisitas sebagai Bentuk Perlawanan Terakhir
Di tengah realitas yang dikurasi, pertanyaan tentang autentisitas menjadi radikal. Bukan lagi tentang menjadi “unik” atau “berbeda”, tetapi tentang menyadari kapan seseorang sedang diarahkan, dan kapan ia sedang memilih. Dalam dunia di mana preferensi didikte dan keinginan dimodelkan, kesadaran menjadi bentuk perlawanan terakhir.
Literasi digital kini bukan sekadar soal tahu cara pakai teknologi, tapi soal tahu kapan harus mencurigainya. Kapan harus berkata: “Ini bukan aku yang memilih—ini aku yang dipilihkan.”
Karena algoritma bisa mengenali kebiasaan. Ia bisa menebak kebencian dan kegelisahan. Ia bisa mengurutkan semua hal yang membuat seseorang terpikat, terpicu, atau terguncang.
Tapi satu hal yang tidak bisa dilakukan sistem—adalah memutuskan siapa manusia seharusnya menjadi.
Dan mungkin, di tengah kekacauan eksistensi yang tersusun rapi oleh sistem berbasis kecocokan, manusia akhirnya kembali ke tugas lamanya:
Mengenal diri sendiri, meski harus menentang versi digital yang paling sempurna tentangnya.
Comments
Post a Comment