Skip to main content

Peradilan di Ambang Simbolisme: Ketika "Politik Bertopeng Hukum" Mementaskan Ironi

Sidang terhadap Tom Lembong — mantan Menteri Perdagangan periode 2015–2016 — hanyalah babak kecil dalam drama korupsi nasional. Vonis 4,5 tahun penjara atas dugaan kerugian hampir Rp600 miliar karena impor gula saat negara surplus, terasa ringan jika dibandingkan dengan besarnya kerugian dan kedalaman politisasi peradilan.

Namun yang membuat momen ini mengguncang bukan hanya angka-angka yang dibacakan hakim, melainkan cara negara menata emosi publik lewat drama hukum. Saat Anies Baswedan duduk menyimak putusan, bersama Saut Situmorang dan Rocky Gerung, ruang sidang menjadi panggung pengadilan moral yang jauh lebih sunyi daripada kelihatannya. Gelengan kepala Anies, tawa getir yang muncul, dan pelukan diam Saut pada pundaknya adalah fragmen kecil dari kesadaran kolektif bahwa "hukum" kerap hanya berhenti pada ejaan, bukan kebenaran.

Timpangnya Skala: Vonis Ringan vs Mega Korupsi

Lembong dijatuhi vonis bukan karena memperkaya diri, melainkan karena keputusan administratif dalam kebijakan impor yang dipersoalkan bertahun-tahun kemudian. Di saat yang sama, sejarah peradilan kita penuh dengan potret timpang yang menjadikan ironi sebagai standar:

  • Surya Darmadi (Duta Palma Group) didakwa merugikan negara hingga Rp78,8 triliun dari penyerobotan lahan di Riau. Namun dalam putusan Pengadilan Tipikor Jakarta, hakim menyatakan kerugian negara aktual berada di kisaran Rp2,2 triliun hingga Rp41 triliun. Ia dijatuhi vonis 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Angka yang kontras dengan skala pelanggaran ekologis dan ekonomi.

  • Kasus tata niaga timah PT Timah dilaporkan merugikan negara hingga Rp300 triliun, termasuk kerusakan lingkungan sekitar Rp271 triliun. Meski lebih dari 20 tersangka sudah ditetapkan, kejelasan vonis dan eksekusi hukumnya belum sebanding dengan besarnya kerusakan.

  • Kasus kondensat TPPI diperkirakan menyebabkan kerugian negara sekitar Rp35 triliun, menurut BPK. Penanganannya sempat menjadi sorotan karena tidak mencerminkan urgensi yang seharusnya.

  • Kasus Jiwasraya dan Asabri, dengan estimasi kerugian masing-masing sekitar Rp16,8 triliun dan Rp22,7 triliun, adalah dua tragedi besar uang pensiunan rakyat. Sejumlah pelaku memang telah divonis, namun skala kerugian masih jauh lebih besar dibanding rasa keadilan yang dihasilkan.

Tentu kita bisa berkata: "Itulah hukum." Tapi hukum apa yang dimaksud? Hukum siapa, untuk siapa?

Filosofi Ketidakadilan: Etika yang Tertawa di Ruang Sidang

Dalam ruang sidang itu, tawa getir Lembong dan gelengan kepala Anies adalah simbol. Bukan simbol perlawanan, melainkan perenungan mendalam tentang absurditas hukum. Ketika peradilan lebih cepat memvonis menteri yang tak terbukti memperkaya diri ketimbang aktor oligarki yang jelas-jelas menjarah sistem, maka bukan hanya keadilan yang mati, tapi juga nalar publik.

Hukum lalu menjadi estetika. Ia dipoles untuk menampilkan "kewibawaan" tetapi kehilangan "hikmah". Ia ditegakkan untuk menutupi borok institusi sendiri, bukan untuk melindungi kebenaran. Maka, ruang sidang bukan lagi tempat pertanggungjawaban, melainkan panggung sandiwara politik yang menyamar sebagai keadilan.

Politik Tanpa Nurani: Kekuasaan yang Rapuh

Dalam masyarakat yang sehat, hukum adalah cahaya. Dalam masyarakat yang lelah, hukum hanyalah bayangan dari kekuasaan. Dan dalam masyarakat yang manipulatif, hukum adalah tongkat untuk memukul lawan, bukan menegakkan keadilan.

Anies, dalam adegan itu, tak hanya menjadi saksi, tapi juga simbol kesadaran: bahwa kepercayaan rakyat sedang disayat dengan pelan, bukan oleh pembunuhan kejam, melainkan oleh prosedur yang tampak sah.

Ketika sahabatnya divonis, ia hanya bisa memeluk dan menggeleng. Bukan karena tak tahu harus bagaimana, tapi karena tahu bahwa dalam sistem seperti ini, apa pun reaksimu tak akan mengubah banyak.

Penutup: Gerak Kerusakan atau Gerak Kesadaran?

Data menunjukkan: negara dirugikan ratusan triliun, tapi hukuman dan perhatian publik justru mengecil sebanding dengan besarnya kekuasaan pelakunya. Lalu untuk apa hukum ditegakkan jika substansinya kosong?

Kita sedang hidup dalam masa di mana keadilan tidak lagi berjalan, ia diseret ke sana ke mari oleh mereka yang punya suara lebih lantang dan dompet lebih tebal. Jika hukum adalah panggung, maka rakyat adalah penonton pasif yang tak tahu apakah harus bertepuk tangan atau meninggalkan gedung.

Tapi setiap sandiwara punya akhirnya. Dan akhir dari ketimpangan adalah kesadaran. Kesadaran bahwa negara tidak akan pernah benar-benar adil sebelum hukum dibebaskan dari aktor-aktor yang menyandera nurani.

Dan selama hukum masih jadi alat kekuasaan, maka kita semua akan terus menggelengkan kepala — bukan karena kita bodoh, tapi karena kita terlalu sadar apa yang sedang terjadi.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...